Tawasul; Relasi Memudahkan Komunikasi
20 June 2008 § Leave a comment
Mengimani Nabi Muhammad – juga para nabi yang lain – merupakan bagian integral dari keimanan dan keislaman seseorang. Islam sesorang tidak sempurna sehingga ia melengkapi keimanannya kepada Nabi Muhammad, sebab ia bagian dari rukun iman. “Mengimani” tidak sama dengan “mempercayai” (tashdiq).
Mengimani adalah mempercayai dengan segala konskwesnsi di belakangnya. Kepada Nabi Muhammad, Abu Tahlib, paman Nabi, baru sebatas mempercayai, belum mengimani. Sebab, kepercayaanya kepada Nabi tidak lantas membuatnya memeluk agama yang dibawa oleh Nabi. Keimanan tentu harus didasari oleh rasa cinta, walaupun rasa cinta tidak selamanya membawa kepada keimanan.
Para sahabat adalah contoh baik sosok yang memiliki cinta sejati kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallahu’alaihi wasallam. Cinta mereka kepada Nabinya tidak terbatas dan melebihi apapun.
Sahabat ‘Ali bin Abi Thalib karrama allah wajhah suatu ketika pernah ditanya perihal kecintaannya kepada Kanjeng Nabi, beliau menajwab, “Nabi, Engkau lebih saya cintai ketimbang harta-harta yang saya miliki. Cinta saya kepada Engkau melebihi cinta saya kepada keluarga saya.”
Umar bin Khatab pernah memberikan pernyataan kepada Kanjeng Nabi, “Engkau adalah orang yang paling saya cintai. Cinta saya kepada engkau melebihi apapun, kecuali terhadap diri saya.”
Jawab Nabi, “Iman seseorang tidak akan sempurna sehingga saya lebih dicintai dari dirinya (jiwanya).” Mendengar tanggapan koreksi Nabi, Umar pun meralat pernyataanya, “Demi Allah, Engkau lebih saya cintai dari apapun, melebihi cinta saya kepada diri (jiwa) saya.” Nabi kemudian berkata seraya memberikan apresiasi kepada Umar, “Saat ini, iman kamu telah lurus, dan keyakinanmu telah sempurna.”
Dikisahkan, seorang perempuan dari kelompok Anshar yang kehilangan ayah, saudara, dan suaminya dalam perang Uhud (3 H), berkata kepada para sahabat, “Apa saja yang dikerjakan oleh Rasul?” Para sahabat menajwab, “Kebaikan. Beliau sebagaimana yang Engkau cintakan.” Perempuan tadi berkata, “Tunjukkan saya kepadanya!”
Para sahabat mengantarkan perempuan tersebut ke hadapan Nabi. Setelah bertemu langsung dengan Nabi, perempuan Anshar itu berkata, “Segala musibah setelah engkau adalah mudah.” Rasa duka yang dirasakan oleh perempuan Anshar karena kehilangan sanak saudaranya seketika lenyap setelah bertemu Nabi.
Begitulah. Cinta para sahabat kepada Nabinya tidak berdasarkan kalkulasi kepentingan. Cinta mereka tulus. Mereka sadar betul, bahwa cinta kepada Nabi pada hakikatnya adalah ekspresi cinta kepada Allah.
Cinta kepada Nabi mesti diapresiasikan dan diekspresikan segenap jiwa, sebagaimana yang dicirikan oleh Alquran. Dalam surat Ali Imran: 31-31, Allah berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah (wahai Muhammad): “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”
Ayat ini menunjuk ciri-ciri orang yang cinta kepada Allah dan Rasulnya. Sekaligus sebagai teguran bagi para hipokrit, yang menyatakan cinta manis hanya sebatas mulut.
Deskripsi di atas mewakili isi kitab Nûr al-Mubîn fi Mahabbah Sayyid al-Mursalîn karya al-‘Allamah Hadrah al-Syeikh Hasyim Asy’ari, yang juga pendiri NU dan Pesantren Tebuireng Jombang. Beliau adalah penulis produktif. Karya-karyanya sebagian besar dalam bahasa Arab dan masih berbentuk manuskrip (makhttuthath). Sebagian telah diterbitkan dan dikaji di pesantren-pesantren. Salah satunya adalah kitab tipis itu.
Sosok yang secara intent mengeksplorasi karya-karya Mbah Hasyim dan mengajarkannya secara bandongan kepada para santri adalah (alm.) KH. Ishom Hadzik (Gus Ishom), cucu dari anak perempuan Mbah Hasyim (saya sendiri ngaji kitab ini kepada beliau selama sebelas hari, 10 Maret – 21 Maret 2001 saat masih nyantri di Tebuireng). Pada setiap kitab mbah Hasyim yang ditahkik oleh Gus Ishom selalu tertulis sibth al-muallif (cucu [dari anak perempuan] pengarang). Termasuk dalam kitab ini.
Secara umum, kitab ini memperkenalkan pribadi Rasulullah. Perbab, dijelaskan sosok Nabi Muhammad sebagai Rasul yang harus ditaati dan diikuti ajaran yang dibawanya. Sebagai seorang Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib, yang memiliki keluhuran dan kemulian ahklak, ia adalah sosok yang pantas dicintai dan dihormati.
Melalui kitab ini, Mbah Hasyim seolah-olah mengajak berkenalan dengan Nabi Muhammad, beserta keluarga besarnya. Secara perbab pula, Mbah Hasyim memperkenalkan dan menjelaskan garis keturunan Nabi, putra-putri, paman, para istri, pelayan-pelayan, termasuk para budak yang pernah beliau miliki.
Tawasul
Dalam karya ini, Mbah Hasyim menjelaskan makna tawasul dalam bab tersendiri. Pembahasan tawasul ini bertitik dari ayat Alquran surat Al-Maidah ayat 35: yâ ayyuhalladzîna âmanû ittaqû allah wabtaghû ilaihi al-wasîlah/hai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah washilah (perantara) untuk sampai kepada-Nya.
Menurut Mbah Hasyim, kata al-wasîlah dalam ayat di atas memiliki arti “segala sesuatu yang telah jadikan/ditentukan oleh Allah, sebagai causa dan wushlah (medium) untuk memperolah obsesi materiil dan atau spiritual”. Dalam hal ini, al-wasîlah itu adalah sosok atau amalan yang yang dikehendaki oleh Allah dan sudah barang tentu baik menurut-Nya.
Karena kata al-wasîlah dalam ayat tersebut bersifat umum dan tidak menunjuk obyek tertentu, maka tawasul bisa dilakukan melalui wasilah sosok yang secara kategoris memiliki kemulian di sisi-Nya, seperti para Nabi, para wali Allah, dan orang-orang saleh, baik ketika mereka masih hidup atau setelah mati. Amalan-amalan saleh juga menjadi medium bertawasul.
Oleh karena itu, menurut mbah Hasyim, tawasul ada dua macam, pertama, tawasul dengan amalan-amalan saleh. Seperti shalat, puasa, haji, zakat, dzikir, infak dan sebagainya. Semua itu adalah medium yang telah Allah tentukan untuk menjupai-Nya.
Kedua, tawasul dengan medium orang-orang saleh. Seperti para Nabi, para wali, dan orang-orang saleh. Tawasul macam ini masih diperdebatkan legalitasnya. Tetapi, Mbah Hasyim cenderung memperbolehkannya.
Mbah Hasyim menukil perkataan Imam Taqiyyuddin al-Subki, “Perlu diketahui, bahwa bertawasul, istighasah dan meminta syafaat kepada Allah melalui perantara kemuliaan Nabi Muhammad adalah perbuatan baik yang sah. Kebolehan ini telah sejak lama dikenal oleh orang-orang Islam dan tidak ada yang mengingkari atau memprotesnya. Sehingga Ibnu Taimiyah muncul dan mengingkari tawasul tersebut, yang mempropagandakan larangan tawasul tersebut kepada orang-orang yang lemah secara intelektual. Perlu diketahui, bahwa larangan tawasul yang dilontarkan Ibnu Taimiyah adalah pendapat baru, yang tidak dikenal oleh ulama-ulama sebelumnya.”
Bagi Mbah Hasyim, tawasul dengan Nabi, pada hakikatnya adalah permohonan kepada Allah semata, sebaga prima causa. Nabi hanya sebagai wasilah, karena dianggap memiliki kemulian dan “posisi tawar” yang tinggi dihadapan Allah. Bukankah relasi memudahkan komunikasi. Para Nabi, para wali, para ulama saleh, mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa-jiwa yang bersih dan suci. Tentu saja relasi spiritual jiwa-jiwa yang bersih dengan Tuhan atau nilai-nilai ketuhanan lebih intim ketimbang jiwa yang tidak bersih. Orang-orang yang memiliki kedekatan relasi spiritual dengan Tuhan, tentu baginya komunikasi dengan-Nya lebih mudah. Sosok-sosok seperti inilah yang bisa “meyalurkan aspirasi” orang-orang yang “jauh” dari Tuhan.
Dalam hal tawasul, kita tetap meyakini hanya Allah sumber segalanya (prima causa). Dan, kepada Nabi Muhammad, kita hanya meyakini beliau adalah sosok yang memiliki relasi spiritual terdekat dengan Allah. Allah a’lam.
Leave a Reply