Merenungkan Makna Shalat Kita
30 March 2008 § 1 Comment
A. KEAGUNGAN SHALAT
Shalat merupakan kewajiban yang amat besar dan agung dalam Islam sesudah dua kalimat syahadat. Dua kalimat syahadat ibarat gerbang memasuki “rumah” Islam, sedangkan shalat adalah kewajiban yang harus dilakukan ketika telah memasuki “rumah” Islam tersebut.
Keagungan shalat dapat dilihat dari beberapa hal,
a. Shalat adalah pondasi Islam. Dan orang yang meninggalkan shalat agak berat untuk dikategorikan sebagai muslim. Rasulullah shallallahu’ialihi wasallam bersabda,
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ. (رواه البخاري).
Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’ialihi wasallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima hal; syahadat (pengakuan tentang keesaan Allah dan kerasulan Muhammad), shalat, zakat, haji, dan puasa ramadhan.” (HR. Bukhari)
b. Shalat adalah ritual vertikal yang pertama sekali akan diminta pertanggung-jawaban oleh Allah di hari kiyamat kelak. Nabi menyatakan,
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُه.ُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ. (رواه البخاري).
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’ialihi wasallam bersabda, “Amalan seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiyamat kelak adalah shalat (fardlu). Jika shalatnya bagus, maka ia telah bahagia dan berhasil (pada apa yang diharapkannya). Namun, jika shalatnya buruk, maka dia telah menyesal dan merugi (karena tidak mendapat pahala dan justeru mendapat siksa).” (HR. Tirmizi).
c. Shalat juga menjadi identitas yang membedakan antara muslim dan non-muslim,
عن جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ. (رواه البخاري).
Dari Jabir radliyallahu ‘anhu, shallallahu’ialihi wasallam bersabda, “Garis yang membedakan seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)
Syirik atau kufur berarti meyakini adaanya tuhan lain atau kekuatan lain, selain Allah. Artinya, ketika seseorang telah melakukan shalat dengan penghayatan dan penuh keyakinan terhadap bacaan-bacaan shalat, berarti dia telah lepas dari kesyirikan dan kekufuran. Sebab shalat merupakan bentuk ikrar seorang hamba kepada Allah, bahwa tiada tuhan selain Dia yang berhak disembah.
d. Shalat merupakan ibadah individual yang tetap harus dikerjakan oleh seorang muslim dalam kondisi apapun dan bagaimanapun, selama akal masih berfungsi normal (ma dama al-aqlu tsabitan).
Suatu ketika seorang sahabat bertanya tentang shalat orang yang sakit. Nabi menjawab,
عن عمران بن حصين رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ. (رواه البخاري)
Dari Imran bin Hushein radliyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’ialihi wasallam bersabda, “Cobalah shalat berdiri dulu. Kalau tidak mampu, ya shalat dengan posisi duduk. Jika posisi duduk juga tidak mampu, maka boleh shalat dalam posisi berbaring (di atas lambung sebelah kanan dengan menghadap kiblat).” (HR. Bukhari)
Namun demikian, keagungan-keagungan shalat tersebut tidak sepenuhnya menemukan relevansinya pada realitas kehidupan sehari-hari. Kita bisa melihat fenomena yang terjadi, pada hari jumat masjid-masjid di mana-mana penuh sesak oleh jamaah, tetapi keadaan jalan pada jam-jam shalat tetap macet. Bukankah yang memadatinya sebagian besar adalah muslim yang wajib shalat?!
Fenomena lain, setiap waktu, sepertinya kita tak habis-habisnya dibanjiri oleh berita tentang kejahatan dan perbuatan yang menodai kemuliaan moral, atau berita tentang kesenjangan sosial yang menganga lebar. Bukankan shalat, seperti yang Allah informasikan, mampu mengontrol muslim dari perbuatan jahat dan maksiat, bahwa perintah shalat selalu beriringan dengan atensi terhadap kehidupan sosial?! Dengan kata lain, bukankah seharusnya shalat mampu menghantarkan kepada perbuatan-perbuatan baik, sebagaimana Allah firmankan?!
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ. (العنكبوت: 45)
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-‘Ankabut: 45)
Barangkali sulit untuk dipungkiri, fenomena yang sedang melanda umat Islam dewasa ini adalah kurang memposisikan shalat sebagai kewajiban utama, dan yang seperti itu tidaklah mengherankan. Sebab, Allah telah menginformasikan,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا. (مريم: 59)
“Maka datang sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka, mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59).
Sejauh mana shalat mampu membentuk kualitas pribadi? Sejauh mana shalat menemukan relevansinya dengan kehidupan sosial? Bisakah fenomena-fenomena di atas disebut manifestasi perkataan Umar bin Khattab,
من حفظها وحافظ عليها حفظ دينه، ومن ضيعها فهو لما سواها أضيع
“Siapa yang menjaga dan memperhatikan shalat, maka dia telah menjaga agamanya. Dan siapa yang melalaikan shalat, maka hampir dipastikan, dia akan lebih lalai terhadap hal-hal lain.”
Sejarah Kewajiban Shalat lima waktu
Shalat disyariatkan pada peristiwa mi’raj Nabi Muhammad shallallu ‘alaihi wasallam, yang menurut pendapat mayoritas ulama terjadi lima tahun sebelum Nabi berhijrah ke Madinah. Syariat ini Nabi terima langsung dari “tatap muka”nya dengan Allah pada peristiwa mi’raj tersebut, berbeda dengan syariat-syariat yang lain, menjadikannya sebagai ibadah agung nan istimewa.
Semula shalat ini diwajibkan kepada umat Muhammad lima puluh kali sehari semalam, tetapi kemudian dikurangi menjadi lima kali sehari semalam. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Anas bin Malik. Di bawah ini adalah lebih kurang riwayat tersebut:
Sesaat setelah Nabi Muhammad menerima kewajiban shalat, beliau bertemu dengan Nabi Musa, dan memberitahukan bahwa ia telah menerima “oleh-oleh” dari Allah berupa kewajiban shalat lima puluh kali sehari semalam.
Nabi Musa berkomentar, “Kembalilah kepada Tuhanmu. Sebab, umatmu tidak akan mampu melaksanakan shalat sebanyak itu.” Nabi pun menuruti ucapan Nabi Musa.
Setelah menghadap Allah, Nabi kembali mendatangi Nabi Musa dan memberitahukan bahwa kewajiban shalat telah dikurang menjadi dua puluh lima rakaat.
Nabi Musa kembali berkomentar, “Kembalilah kepada Tuhanmu. Sebab, umatmu tidak akan mampu melaksanakan shalat sebanyak itu.” Nabi pun kembali menuruti ucapan Nabi Musa. Akhirnya, kewajibab shalat hanya menjadi lima kali sehari semalam yang sepadan dengan lima puluh pahala. Tapi Nabi Musa masih meminta Nabi agar kembali menemui Allah. Nabi manjawab, “Aku malu kepada Tuhanku.”
Imam Ibnu Hajar, penulis kitab Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, menukil pendapat Ibnu Munir tentang keengganan beliau kembali menghadap Allah untuk kali yang ketiga, seperti yang diminta oleh Nabi Musa. Menurutnya, Nabi berfirasat, seandainya beliau kembali menghadap Allah, sedangkan kewajiban shalat telah diringankan menjadi hanya lima kali sehari, maka hasil yang diperoleh dari menghadap Allah yang ketiga kalinya tersebut adalah dihapuskan perintah shalat.
Kemungkinan lain, kenapa Nabi merasa malu adalah jika Nabi kembali untuk kali yang ketiga, untuk meminta keringanan jumlah shalat, maka Nabi khawatir termasuk hamba yang tidak bersyukur terhadap keputusan Allah.
Perintah Shalat
Kalau kita memperhatikan perintah shalat dalam Alquran, maka perintah itu selalu diawali dengan kata aqimu (أقيموا). Kecuali dua atau bahkan satu ayat saja. Kita lihat misalkan,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (البقرة: 43)
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (Al-Baqarah: 43)
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ(البقرة: 83)
“…dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kalian tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kalian, dan kalian selalu berpaling.” (Al-Baqarah: 83)
فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا(النساء: 103)
“…maka dirikanlah shalat itu. Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.” (al-Nisa: 103)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat sejenis. Kata aqimu (juga ragam derivasinya) biasa diterjemahkan dengan “dirikanlah” atau “mendirikan” meskipun sebenarnya terjemahan tersebut kurang tepat. Karena seperti kata seorang pakar tafsir, Imam al-Qurtubiy, dalam Tafsir-nya, aqimu bukan terambil dari kata qama yang berarti “berdiri”, tetapi kata tersebut terambil dari kata “iqamah” yang berarti “bersinambung dan sempurna”. Maka perintah tersebut (“aqimu shalah”) berarti “melaksanakannya dengan baik, khusyuk, bersinambung sesuai dengan syarat, rukun dan sunnahnya, serta tepat pada waktunya (awal waktu)”.
B. KESALEHAN SOSIAL BERBASIS SHALAT
Kata “saleh”, yang diserap dari bahasa arab “shalih”, lazim menjadi kata sifat atau ajektif dan disematkan pada individu (orang). Ketika Nabi Muhammad menjalani peristiwa mi’raj, beliau bertemu dengan Nabi Adam, Nabi Idris, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Ibrahim. Para nabi tersebut menyambut kedatangan Nabi yang di antar malaikat Jibril, dan menyebutnya dengan “Nabi yang saleh” dan “sauadaraku yang saleh”. Dalam bahasa arab kata “shalih” memiliki arti mustaqim muaddi liwajibatihi (orang istikamah yang selalu melaksanakannya kewajibannya) dan salamah min aib (bebas dari aib/tidak cacat moral). Dalam bahasa Indonesia, kata itu biasa digunakan untuk mensifati orang yang bermoral baik.
Pada perkembangannya, kata tersebut tidak hanya dijadikan kata adjektif untuk mensifati individu. Misalnya saja muncul kata “kesalehan sosial”. Agaknya kata ini memiliki kesamaan arti dengan kata “kepedulian sosial”. Kesalehan sosial lebih mulia dari kesalehan pribadi. Sebab untuk memiliki kesalehan sosial, sesorang terlebih dahulu dituntut saleh secara pribadi. Di samping itu, manfaat yang lahir dari kesalehan sosial lebih dirasakan bersama, dibanding kesalehan pribadi. Dalam agama dikenal istilah al-muta’addi afdal min al-qashir atau perbuatan yang bisa dirasakan bersama manfaatnya lebih utama dari pada perbuatan yang hanya dirasakan manfaatnya oleh pribadi. Maka ketika seseorang telah memiliki kesalehan pribadi, selanjutnya diharapkan memiliki kesalehan sosial.
Untuk membentuk jiwa yang memiliki kesalehan sosial dan mewujudkan sosial-kemasyarakatan yang saleh, harus dimulai dari perjuangan mewujudkan dan menumbuh-suburkan aspek-aspek ibadah, akidah dan etika pada diri pribadi, atau saleh secara pribadi terlebih dahulu. Kita tahu, masyarakat Islam lahir dari Nabi Muhamamd shallallu ‘alaihi wasallam, melalui kepribadian beliau yang luar biasa saleh dan mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga saleh: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az-Azahra, dan lain-lain. Kemudian lahir juga keuarga saleh dari Abu Bakar yang juga pribadi saleh. Jika individu-individu yang menghuni sekelompok masyarakat adalah individu yang saleh, maka bukan mustahil, selanjutnya akan terbentuk masyarakat saleh.
Dan shalat adalah aspek ibadah individual yang dalam Alquran banyak dikaitakan dengan kehidupan sosial dalam rangka membentuk masyarakat sosial yang saleh.
Selanjutnya, di bawah ini adalah uraian sebagian ayat-ayat shalat yang berkaitan dengan kesalehan sosial.
Shalat dan larangan mabuk
Masyarakat jahiliyah (sebelum Islam datang) ataupun sesudah Islam datang, namun larangan meminum arak (khamr) belum turun, khamr merupakan minuman favorit yang sudah mengakar. Khamr pada masa itu biasa dibikin dari buah-buah tertentu, misal anggur (‘inab), kurma (tamr), madu (‘asl), atau gandum (hinthah/sya’ir), dan biasa menjadi jamuan untuk tamu. Suatu ketika sahabat Abu Thalhah kedatangan beberapa orang tamu. Abu Thalhah, dibantu oleh sahabat Anas bin Malik, menjamu para tamu tersebut dengan arak (khamr) yang dibikin dari pohon kurma. Tiba-tiba di luar terdengar suara orang atas perintah Rasul, yang mengatakan bahwa pada detik itu juga arak telah resmi diharamkan. Mendegar hal itu, Abu Thalhah meminta Anas untuk menumpahkan arak-arak tersebut. Demikian seperti diriwayatlan oleh Imam al-Bukhari.
Atau, pada masa itu arak juga biasa diberikan sebagai hadiah. Seorang sahabat Nabi, Tamim al-Dariy, setiap tahun selalu memberikah sewadah arak kepada Nabi sebagai hadiah. Suatu hari Tamim hendak memberikan arak kepada Nabi. Tetapi kali itu Nabi tertawa, dan berkata, “Saat ini, arak telah diharamkan.” Demikian riwayat Ahmad bin Hanbal.
Karena sifatnya yang telah mentradisi dan benar-benar mengakar dalam masyarakat, maka arak tidak langsung diharamkan secara tegas. Alquran menggunakan tahapan-tahapan dalam penetapan hukum arak. Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa penetapan hukum arak melalui tiga tahap.
Awalnya turun ayat yang hanya menginformasikan tentang kandungan dan sifat arak, sebagai jawaban atas pertanyaan orang-orang Madinah kepada Nabi. Maka turunlah ayat,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا. (البقرة: 219)
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (Al-Baqarah: 219)
Di sini belum ditegaskan larangan arak walaupun dinilai keburukannya lebih besar dari manfaatnya, sehingga banyak masyarakat Madinah yang masih mengkonsumsinya. Sampai suatu ketika salah seorang dari muhajirin shalat maghrib dalam keadaan mabuk, hingga bacaan shalatnya belibet tidak karuan. Maka turun ayat yang dengan keras memperingatkan,
لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ. (النساء: 43)
“Janganlah kalian shalat dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (Al-Nisa: 43)
Sampai di sini pun arak belum sepenuhnya di larang, hanya dalam kondisi-kondisi tertentu saja, oleh karena itu masih banyak yang mengkonsumsinya. Sampai suatu ketika salah seorang sahabat shalat, dengan sebelumnya minum arak, namun tetap sadar. Maka turunlah ayat yang dengan sangat tegas mengharamkan arak,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون. (المائدة: 90)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 90)
Setelah ayat ini turun, secara resmi dan permanen, arak telah haram dikonsumsi. Secara cepat, berita ini menyebar seantero Madinah. Secepat itu pula, khamr di kota Madinah menjadi sangat langka.
Demikian, lebih kurang, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari sahabat Abu Hurairah.
Khamr secara bahasa memiliki arti “menutup”. Di sebut khamr, karena minuman tersebut menutup akal, membuat pikiran tidak sadar dan mabuk. Di atas mimbar, ketika larangan khamr telah berlaku, sahabat Umar pernah mengatakan,
وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ
“Disebut khamr karena menutup akal (membuat tidak sadar).”
Suatu kondisi yang sangat kontras dengan ritual shalat yang dituntut sadar, khusuk, tenang, takut kepada Allah, hati fokus memandang “wajah” Allah, memahami dan merenungi apa yang dibaca dalam shalat, bersih dan suci dari hadas, mengingat shalat adalah ritual agung seorang hamba menghadap Tuhannya yang maha agung dan maha suci. Konidisi-kondisi semacam itu tentu tak bisa didapat ketika orang tidak sadar.
Ketika Allah ta’ala meyatakan khamr sebagai minuman haram dalam kondisi apapun – yang sebelumnya hanya dilarang pada saat shalat – seolah hendak membentuk masyarakat yang baik dan saleh. Dengan jalan itu, kejahatan di masyarakat yang ditimbulkan oleh khamr dapat diminimalisir. Sebab dalam keadaan mabuk, seseorang sangat mungkin melakukan kejahatan-kejahatan apa saja. Perkosaan, pencurian, perkelahian, pembunuhan, meninggalkan kewajiban shalat, dan tindak kejahatan lainnya sering terjadi disebabkan mabuk. Maka, alangkah Maha Benar Allah dengan firmannya,
َإِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ. (المائدة: 91)
“Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamr dan berjudi, dan menghalangi kalian untuk mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maidah: 91)
Dan sangat tepat sekali pesan Nabi kepada sahabat Muadz bin Jabal,
وَلَا تَشْرَبَنَّ خَمْرًا فَإِنَّهُ رَأْسُ كُلِّ فَاحِشَةٍ. (رواه أحمد)
“Jangan sekali-kali kamu meminum khamr. Karena ia merupakan pangkal semua keburukan.” (HR. Ahmad).
Maka dapat dibayangkan, jika sekelompok masyarakat banyak dihuni oleh para pemabuk, tidak hanya shalat yang tersia-siakan, bahkan masyarakat tersebut digolongkan masyarakat “sakit”. Jika individu-individunya adalah orang-orang “sakit” dan pemabuk, maka untuk terciptanya masyarakat yang saleh pun jauh dari harapan. Sangat tepat jika khamr kemudian diharamkan.
Jika kita menalar dengan seksama dari riwayat Ahmad bin Hanbal di atas, kita bisa tahu bagaimana shalat telah “berperan” dalam proses larangan arak atau khamr, dan selanjutnya berperan dalam membentuk pribadi dan masyarakat yang saleh.
Shalat dan Menumpas Kejahatan
Ayat-ayat shalat yang banyak disebut dalam Alquran, jarang sekali berbicara tentang teknis shalat atau yang berkaitan dengan shalat itu sendiri. Tapi justeru banyak berkaitan dengan permasalahan-permasalan di luar shalat, khususnya, banyak dikaitkan dengan kehidupan dan permasalahan sosial.
Di bawah ini beberapa ayat-ayat tersebut,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (العنكبوت: 45)
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-‘Ankabut: 45)
Dengan gamblang ayat di atas menjelaskan shalat dapat mengontrol pelakunya dari tindakan keji (amoral) dan munkar (tindak kejahatan). Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah, dikisahkan, suatu ketika salah seorang sahabat datang mendatangi Nabi, menginformasikan tentang perilaku “aneh”, bahwa ada seseorang yang rajin shalat, tapi di sisi lain, juga “rajin” mencuri. Kemudian, Nabi berkata,
إِنَّهُ سَيَنْهَاهُ مَا تَقُولُ
“Kelak, shalatnya mampu mencegah kebiasaan mencurinya.”
Selanjutnya, kita juga bisa melihat pesan Lukman kepada anaknya, tentang shalat yang disandingkan dengan amar makruf nahi munkar,
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ. (لقمان: 17)
“Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Lukman: 17)
Di ayat lain Allah berfirman,
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ. (الحج: 41)
“…(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah perbuatan mungkar. Dan kepada Allah-lah segala urusan akan kembali.” (Al-Hajj: 41)
Kita bisa melihat ayat-ayat di atas, shalat tidak disebut sendiri, tetapi selalu disandingkan perintah berbuat kebaikan atau menghindari (mencegah) kemungkaran. Seolah Allah hendak menjelaskan, ketika seseorang telah mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Tuhannya (kewajiban individual – vertikal), maka jangan mengabaikan kewajibannya terhadap lingkungan sosial (kewajiban sosial – horizontal). Salah satunya adalah shalat dikaitkan dengan tindakan moral. Dalam hal ini shalat diharapkan mampu menjadi spirit dan motivator yang muncul dari jiwa yang paling dalam, untuk menghindari tindakan amoral dan kejahatan, serta menjadi penggerak untuk merubah lingkungan kepada yang lebih baik.
Namun, sedemikian mudahkah shalat mampu berperan seperti itu?
Tujuan hakiki dari shalat adalah pengakuan hati terhadap keagungan Allah ta’ala sebagai pencipta, pernyataan patuh terhadap-Nya, serta tunduk atas kebesaran serta kemulian-Nya. Bagi seseorang yang telah melaksanakan shalat dengan penuh rasa takwa, penuh perenungan terhadap ritual shalat itu sendiri, ikhlas, rasa takut kepada Allah (khasy-yah), maka hubungan dengan-Nya akan semakin kuat, istikamah melaksanakan perintah, dan menjaga ketentuan-ketentuan yang telah Allah gariskan dalam kehidupan sehari-hari.
Maka, menurut Abu ‘Aliyah, seperti dinukil oleh pakar tafsir, Ibnu Katsir, shalat yang mampu berperan mencegah kemungkaran adalah shalat yang dilaksanakan dengan memperhatikan tiga hal: ikhlash (tulus), khasy-yah (takut kepada Allah), dan dzikr (selalu ingat Allah). Tiga hal tersebut memiliki peran masing-masing. Sifat ikhlash yang tertanam dalam sanubari akan mendorong seseorang untuk berbuat kebaikan. Sikap khasy-yah yang dimiliki seseorang, mampu membuatnya bergetar takut saat kemungkaran ada di depan matanya, sehingga ia akan menjauh darinya. Sedangkan dzikr, selalu ingat kepada Allah, bisa memunculkan sikap ikhlash dan khasy-yah, artinya seolah Allah selalu mengawasi kita kapanpun, di manapun, dan bagaimanapun, sehingga terdorong melakukan kebaikan dan menghindari kemungkaran.
Itulah spirit yang mesti dimunculkan di setiap shalat. Tentunya untuk memunculkan spirit tersebut, perlu sikap istikamah atau bersinambung, dan tidak dapat diraih hanya dengan sekali shalat. Jika shalat sudah menjadi kebutuhan, lebih dari sekedar menggugurkan kewajiban, maka spirit tersebut akan semakin terpatri kuat di dalam jiwa, sehingga akan menjadi karakter, bukan hanya dalam shalat saja, tapi mampu menghiasai kepribadian. Sehingga, dari shalat ke shalat selanjutnya; dari subuh ke zuhur, zuhur ke asar, asar ke maghrib, maghrib ke isya, isya ke subuh, dan begitu seterusnya, jiwa dan raga kita akan terjaga dari perbuatan keji dan mungkar. Itulah buah yang seharunsya kita petik dari shalat kita.
Shalat dan Kesejahteraan Sosial
Di antara masalah-masalah di luar shalat tapi banyak dikaitakan dengan shalat adalah mengenai kesejahteraan sosial. Sebab, mensejahterakan sosial juga bagian dari ibadah. Ibadah terbagi menjadi dua, qasihrah (ibadah individual) dan muta’addiyah (ibadah sosial). Dan ibadah sosial sama pentingnya dengan ibadah individual. Simak penuturan Allah ta’ala pada hadis qudsiy di dibawah ini,
عن أبي هريره قال: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي. (رواه مسلم).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Pada hari kiyamat kelak, Allah ‘azza wa jalla berkata, “Wahai manusia, Aku “sakit”, tapi kalian tidak menjengukku.” Para manusia berkata, “Bagaimana aku menjenguk-Mu, sedang Engkau adalah Tuhan semesta alam?!” Kemudian Allah menjelaskan, “Tahukah kamu, ada hambaku, Fulan, yang sedang sakit, tapi kamu tidak menjenguknya. Padahal, seandaninya kamu mau menjenguknya, kamu akan “menjumpai-Ku” pada sisinya (medapatkan pahala).”
“Wahai manusia, Aku pernah “meminta makanan” kepadamu, tapi kamu tidak memberikanku makanan.” Manusia menjawab, “Tuhanku, bagaimana aku memberi-Mu makanan, sedang Engkau adalah Tuhan semesta alam?!” Allah menjelaskan, “Tahukah kamu, hambaku, Fulan, pernah meminta makanan kepadamu, tapi kamu tidak memberinya. Padahal, seandainya kamu memberinya, kamu akan mendapatkan pahala.”
“Wahai, manusia, aku pernah “meminta minum” kepadamu, tapi kamu tidak memberinya.” Manusia menjawab, “Tuhanku, bagaimana aku memberimu minum, Sedang Engkau Tuhan semesta alam?!” Allah menjelaskan, “Seorang hambaku, Fulan, pernah meminta minum kepadamu, tapi kamu tidak memberinya. Seandainya kamu memberinya minum, kamu akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim).
Kesejahteraan sosial yang di dalam Alquran dikaitkan dengan shalat antara lain;
a. Zakat
Di antara hal di luar shalat yang paling banyak disandingkan dengan shalat adalah masalah zakat. Jika disebut kata zakat, maka sering kali disandingkan dengan kata shalat. Syariat zakat adalah bentuk kepedulian dan perhatian Islam terhadap masalah sosial.
Zakat adalah ibadah (kewajiban) individual yang sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat. Dan dari delapan ashnaf (masyarakat sosial yang berhak menerima zakat) yang diutamakan adalah fakir dan miskin.
Di antara sekian banyak ayat-ayat zakat adalah,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (البقرة: 43)
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (Al-Baqarah: 43)
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ (البقرة: 83)
“…dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.”(Al-Baqarah: 83)
. وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (البقرة: 110)
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 110)
Dan masih banyak lagi ayat yang menyandingkan shalat dan zakat. Shalat adalah ibadah badaniah paling utama, dan zakat adalah ibadah maliyah (materi) yang amat penting. Dua kewajiban pokok itu merupakan pertanda hubungan harmonis, shalat untuk hubungan baik dengan Allah ta’ala, dan zakat pertanda hubungan baik dengan sesama manusia. Suatu perpaduan yang serasi, bahwa kebaikan dan kesalehan seharusnya tidak hanya terbatas pada diri pribadi, tapi bisa dirasakan oleh orang sekitar.
b. Infak
Sebagaimana zakat yang banyak digandengkan dengan shalat, yang merupakan tanda keharmonisan antara seorang hamba dengan Tuhannya dan antara sesamanya, infak pun demikian. Dalam Alquran, ibadah sosial ini juga banyak disandingkan dengan shalat. Kita lihat, mislakan ayat…
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (البقرة: 3)
“…(orang-orang bertakwa yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 3)
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (الأنفال: 3)
“…(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Al-Anfal: 3)
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ (الرعد: 22)
“…dan orang-orang yang sabar karena mencari ridha Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan ,serta menolak kejahatan dengan kebaikan; itulah orang-orang yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (Al-Ra’d: 22).
Ibnu Katsir mengatakan, bahwa penyandingan infak dan shalat adalah dalam rangka menyeimbangkan kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya dan kewajibannya kepada sesamanya. Shalat adalah hak Tuhan yang diwajibkan kepada hambanya. Sedangkan infak adalah memberikan hak orang lain yang ada dalam harta kita. Karena di setiap harta yang kita miliki terdapat hak orang lain. Ibadah ini juga bagian dari kepedulian Islam terhadap masalah sosial.
Jangkauan lapangan berinfak luas sekali. Karena berinfak berarti membelanjakan harta sesuai dengan tuntuan agama, maka bersedekah kepada kaum fakir miskin dan membayar zakat juga disebut berinfak. Demikian juga penggunaan harta untuk kegiatan sosial kemasyarakatan.
Telah menjadi tradisi dalam masyarakat Indonesia, bahwa infak menpunyai konotasi lebih tertuju pada sedekah sunnah yang diberikan untuk kegiatan agama. Misal, membangun masjid dan musalla, mendirikan rumah sakit Islam, mendiririkan madrasah, dan sejenisnya yang dikelola oleh lembaga-lembaga yang bergerak di bidang agama.
Menurut Alquran, menginfakkan harta secara baik dan benar termasuk salah satu indikasi sifat ketakwaan manusia kepada Allah, seperti disebut dalam surat al-Baqarah ayat 2-3 di atas. Jadi, indikasi ketakwaan tidak hanya terbatas pada ibadah individual, tapi juga pada atensi terhadap kesejahteraan sosial kemasyarakatan..
c. Kurban
Kurban adalah menyembelih binatang tertentu dilakukan pada pada hari raya haji atau Idul Adha, yaitu tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Ibadah ini pun selalu digandengkan dengan shalat. Firman Allah,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَر َفَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ. (الكوثر: 1-3)
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (Al-Kautsar: 1-3)
Kurban, seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam ayat di atas, hendaknya tidak hanya sebagai ritual simbolis, tetapi memiliki makna yang lebih luas, yaitu jiwa berkorban, kesalehan sosial, serta menajamkan mata hati kita untuk jeli melihat saudara-saudara kita yang di bawah kita.
d. Kecaman Terhadap Orang-Orang Shalat Yang Antisosial
Rasul mengecam dan melarang ke masjid atau ke mushalla bagi orang yang tidak mempedulikan ibadah sosial ini,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Siapa yang diberi kelapangan rezeki tapi tidak mau berkurban, jangan sekali-kali menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah dari sahabat Abu Hurairah)
Kecaman orang-orang shalat yang antisosial semakin jelas dalam ayat berikut,
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ. (الماعون: 1-7)
“Tahukah kamu, orang yang mendustakan agama? Dia adalah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang-orang shalat, yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya, dan yang enggan (menolong/memberikan dengan) barang berguna.” (Al-Ma’un: 1-7).
Ayat ini begitu keras mengecam orang yang berjiwa antisosial dan orang-orang yang sibuk dengan kewajiban ibadah individualnya, tapi lalai sama sekali dengan kewajibannya sosialnya. Orang yang berhaji berpuluh-puluh kali, tapi di samping rumahnya berdiri gubuk reot yang penghuninya kelaparan. Orang yang membanggakan anak-anaknya yang mengenyam pendidikan di luar negeri, tapi tidak tahu bahwa di samping rumahnya ada anak yatim yang putus sekolah karena beban biaya pendidikan. Orang yang selalu di atas, tapi tidak tahu bahwa di bawahnya ada orang yang sedang menengadahkan tanganya.
Jika ayat-ayat sebelumnya menjelaskan perihal shalat yang disandingkan dengan beberapa ibadah (kesalehan) sosial, yang menyiratkan makna keseimbangan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial atau keharmonisan seorang hamba dengan Tuhannya dan sesamanya, maka ayat di atas (surat al-Ma’un) mengecam orang yang tidak memiliki keseimbangan dan keharmonisan tersebut. Allah menyebut sebagai pendusta agama, orang yang tidak menghormati keberadaan anak yatim dan membiarkan kelaparan melanda masyarakat, tanpa terketuk hatinya. Allah menganggap celaka, orang yang shalat tapi tidak pernah membuka tangannya untuk memberi, orang yang yang memiliki banyak harta, tapi tidak sadar bahwa pada harta yang dimilikinya ada hak orang lain yang wajib diberikan.
Maka, surat al-Ma’un di atas seakan memberi tekanan, bahwa kesalehan pribadi tidak akan berkualitas jika tidak diimbangi dengan kesalehan sosial.
Renungan Shalat
Shalat yang mampu menumbuhkan semangat amar makruf nahi munkar dan memberikan pengaruh positif bagi kehidupan sosial adalah shalat yang dilaksanakan dengan khusuk dan perenungan mendalam terhadap makna shalat itu sendiri dan kepada siapa hati kita menghadap ketika shalat, seperti difirmankan oleh Allah sendiri,
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatku.” (Thaha: 14)
“Untuk mengingatku”, kata Allah. Karena dengan ingat kepada-Nya dengan sepenuh hati, dengan merasa selalu diawasi oleh-Nya di setiap hembusan nafas, di setiap kedipan mata, di setiap huruf yang terucap dari lisan, di setiap kaki melangkah. Ingat kepada Allah akan memalingkan hati, pikiran dan raga kita dari tindakan tercela dan kemungakran. Semua itu akan menghantarkan hati, pikiran dan raga kita kepada perbuatan baik lagi mulia. Sebab tidak ada perbuatan yang harus tinggalkan kecuali kemungkaran, tidak ada perbuatan yang harus dikerjakan kecuali kebaikan.
Jika kita menghendaki itu bisa nyata dengan shalat kita, maka renungkanlah ia di segala sisi dan sudutnya,
Niat. ia adalah tindakan hati. Bagian ikrar yang terucap pada niat adalah bahwa shalat yang kita lakukan adalah “lillahi ta’ala”, untuk Allah semata. Ikhlas untuk-Nya. Shalat yang kita kerjakan sehari semalam, minimal, adalah lima kali. Ini artinya, kita telah belajar ikhlas sebanyak (minimal) lima kali sehari. Sehingga bukan mustahil jika keikhlasan yang selalu dilatih dalam shalat akan berpengaruh pada pribadi orang dan segala tindakannya yang di luar shalat. Maka, betapa hidup akan menjadi indah dan damai bila setiap individu telah memiliki sifat ikhlas ini. Maka, renungkanlah!
Berdiri saat shalat. Shalat adalah menghadap Allah. Bayangkanlah, ketika telah berdiri untuk takbiratul ikhram, kita sedang menghadap Allah yang maha dekat, yang dekat-Nya lebih dekat dari segala apapun yang kita anggap paling dekat. Jadikan Ia mengalir bersama aliran darah kita. Jadikan Ia berdetak bersama detakan jantung kita. Jika semua itu telah kita rasakan pada setiap shalat kita, berarti kita telah melatih itu minimal lima kali sehari semalam. Maka, bukan mustahil, buah latihan itu akan dirasakan kapanpun dan bagaimanapun. Hasilnya, kapanpun dan bagaimanapun, kita akan merasa diawasi oleh Allah. Sehingga, tidak akan ada perbuatan tercela yang terlintas di hati dan pikiran kita, apalagi untuk mengerjakannya, karena pikiran dan hati kita hanya ada satu nama terbesit; Allah. Maka, renungkanlah!
Bismillah. Bacaaan ini (bismillah; dengan nama Allah) akan selalu dan selamanya dibaca dalam shalat. Ba (dibaca bi) yang diterjemahkan dengan kata “dengan” mengandung satu kata atau kalimat yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas di dalam benak ketika mengucapkan basmalah, yaitu kata “memulai”, sehingga bismalah berarti – dalam konteks ini adalah melaksanakan shalat – dengan nama Allah. Arti demikian memiliki semangat, yaitu menjadikan (nama) Allah sebagai pangkalan bertolak.
Apabila sesorang memulai suatu perkerjaan dengan nama Allah atau atas nama-Nya, maka perkerjaan tersebut akan menjadi baik, atau paling tidak pengucapnya akan terhindar dari godaan nafsu, dorongan ambisi atau kepentingan pribadi, sehingga apa yang dilakukannya tidak akan mengakibatkan kerugian bagi orang lain, bahkan akan membawa manfaat bagi pengucapnya, masyarakat, lingkungan serta kemanusiaan seluruhnya. Maka renungkanlah!
Rukuk dan sujud. Keduanya adalah simbol pengagungan dan penghambaan kita kepada Allah Yang Maha Agung. Dalam shalat itu disimbolkan dengan bersimpuh luruh merendahkan semua anggota badan. Kepala yang selalu di atas, dalam rukuk dan sujud harus menjadi anggota badan yang paling rendah. Pengagungan dan penghambaan harus dilakukan dengan sepenuh jiwa dan raga. Raga kita bersimpuh, jiwa kita kosongkan dari segala segala sombong, pamrih, ujub, keras hati, angkuh, buruk sangka, hawa nafsu, pemarah, hasud, dengki, cinta dunia, munafik, dan segala sifat hina dan tercela lainnya, dan diisi dengan rasa takut, rendah hati, ikhlas, sabar, rasa hina, tawakal, dan segala sifat hati yang terpuji lainnya. Itulah yang mesti kita usahakan dalam rukuk dan sujud kita. Jika hal itu kita latih (minimal) lima kali sehari semalam, tentu akan terpatri kuat dalam hati dan sulit dicabut sehingga akan berpengaruh kuat di luar shalat atau pada langkah gerak badan kita kapanpun dan di manapun. Maka renungkanlah!
Maka, mari kita renungkan shalat kita! Wallahu a’lam.
Thannks for this
LikeLike