Amal Apakah yang Paling Utama?

16 July 2012 § Leave a comment


Abdullah ibn Mas’ud bertanya kepada Rasulullah tentang amal yang paling utama. “Mengerjakan shalat pada awal waktu,” jawab Rasulullah. “Apa lagi?” tanya Ibn Mas’ud kembali. “Berbakti kepada orangtua,” jawab Rasulullah. “Lalu, apa?” Ibn Mas’ud bertanya lagi. Rasulullah menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ibn Mas’ud mengatakan, seandainya ia bertanya lagi, niscaya Rasulullah juga akan menjawab (HR. Bukhari).

Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah pernah ditanya tentang amal yang paling utama. Rasulullah menjawab, “Iman kepada Allah,” (HR. Muslim).

Abu Qatadah mengatakan, ia pernah mendengar Rasulullah menyebutkan bahwa « Read the rest of this entry »

Iblis Ingin Bertobat

1 August 2011 § Leave a comment


Jika manusia mengalami ketidaktetapan iman: saat suatu ketika ia merasa begitu dekat dengan Tuhan dan pada saat yang lain secara tak sadar ia mengabaikan-Nya, maka iblis pernah lelah dengan pembangkangannya kepada Tuhan. Ia merasa perlu menyudahi permusuhan dengan-Nya. Ia ingin bertobat.

Niat tersebut iblis utarakan kepada Musa, berharap Musa mau membantu. Iblis tahu, hanya Musa yang bisa bercakap-cakap secara langsung dengan Tuhan, seperti yang pernah Musa lakukan saat ia meminta Tuhan menampakkan diri, tapi Tuhan menolak: bukan karena Ia tak mau atau tak mampu, melainkan karena diri-Nya terlalu perkasa untuk « Read the rest of this entry »

Rasulullah Menangis

15 June 2010 § 1 Comment


Wajah adalah jendela hati. Di sana, seseorang mengungkapkan perasaan hati atau menyembunyikannya.

Seorang sastrawan perempuan Mesir, Widad Sakakini, menulis sebuah buku berjudul Ummahât al-Mu’minîn wa Banât al-Rasûl. Di salah satu bab buku yang menulis biografi para istri dan anak perempuan Rasulullah itu, Widad menulis kesedihan Rasulullah karena kepergian anak laki-lakinya, Ibrahim.

Ibrahim lahir dari Mariah al-Mishriyyah (Mariah dari Bangsa Mesir), istri-Rasulullah dari bangsa Qibti (Qibti adalah penduduk asli Mesir. Orang Barat menyebut Mesir dengan “Egypt”, yang diambil dari kata “Qibth” atau Qibti). Sehingga, Mariah disebut juga dengan Mariah al-Qibthiyyah atau “Mariah dari Bangsa Qibti”. « Read the rest of this entry »

Dîwân al-Imâm al-Syâfi‘i (Syair-syair Imam Syafi‘i)

31 May 2010 § 13 Comments


Saya kira hampir semua orang mengenal Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i atau yang kita sebut secara singkat dengan Imam Syafi‘i, paling tidak pada sebatas ia adalah seorang pendiri salah satu mazhab-fikih terbesar, Mazhab Syafi‘i. Atau, paling tidak, jika disebut Imam Syafi‘i maka yang tebersit pertama dalam pikiran adalah fikih. Dan, barangkali sedikit dari kita yang mengetahui jika Imam Syafi‘i adalah juga seorang penyair, meski ia tidak menulis buku khusus untuk syair-syairnya. Ia menyenandungkan syair secara spontan sebagai cerminan atas keadaan tertentu atau sebagai jawaban pertanyaan seseorang kepadanya. Seorang murid yang mendengar syair itu akan menghafalnya, lalu menyampaikannya dari mulut ke mulut, turun-temurun. Kemudian, para ulama-penulis akan menukil untuk buku-buku mereka syair-syair yang sesuai dengan tema yang mereka tulis. Akhirnya, tersebarlah syair-syair Imam Syafi‘i di berbagai karya tentang hadis, fikih, sejarah, bahasa, etika, dan sebagainya.

Dan, Dîwân al-Imâm al-Syâfi‘i adalah sebuah buku kecil yang merangkum syair-syair[1] Imam Syafi‘i—ada sekitar seratus lima puluhan syair—yang  terserak di berbagai karya tersebut. Tertulis di sampul buku itu, perangkumnya bernama Yusuf Syekh Muhammad al-Biqa‘i, seorang profesor bahasa dan sastra Arab. Sebagian besar syair-syair dalam Dîwân memotret soal moral dan nasihat serta refleksi dari keadaan masyarakatnya saat itu, sekaligus mencerminkan gambar diri Sang Imam.

Ada satu syairnya yang jika dibaca, kita akan tahu betapa Imam Syafi‘i begitu menghormati wanita. Ia tidak menempatkan wanita di posisi yang pantas dipojokkan atau menjadi bahan olok-olok. Simaklah …

أَكْثَرَ النَّاسُ فِي النِّسَاءِ وَقَالُوا

إِنَّ حُبَّ النِّسَاءِ جَهْدُ الْبَلَاءِ

لَيْسَ حُبُّ النِّسًّاءِ جَهْدًا وَلَكِنْ

قُرْبُ مَنْ لَا تُحِبُّ جَهْدُ الْبَلَاءِ

Banyak orang memperbincangkan wanita,

dan mereka mengatakan: mencinta wanita itu puncak bencana.

Puncak bencana sesungguhnya bukanlah mencintai wanita,

melainkan berdekatan dengan orang yang tak kaucintai.

Mungkin saja, Imam Syafi‘i hidup dalam masyarakat di mana faktor lelaki begitu dominan, saat para lelaki menganggap kelelakian adalah alasan yang membuat seorang lelaki bisa di atas wanita dalam berbagai hal, sehingga seseorang mudah saja mengolok-olok wanita. Atau, mungkin saja, pada suatu ketika, Imam Syafi‘i pernah melewati sekelompok laki-laki yang sedang nongkrong, dan mendengar mereka membicarakan kesialan mereka sendiri tentang wanita. Namun, kesialan itu mereka nisbatkan kepada wanita.

Yang tak sedikit dibicarakan Imam Syafi‘i dalam Dîwân adalah soal “bicara” dan “diam”. Imam Syafi‘i menasihati kita,

إِذَا نَطَقَ السَّفِيْهُ فَلَا تُجِبْهُ

فَخَيْرٌ مِنْ إِجَابَتِهِ السُّكُوْتُ

Jika ada orang bodoh berbicara, jangan ditanggapi.

Jika harus ditanggapi maka tanggapan terbaik untuknya adalah diam.

Al-Safîh (orang bodoh) bisa kita pahami sebagai “orang bodoh tapi tak mau memikirkan kebodohannya” atau “orang bodoh tapi ngeyel” atau “orang bodoh tapi sok tahu”. Dalam Al-Quran, tepatnya ayat ke-142 dari surah al-Baqarah, al-sufahâ’ (bentuk plural dari al-safîh) dinisbahkan kepada orang-orang Yahudi dan kaum musyrik yang mempertanyakan dengan maksud mengingkari keputusan pengalihan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka‘bah.

“Alasan apa yang membuat orang-orang muslim tidak lagi berkiblat ke Baitul Maqdis?!” kata mereka. Pertanyaan yang bernada sinis. Allah kemudian menyuruh Rasulullah memberi jawaban “sekenanya”: “Timur dan barat itu milik Allah!” Dalam bahasa kita, seperti ini: “Mau menghadap ke mana aja kek, terserah Allah dong!” Jika saja orang-orang Yahudi itu bertanya dengan maksud benar-benar ingin tahu—bukan mengingkari—barangkali Allah akan menyuruh Rasulullah memberi jawaban yang “sebenarnya”.

Mengapa orang-orang seperti itu (al-safîh) tidak perlu didengar dan ditanggapi omongannya? Tentu saja, karena jika al-safîh bertanya, ia tidak bermaksud ingin mendapatkan jawaban, tetapi hanya ingin mengungkapkan ketidaksukaan. Ia bertanya bukan untuk mencari arti, melainkan untuk mengingkari. Menjawab pertanyaan orang seperti itu hanya membuang tenaga secara percuma. Menjawab pertanyaan orang seperti itu hanya memberi kesempatan kepadanya untuk melakukan pengingkaran selanjutnya. Menanggapi orang-orang yang ngeyel, orang-orang yang sok tahu, orang-orang yang berdiskusi tanpa argumentasi, orang-orang yang berbicara hanya ingin didengarkan tapi tak mau mendengarkan, pada akhirnya itu sama saja dengan kita menunjukkan kebodohan diri kita sendiri, membuat kita tampak bodoh di hadapan mereka. Namun, “Jika harus ditanggapi,” kata Imam Syafi‘i, “tanggapan terbaik untuknya adalah diam.”

Itulah diam dalam makna yang disebut peribahasa “diam itu emas”. Diam yang menyimpan hikmah. Membangun harga diri dengan tak banyak bicara tanpa arti. Imam Syafi‘i membuat analogi sangat menarik tentang itu dalam syairnya,

أَمَّا تَرَى الأَسَدَ تُخْشَى وَهْيَ صَامِتَةٌ

وَالْكَلْبُ يُخْسَى لَعَمْرِي وَهْوَ نَبَّاحُ

Kautahu, macan tetap ditakuti meski sedang diam,

namun anjing akan dilempar jika terlalu banyak menggonggong.

 

Apalagi banyak bicara tanpa arti, bahkan, kata-kata yang pada dirinya benar dan penuh arti pun tak secara otomatis pantas dibicarakan dan disampaikan. Yang benar tak selalu berarti baik. Kebenaran berkaitan dengan “sesuatu yang harus disampaikan”, sementara kebaikan berkaitan dengan “bagaimana cara sesuatu harus disampaikan”. Kebenaran berkaitan dengan logika, kebaikan berkaitan dengan etika. Sesuatu yang logis harus disampaikan secara etis. Barangkali kita memiliki pendapat atau nasihat yang kebenarannya tak terbantahkan. Tapi, kita juga harus berpikir sebelum menyampaikan pendapat atau nasihat itu kepada orang lain: Apakah sesuai betul untuk kondisi orang itu?  Apakah pendapat atau nasihat itu dibutuhkan? Apakah orang itu menghendaki? Jangan-jangan berdasar asumsi kita saja bahwa orang itu membutuhkan pendapat atau nasihat, atau jangan-jangan kita yang terlalu “bersemangat”. Jangan sampai kemudian niat baik kita menjadi buruk gara-gara cara  kita menyampaikannya tidak bijak. Kurang-lebih, seperti itulah yang ingin disampaikan Imam Syafi‘i dalam syairnya ini:

وَلَا تُعْطِيَنَّ الرَّأْيَ مَنْ لَا يُرِيْدُهْ

فَلَا أَنْتَ مَحْمُوْدٌ وَلَا الرَّأْيُ نَافِعُهُ

Jangan kausampaikan pendapat kepada orang yang tak menghendaki;

kau tidak akan mendapat pujian, tidak pula pendapatmu akan berguna.

Sebab itulah tak jarang kita menyaksikan di media-media, satu kelompok bergerak menyerukan kebenaran, tapi yang tebersit dalam sebagian hati kita justru bukan simpati, melainkan caci maki. Dan, tentu saja, bukan caci maki terhadap diri kebenaran, melainkan terhadap ekspresi-kebenaran yang tak benar.

Gambar diri lain dari Imam Syafi‘i yang bisa kita lihat dalam Dîwân­ adalah sikap-rendah-hatinya yang tinggi. Untuk kita ingat … Imam Syafi‘i adalah: seorang bayi yang kelahirannya bertepatan dengan kematian seorang pendiri mazhab-fikih terbesar [yang lain], Mazhab Hanafi, yaitu Imam Abu Hanifah, dan kebesarannya telah diramalkan, sehingga, saat itu, orang-orang berujar, “Mâta imâm wa wulida imâm” (Seorang imam telah berpulang dan [calon] seorang imam telah datang); seorang anak yang telah hafal Al-Quran secara penuh saat berusia tujuh tahun, dan telah hafal seluruh isi al-Muwaththa’—kitab berisi kumpulan hadis—pada usia lima belas tahun, sebelum berguru kepada penulis kitab itu, Imam Malik ibn Anas, yang juga seorang pendiri salah satu mazhab-fikih terbesar, yaitu Mazhab Maliki; seseorang yang kemudian mendirikan salah satu mazhab-fikih terbesar, Mazhab Syafi‘i—mazhab yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia; seorang guru yang muridnya bernama Imam Ahmad ibn Hanbal juga mendirikan salah satu mazhab-fikih terbesar, Mazhab Hanbali; jika Anda pernah menjumpai nama ulama klasik yang dalam rangkaiannya tertulis “al-Syafi‘i”, itu artinya, dalam masalah fikih, ia mengikuti metode fikih yang dibangun Imam Syafi‘i; atau Anda barangkali ingin menambahkan nama besar Imam Syafi‘i dari sudut yang lain …. Namun demikian, coba kita perhatikan apa yang Imam Syafi‘i gambarkan tentang dirinya dalam syair ini,

كُلَّمَا أَدَّبَنِى الدَّهْرُ أَرَانِي نَقْصَ عَقْلِي

وَإِذَا مَا ازْدَدْتُ عِلْمًا زَادَنِي عِلْمًا بِجَهْلِى

Masa mendidikku dan memperlihatkan jika pengetahuanku semakin berkurang.

Pun jika pengetahuanku bertambah maka itu adalah pengetahuan tentang kebodohanku.

Atau yang ini,

أُحِبُّ الصَّالِحِيْنَ وَلَسْتُ مِنْهُمْ

لَعَلِّى أَنْ نَالَ بِهِمْ الشَّفَاعَهْ

وَأَكْرَهُ مَنْ تِجَارَتُهُ الْمَعَاصِى

وَلَوْ كُنَّا سَوَاءً فِيْ الِبِضَاعَهْ

Aku bukan termasuk orang-orang saleh, tapi aku mencintai mereka. 

Dengan mencintai mereka aku hanya berharap mendapat syafaat.

Aku membenci orang yang perilakunya adalah maksiat,

meski aku dan mereka sama saja.

Bahkan, menjelang ajal, sambil menangis, Sang Imam sempat berkata kepada orang-orang yang menjenguknya, “Dari dunia ini aku akan pergi, dari handai tolan aku akan berpisah, hanya dengan segelas harapan aku berbekal, dan kepada Tuhan aku akan kembali. Tapi, aku tidak tahu ke mana ruh jasad ini akan menuju: mungkin ke surga, mungkin ke neraka.”[]

*

Kutipan Imam Syafii dalam YouTube:

Menjadi Burung Bersayap Sempurna: Kisah Syaqiq al-Balkhi & Ibrahim ibn Adham

17 May 2010 § Leave a comment


Syaqiq al-Balkhi adalah seorang pengusaha kaya yang memiliki orangtua yang juga pengusaha kaya.

Suatu ketika, ia keluar daerah untuk melakukan perjalanan niaga. Di tengah perjalanan ia beristirahat di sebuah tempat ibadah milik agama penyembah berhala, dan menjumpai penjaga tempat ibadah itu sedang mencukur rambut dan jenggotnya, lalu mengenakan pakaian sembahyang. Syaqiq seorang muslim yang taat. Dan tentu saja, bagi seorang muslim, berhala adalah benda mati yang tak patut dijadikan sesembahan.

“Kau memiliki Pencipta Yang Mahahidup, Mahatahu, Mahakuasa,” kata Syaqiq kepada penjaga itu, setelah melihatnya telah rapi. “Dialah yang seharusnya kausembah, bukan benda mati bernama berhala yang tak bisa berbuat apa-apa itu.” « Read the rest of this entry »

Menjaga Perasaan

27 April 2010 § Leave a comment


dimuat di kolom “Hikmah” Republika, Selasa, 27 April 2010

Termasuk etika dalam bersahabat dan lebih luas lagi dalam bermasyarakat, adalah menjaga perasaan. Bahkan, Rasulullah SAW menjadikan itu sebagai salah satu prasyarat Muslim sejati.

Rasul SAW mengatakan bahwa yang disebut Muslim adalah orang yang mulut dan tangannya membuat orang lain merasa damai. Kata-katanya tidak menyakiti, perilakunya tidak melukai. Dua-duanya menjadi satu-kesatuan utuh untuk membentuk karakter Muslim sejati. « Read the rest of this entry »

Si Tuli dan Kentut

6 October 2009 § Leave a comment


Suatu ketika, Hatim didatangi oleh seorang perempuan yang hendak berkonsultasi tentang suatu hal. Berbarengan dengan saat bertanya, perempuan itu kelepasan kentut. Hatim lalu berkata, “Maaf, Anda bertanya apa? Mohon, angkat sedikit suara Anda agar saya dapat mendengarnya dengan baik.” Perempuan itu berpikir, Hatim ini memiliki pendengaran yang kurang baik, dan pasti tidak mendengar kentut barusan.

Selesai urusan, perempuan itu pun pulang dengan perasaan lega dan barangkali tak perlu terlalu malu kepada dirinya sendiri dan kepada Hatim.

Sejak peristiwa itu, tersebar kabar bahwa Hatim orang yang pendengarannya kurang baik. Dan, bukan hanya kabar angin, orang-orang pun mengetahui sendiri bahwa Hatim memang demikian. Lalu, orang-orang pun menjuluki Hatim dengan al-asham atau si tuli.

Sampai kemudian perempuan itu meninggal dunia. Hatim lalu menceritakan keadaan diri bahwa sesungguhnya ia tidak benar-benar tuli. Apa yang ia lakukan hanya kepura-puraan. Saat perempuan itu kentut di hadapannya, ia pura-pura tidak mendengar. Dan, ia berjanji, kepura-puraan itu akan ia jaga selama si perempuan masih hidup, semata karena tidak ingin membuat perempuan itu malu. Hatim ingin menjaga harga diri perempuan itu.

* * *

Abu Abdurrahman Hatim ibn Ulwan, itulah nama lengkapnya—seorang tokoh sufi dari negeri Khurasan, meninggal pada 237 H atau 851 M—atau lebih dikenal dengan nama Hatim al-Asham, Hatim Si Tuli.

[al-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf karya Imam al-Qusyairi]

Kidung Malam Jumat

10 May 2009 § 1 Comment


Iqamah sembayang Maghrib di langgar yang hanya berjarak satu rumah di depan, biasa dilangsungkan sepuluh sampai lima belas menit setelah azan dikumandangkan. Pada jeda itu, muazin akan menembangkan kidung-kidung. Para jamaah yang telah hadir sebagian melakukan sembayang qabliyah, sebagian yang lain duduk bersila ikut menembangkan kidung, puji-pujian.

Pada Maghrib malam Jumat, kidung yang ditembangkan adalah tentang anjuran mendoakan sanak keluarga yang telah bersemayam di alam lain. Tak pernah diketahui siapa penggubahnya, yang jelas kidung itu telah ditembangkan turun temurun dan hampir semua warga kampung menghafalnya, dari tiyang sepah (orang tua) sampai anak-anak madrasah. Tapi, apa pentingnya kidung semacam itu bagi anak-anak madrasah ingusan yang belum memiliki penghayatan itu kecuali sebagai ajang teriak-teriakan, lalu para orang tua akan menyentak mereka karena hanya mengumbar suara cempreng tak teratur.

Allahumma shalli ‘ala muhammad…

malem jumah ahli kubur tilik umah
nyuwun pandunga ayat quran sakalimah

anak putu ora pada ngaji
ngelus dada mbrebes mili

balik ning kuburan
awan bengi tangis-tangisan…

Setiap malam Jumat, ahli kubur, sanak keluarga yang telah di kubur akan menyambangi keluarganya yang masih hidup, mengharap doa dari mereka meski hanya satu ayat Alquran. Tapi sayang, mereka tidak ada yang mau membacanya. Ahli kubur sedih mengusap dada melihat mereka demikian. Ia kembali ke kubur membawa kekecewaan. Di sana, siang malam ia menangis, meratap…

Selepas sembayang jamaah di Maghrib malam Jumat itu, para orang tua akan mengurung anak-anak mereka di rumah. Tidak boleh ada aktifitas selain membaca Alquran untuk menjamu para ahli kubur yang sedang sambang. Setelah itu, para orang tua akan membebaskan anaknya bermain sepuasnya di luar atau menonton televisi (bagi yang punya televisi, zaman itu), sebab keesokan harinya mereka tidak belajar. Jumat adalah hari libur madrasah.

Para warga, khususnya yang berprofesi tukang ojek, paling takut jika menabrak kucing, apalagi jika si korban tewas seketika di lokasi kejadian. Pelaku penabrakan akan melakukan penguburan sebaik-baiknya pada korban tewas itu. Mereka punya keyakinan, jika kucing itu tak dikubur dengan baik, apalagi dibuang begitu saja, bakal membawa celaka. Sebab, kucing adalah hewan kesayangan salah seorang sahabat Kanjeng Rasul, Abu Hurairah.

Benarkah demikian? Apakah benar, sanak keluarga yang telah meninggal bakal menyambangi rumahnya di dunia? Apakah perlu dibenarkan orang yang punya keyakinan bahwa seekor kucing yang mati tertabrak bakal membawa celaka bagi pelakunya?

Ah, tentu saja tidak. Semua itu hanya bahasa simbol, cara untuk menyampaikan esensi sebuah pesan kearifan. Begitulah “wong ndeso”. Di balik kehidupannya yang bersahaja dengan pola pikir sederhana, mereka menyimpan kearifan mendalam yang telah mengakar, turun temurun menjadi pegangan. Dan, mereka memiliki cara unik beraroma mistik untuk menyampaikan kearifan itu.

Warga kampung barangkali akan takut jika diweden-wedeni bahwa kucing mati tertabrak yang tidak dikubur dengan baik akan membawa celaka pelakunya. Mereka lebih paham dan patuh dengan ancaman semacam itu ketimbang memahami sebuah esensi: agar bangkai kucing tak menimbulkan bau tengik yang akan mengganggu para pejalan kaki. Warga lebih bersedia dan bersemangat membaca Yasin di malam Jumat, mendoakan mbah-nya yang telah meninggal dengan diweden-wedeni bahwa si mbah sedang menjenguk, ketimbang karena kesadaran akan nilai kesalehan. Cara-cara seperti itu memang terkadang lebih mengena dan efektif mendorong seseorang untuk melaksanakan perintah atau anjuran.

Tak pernah diketahui dari mana warga menggali sumber kearifan itu dan memiliki cara unik menyampaikannya. Apakah hal itu memiliki keterkaitan dengan cara agama yang juga tak sedikit menggunakan bahasa simbol dalam menyampaikan esensi pesan, anjuran, perintah (melaksanakan atau meninggalkan), kemudian memengaruhi cara berpikir mereka? Mungkin saja. Sebab, agama—Kitab Suci dan Sabda Nabi—adalah pengajar terbaik ungkapan simbolis, terutama terkait dengan Tuhan dan ketuhanan. Tuhan yang sama sekali tak terjangkau pikiran manusia kerap hadir dalam bahasa manusiawi dengan tujuan membuka jalan agar manusia mampu menyentuh Tuhan dengan pikirannya, menjamah Tuhan dengan penghayatannya. Tuhan hadir dalam bahasa yang bisa dimengerti manusia. Dan tentu saja, bahasa tentang Tuhan hanyalah bayang-bayang Tuhan dan bukan esensi Tuhan itu sendiri.

Kita tahu, misal, Nabi yang pernah mengatakan bahwa pada sepertiga malam Tuhan selalu bertandang ke “langit dunia”, menyeru para penduduk bumi, “man yad’uni, fa astajibu lahu. Man yastaghfiruni, fa aghfiru lahu.” “Siapa yang berdoa, akan Kukabulkan. Siapa yang meminta ampunan, akan Kuberi.”

Tentu kita tidak akan memahami sabda itu bahwa Tuhan benar-benar hadir mengawang-awang di angkasa secara kasat mata, menyeru manusia dengan suara yang memecah keheningan sepertiga malam. Tak masuk akal (mustahil aqli) manusia dan tak layak bagi karakter ketuhanan, jika Tuhan melakukan itu. Dan nyatanya pada sepertiga malam tak pernah terdengar suara seruan kecuali tawa mengakak para insomniak, atau suara kipas dari mainboard komputer yang casing-nya telah rusak, atau hanya suara putaran jarum jam yang berdetak.

Sesuatu yang tak masuk akal, gaib, mistik, yang hadir dalam simbol-simbol, jika tak dipahami esensinya maka ia akan berhenti sekedar menjadi mitos—yang justru kerap menjadi daya dorong cukup kuat untuk melakukan perintah melakukan atau meninggalkan. Terdorong karena sebuah waktu dan tempat, atau karena iming-iming pahala atau weden-weden siksa, serangkai ritual barangkali pernah dilakukan. Pada saat seperti itu, penghambaan terhadap simbol sedang digelar. Mungkin karena sebuah esensi yang terlalu jauh.[jr]

Pada Ketenangan Jiwa

25 March 2009 § 2 Comments


Harta adalah harta. Pada dirinya, ia tidak mulia atau hina, baik atau buruk. Ia mati dan manusia menghidupkannya, untuk kemudian berada dalam kendali dan memberi arti atau justru menjadi tuan penguasa diri. Dengan harta, mampukah manusia menjadi hamba yang baik di hadapan Sang Pemilik, atau justru menjadi hamba harta dan mengabdi kepadanya.

Tutur kata Kitab Suci, “innama amwalukum wa auladakum fitnah. Wallahu ‘indahu ajr adzim.” “Harta dan anak-anakmu hanyalah materi ujian bagimu. Hanya di sisi Tuhan pahala yang besar”.

Begitulah hakikat harta dan segala pesona dunia. Sebagai ujian, ia ditimpakan kepada siapa saja, lintas strata, dan tanpa pandang bulu: cendekiawan, pejabat, agamawan, dan siapa pun yang tak terdefinisikan dalam titel dan sebutan. Masing-masing diuji dengan apa yang ada pada mereka. Yang kaya diuji dengan kekayaannya. Yang miskin diuji dengan kemiskinannya. Kekayaan dan kemiskinan bukanlah sesuatu apa. Keduanya hanya instrumen ujian, berada di garis yang sama dengan perbedaan semu.

Tutur Suci di atas tak hanya memastikan harta adalah ujian, namun juga menunjukkan, sesungguhnya harta – juga jenis kenikmatan duniawi lainnya – seberapa pun banyaknya, tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan Tuhan. Sebanyak apa pun harta yang dimiliki seseorang, ia tetap kecil di hadapan-Nya dan tidak kekal. Yang bernilai adalah apa yang ada di sisi Tuhan, yaitu ketika harta itu difungsikan dengan tepat, sesuai hak dan kewajiban yang diamanatkan pada harta itu, ketika sebagai intstumen ujian, seorang manusia berhasil lulus dengan baik.

Kesadaran memahami kehidupan dunia sebagai ujian semacam di atas perlu dibangun agar tak ada fitrah kemanusiaan yang tercerabut. Kitab Suci menyebutkan, “Ya ayuhalladzina amanu la tulhikum amwalukum wa auladukum ‘an dzikrillah. Waman yaf’al dzalik, faualaika hum al-khasirun.” ”Wahai orang-orang beriman, jangan sampai harta dan anak-anak yang Kau miliki melalaikanmu dari Tuhan. Siapa yang terlalaikan, itulah orang yang rugi.”

Karena itu, sikap terbaik dalam menjalani hidup adalah zuhud, asketis. Zuhud adalah sikap di mana harta dan kenikamatan duniwai tak menyilaukan mata dan membutakan hati. Sebaliknya, juga tak menjejakkan duka merana ketika segala kenikmatan tersebut dicabut dan tiada.

“Likaila ta’sau ‘ala ma fatakum, wala tafrahu bima atakum,” begitu tersebut dalam Kitab Suci. “Supaya Kau tak berduka pada apa yang telah luput darimu, dan tak terlampau gembira pada apa yang Ia beri untukmu.”

Sikap zuhud mengontrol manusia dari dalam jiwa. Yang hilang tak akan membuatnya meradang. Yang datang tak akan menjadikannya senang bukan kepalang. Sikap zuhud menemani manusia menjalani hidup dengan tenang bersama yang ada, bahkan dengan yang tiada.

“Kekayaan adalah ketenangan jiwa.” Yakni, tenang dengan apa, bagaimana, dan berapa pun yang ada, bahkan tenang ketika yang ada adalah ketiadaan.

Dipertemukan dengan suami yang gagah sekali atau tak gagah sama sekali, dijodohkan dengan istri yang ayu sekali atau tak ayu sama sekali, dikaruniai anak berbakat luar biasa atau biasa saja atau bahkan di luar kebiasaan, dianugerahi kekasih yang menawan sekali atau tak menawan sama sekali, diberi harta banyak sekali atau sedikit sekali, dan sebagainya dan seterusnya, atau bahkan tak dikarunia satu pun di antara semua itu, tetap saja pada akhirnya ada yang lebih ingin dicari dan dimiliki di balik semuanya: ketenangan jiwa.

Sebab, pada ketenangan jiwa, seseorang merasa cukup dan berhenti melakukan pencarian. Meski tak mudah.[jr]

Semalam Bersama Cak Nun

21 March 2009 § 1 Comment


Bagai sinetron-sinetron televisi kita, pengusiran Iblis dari surga begitu dramatis. Kecemburuan, pengkhianatan, pembangkangan, dan dendam terkuak dalam tragedi itu.

Tragedi itu bermula ketika Tuhan memperkenalkan anggota “keluarga” baru bernama Adam dalam jajaran kemahlukan. Dalam perkenalan itu, Tuhan meminta kepada semua yang hadir untuk memberikan sujud penghormatan kepada keluarga baru itu. Tak dinyana, permintaan itu diprotes oleh kalangan Iblis. Mereka menolak sujud hormat kepada Adam. Lain hal dengan kalangan Malaikat yang paham perintah tersebut, bahwa sujud itu sejatinya bukan penghormatan kepada Adam, tapi kepada Tuhan sendiri yang telah menciptakannya sedemikian rupa.

“Ada apa, Iblis? Kenapa Kau menolak sujud hormat kepada Adam?”

“Maaf, Tuhanku, apakah adil, jika aku harus sujud kepadanya?!” kata Iblis. “Dia dari tanah dan aku dari api.”

Ternyata praktik narsisme telah bermula sebelum dunia sepenuhnya ada. Dan itu Iblis yang pertama melakukannya. Praktik narsisme dalam arti mencintai diri yang diukur dari kesempurnaan tubuh seraya menafikan keberadaan di luar dirinya. Iblis menyangka, perbedaan materi penciptaan akan berimbas pada derajat kemuliaan diri. Api, dengan karakternya yang gagah menyala, aktif, agresif, selalu ke atas, dan tak mudah dibentuk, seharusnya dipandang lebih mulia ketimbang tanah yang pasif, lemah (“lemah” [bahasa Jawa] artinya “tanah”. Dalam bahasa Indonesia, artinya “tak berdaya”), hanya diam, selalu ke bawah, dan mudah dibentuk tergantung pembentuknya. Barangkali Iblis berasumsi, seharusnya Adam yang sujud hormat kepadanya, selain karena relasi junior yang harus hormat kepada seniornya.

Entah bagaimana kita bayangkan ekpresi wajah Tuhan dalam suasana pembangkangan dan pengkhianatan itu. Yang jelas, setelah itu Tuhan mengusir Iblis. Tuhan mengecap di jidatnya sebagai mahluk sesat, sombong, dan hina.

Kepalang tanggung dicap demikian, Iblis mengajukan permintaan kepada Tuhan.

“Silakan. Apa permintaanmu?”

“Jangan Kau matikan aku sampai hari kiamat. Biarkan aku hidup sampai hari hisab dan hari kebangkitan tiba.”

“Baik. Permintaanmu disetujui.”

Mencengangkan. Setelah tahu permintaannya disetujui Tuhan, di hadapan-Nya, Iblis membeberkan rencana aksinya selama hidup dalam imortalitas di dunia.

“Kepalang tanggung Kau telah hukum aku sebagai mahluk sesat, aku akan konsisten pada jalan kesesatan. Aku akan merebut massa sebanyak-banyaknya untuk ikut jalanku. Aku akan pengaruhi mereka untuk melupakan-Mu, tersesat tak tahu arah menuju jalan lurus-Mu. Imortalitas hidupku di dunia, akan aku habiskan untuk menyesatkan manusia. Lihat saja, Tuhan, Kau bakal saksikan banyak manusia yang tak bersyukur.”

“Pergi, Kau, Iblis hina!”

~

Hampir mustahil saya menemui Cak Nun secara fisik. Untung saya punya ilmu “Sigar Raga”. Pada suatu malam, saya tinggalkan jasad saya yang terbujur tidur di kasur, berharap Cak Nun pun sedang meninggalkan raganya. Saya terbang menembus gelap malam angkasa, lalu sampailah pada dunia antah berantah. Benar saja, Cak Nun sedang kluyuran meninggalkan raga. Saya lihat dia pakai jubah dan bersurban putih, sebagaimana biasa jika tampil bersama Kyai Kanjeng. Saya dekati dia. Mengawali dengan sedikit basa-basi, kemudian berlanjut pada diskusi, termasuk soal tragedi pengusiran Iblis itu.

Tak disangka, ternyata Cak Nun punya hubungan cukup intim dengan Iblis. Kata Cak Nun kepada saya, dia pernah dibisiki oleh Iblis, argumentasi lanjutan kenapa ia tak mau bersujud kepada Adam, kala itu.

Kepada Cak Nun, si Iblis berbisik, “Kami sengaja tidak bersujud kepada Adam, kami minta satu periode zaman saja kepada Tuhan untuk membuktikan argumentasi kenapa kami tidak bersujud kepada Adam. Hari ini aku nyatakan: Tidak relevan Iblis bersujud kepada Adam, karena anak turun Adam sekarang terbukti sangat beramai-ramai dan kompak menyembah Iblis.”

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with agama at Warung Nalar.