Salat Wadah Dan Isi
21 July 2008 § Leave a comment
Konon, Imam Syafi’i termasuk salah seorang ulama yang tidak setuju dengan konsep istihsan – salah satu metode penetapan hukum (agama) yang masih diperdebatkan legalitasnya, khawatir, metode tersebut akan melahirkan hukum yang serampangan, taladzdzudz, seenaknya sendiri. Hukum bisa lahir dari siapa saja, tak peduli seorang ulama ataupun mahasiswa yang buku bacaanya adalah terjemahan, yang pemahaman sufistiknya diperoleh dari majalah sufi. Dengan istihsan orang bisa saja mengatakan arah salat yang ke Ka’bah sono tak lagi penting. Yang penting hati madep tur mantep, salat ke mana pun arahnya boleh-boleh saja. Toh, “keberadaan” Tuhan “tak tentu arah”, sekaligus tak terbelenggu waktu.
Karena itu, salat bisa saja bebas nilai, tidak terikat dengan simbol-simbol fisik. Salat bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, ke arah mana pun. Tidak adil, jika mengingat Tuhan hanya sewaktu-waktu, padahal uluran tangan Tuhan selalu ada dan dapat dirasakan setiap saat, bahkan kedipan mata, nafas yang keluar masuk dalam tubuh, dan sebutir keringat yang menetes adalah atas kehendak dan karunia Tuhan. Maka, ironis jika kemudian kita salat dibatasi waktu.
Kedalaman rasa yang demikian barangkali tidak sepenuhnya keliru, dan memiliki celah untuk disebut tak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam ibadah apapun, Tuhan selalu menekankan ekuitas dua aspek integral, yaitu ritual (wadah) dan spiritual (isi). Ketika Dia mewajibkan salat, yang ritualnya kemudian diperjelas oleh Kanjeng Nabi, lantas Dia pun mencela salat orang-orang yang sahun (yang salah satu maknanya ‘tidak khusyu’), tidak memiliki spirit.
Bahwa, ketika Allah berfirman aqim al-shalah li dzikry, sesungguhnya Dia telah menekankan ekuitas dua aspek yang mengintegrasi dalam salat, yaitu aspek ritual (aqim al-shalah – wadah) dan spiritual (li dzikry – isi), yang salah satunya tidak ada yang dipentingkan alias kedua-duanya penting.
Bahwa, kata aqim (al-shalah), yang berarti ‘berkesinambungan dan sempurna’, yang memiliki arti bahwa perintah salat tersebut harus dilaksanakan dengan baik, khusyuk, dan berkesinambungan sesuai dengan syarat rukun dan sunahnya, itu sama pentingnya dengan memahami bahwa salat pada sejatinya adalah untuk li dzikry, menghadirkan Tuhan.
Pun demikian, ketika Allah berfirman inna al-shalah tanha ‘an al-fakhsya(i) wa al-munkar, salat yang memiliki ekuitas ritual dan spiritual (mengahadirkan Tuhan). Bahkan bukan hanya ketika ritual salat saja Tuhan itu hadir, tapi kapan pun dan di mana pun. Kehadiran-Nya menghindarkan dari perilaku amoral. Serta masih banyak ayat-ayat yang menunjuk ekuitas semacam ini.
Perbedaan ulama (ahli fikih) dan sufi (mistikus Islam) adalah perspektif mereka dalam melihat suatu ibadah. Ahli fikih akan melihat dari sisi ritual lahirnya, sedang seorang sufi akan lebih melihat dari sisi spiritualnya. Dalam salat, misalnya, seorang ahli fikih akan menjelaskan sisi ritualnya, mulai dari wudlu, takbir, bacaan-bacaanya, sampai salam. Dalam bahasa mereka di kenal istilah nahnu nahkumu bi al-dlawahir, wallah yatawalla bi al-sarair (kita hanya menilai aspek ritual. Di luar itu, kita serahkan kepada Allah).
Lain halnya seorang sufi, mereka justru menerangkan asrar (rahasia-rahasia) di balik makna salat, membuka rahasia agar salat menjadi pertemuan romantis seorang hamba dan Kekasihnya. Singkatnya, ulama mengarahkan perhatiannya pada pengembangan kesalehan normatif, sementara mistikus mengarahkan perhatiannya semata kepada Allah. Ulama merias wadah, mistikus memberi sentuhan kualitas isi. Idealnya, keduanya harus mengintegrasi. Fikih oriented mesti seimbang dengan mistik oriented. Juga sebaliknya.
Begitu juga puasa. Aturan normatif memberikan batasan bahwa puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya malam. Inilah wadah. Inilah fikih. Namun, secara jelas Alquran menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangakan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la’allakum tattaqun.
Itulah nilai universal semua bentuk ibadah, bukan hanya puasa. Kaum sufi, merujuk pada ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh, bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. Betapapun, pada hakekatnya puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa. Inilah isi.
Integrasi wadah dan isi pada semua apa yang disebut ibadah, menambah nilai plus dan makna.
Leave a Reply