Permohonan Hidup “Miskin” Nabi
26 July 2008 § 5 Comments
Dalam kitab Sunan-nya, Imam Tirmizi meriwayatkan hadis dari sahabat Anas yang berisi doa Nabi,
اللهم أحييني مسكينا وأمتني مسكينا واحشرني في زمرة المساكين
Ya Allah, hidup dan matikanlah Aku dalam keadaan miskin (miskinan). Dan masukanlah Aku dalam kelompok orang-orang miskin pada hari kiamat kelak.
Ada juga hadis lain,
الفقر بالمؤمن أحسن من العذار الحسن على خد الفرس
Bagi seorang mukmin, kefakiran (al-faqru) itu lebih baik daripada tali kendali kuda yang bagus.
Kedua hadis di atas menyuratkan seakan-akan hidup dalam keadaan miskin adalah harapan dan bagus. Namun, dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, Nabi pernah berdoa meminta kekayaan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ غِنَايَ وَغِنَى مَوْلَايَ
Ya, Allah, Aku memohon kepada-Mu kekayaan.
Ada juga hadis yang menyatakan bahwa Nabi berlindung dari kefakiran.
أنه تعوذ بالله من الفقر
Seolah-olah ada pertentangan makna di antara hadis-hadis di atas.
Namun, tidak demikian menurut Ibnu Qutaibah.
Menurut Ibnu Qutaibah, kata “miskinan” (مسكينا) di hadis pertama berarti tawadlu’ dan ikhbat atau “merendahkan diri di hadapan Allah”, bukan miskin dalam arti tidak memiliki harta benda. Dalam contoh تمسكن الرجل (tamaskana al-rajul), kata “tamaskana” di sini berarti لان (lana atau lemah lembut), تواضع (tawadla’a atau tawaduk), خشع (khasya’a atau khusuk), خضع (khadla’a atau rendah hati). Dalam sabda Nabi untuk orang-orang yang mengerjakan shalat disebutkan,
الصَّلَاةُ مَثْنَى مَثْنَى أَنْ تَشَهَّدَ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَأَنْ تَبَاءَسَ وَتَمَسْكَنَ وَتُقْنِعَ بِيَدَيْكَ
Shalat itu dua rakaat-dua rakaat. Bertasyahud (duduk tahiyat) pada setiap dua rakaat. Tampakkanlah “penderitaan” (kefakiran) di hadapan-Nya, rendahkanlah dirimu (tamaskana) di hadapan-Nya, dan angkatlah kedua tangan ketika berdoa (sesudah shalat).
“Tamaskana” di sini berarti “takhasysya’a” (menampakkan kekhusyukan) dan “tawadla’a” (tawaduk) di kehadirat Allah.
Begitu juga dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Haitsami dalam kitabnya, Majma’ al-Zawaid. Suatu ketika Nabi menyapa perempuan bernama Qailah,
يا مسكينة
Ya “Miskinah”
Nabi menyebut sahabat Qailah dengan “Miskinah” bukan berarti Qailah orang miskin (fakir), tapi untuk menyebut “al-dla’fu” (renta).
Dari keterangan-keterangan di atas, Ibnu Qutaibah hendak menjelaskan, dalam bahasa Arab, istilah yang digunakan untuk mengungkapkan arti “tidak berpunya” atau “miskin” adalah kata الفقر atau “al-faqr”. الفقير atau “faqir” berarti orang yang tidak berpunya. Sehingga, menurutnya, “maskanah” yang diminta Nabi dalam hadis di atas (hidup dan matikanlah Aku dalam keadaan miskin) bukan dalam arti “al-faqru” (kefakiran), tapi “maskanah” dalam arti “tawadla’a” (rendah hati), sebagai lawan kata “takabbur” (sombong).
Sehingga, makna doa Nabi di atas adalah: “Ya Allah, hidup dan matikanlah Aku dalam keadaan rendah hati dan tawaduk di hadapan-Mu, tidak sombong di hadapan-Mu. Dan masukanlah Aku dalam golongan orang-orang yang rendah hati dan tidak sombong di hari kiamat kelak.”
Demikian pendapat Ibnu Qutaibah dalam mengomentari hadis pertama.
Selanjutnya, Ibnu Qutaibah mengomentari hadis kedua (Bagi orang mukmin, fakir itu lebih baik dari tali kendali kuda yang bagus). Hadis ini mengibaratkan balasan yang akan diterima oleh orang fakir (miskin dalam arti “tidak berpunya”) jika mampu menyikapi kefakirannya dengan benar. Hadis tersebut tidak bermaksud mendukung hidup dalam kefakiran, bukan pula menghendaki seorang mukmin hidup dalam kefakiran.
Kefakiran merupakan varian ujian dalam dinamika kehidupan dunia. Sikap orang-orang yang ditimpa dengan ujian ini pun bervariasi. Tidak semua orang mau menerima dan sabar menghadapi hidup dalam belitan kemiskinan. Namun, banyak juga yang mampu menanggung ujian itu dan mampu menyikapinya dengan sabar. Sikap terakhir inilah yang dikehendaki oleh hadis tersebut.
Sehingga hadis di atas itu memiliki arti, “Bagi orang mukmin, kemiskinan yang disikapi dengan sabar itu lebih baik daripada tali kendali kuda yang bagus”. (Tali kendali pada masa Nabi adalah simbol prestise). Sebab, tidak semua orang mampu bersabar hidup dalam kemiskinan. Hanya orang fakir yang sabar dan ikhlas saja yang akan mendapatkan balasan yang layak di akhirat kelak.
Sehingga, kunci dari semua itu adalah sabar dan ikhlas. Orang fakir yang sabar dan ikhlas lebih baik (di hadapan Allah) ketimbang orang fakir yang tidak sabar dengan kefakirannya. Namun, yang ideal adalah orang kaya yang bersyukur dan ikhlas.
Ibnu Qutaibah menukil perkataan Mutharrif, “Aku diberi kesehatan kemudian bersyukur lebih aku sukai ketimbang aku harus diuji dengan musibah kemudian bersabar.”
Wallahu a’lam.
(Disarikan dari kitab Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits karya Ibnu Qutaibah)
menurut Lugho MISKIN = BUTUH bukan melarat/fakir. Sekarang permasalahanya kita BUTUH kepada siapa ?? Manusia? Jin? setan?. Karena Rosulullah berdoa diawal denagan Yaa Allah, jadi artinya kira2 begini:
“Ya Allah, hidup dan matikanlah Aku dalam keadan BUTUH keapadaMU. Dan masukanlah Aku dalam kelompok orang-orang selalu BUTUH keapadamu pada hari kiyamat kelak.
nah kalo dibaca akan lebih enak, dan dimaknai akan lebih mudah kan??
kita susah, BUTUH ALLAH agar dilepaskan daei kesusahan….
kita gak punya duit, BUTUH ALLAH agar dilapangkan rizqinya..
kita Kaya yaa BUTUH ALLAH agar dikuatkan diberi petunjuk dalam mengelolanya….
kita pinter, yaa BUTUH ALLAH juga agar diberi petunjuk selalu dijalan yang lurus..
POKOK JANGAN MERASA CUKUP, MERASA LEBIH (gak BUTUH) dihadapan ALLAH… maka selalu merasa MISKIN dihadapanNYA. Begitu Coy kira…
LikeLike
wah, ga tau deh dari mana referensi “miskin” artinya butuh… bukan fakir… sebab, “butuh” sendiiri dalam bahasa arab itu “iftiqar”, derivasi dari “faqr”…
LikeLike
Yang penting jangan sempat kemiskinan membuat orang rela hidup dlm kekurangan harta, atau memuji sikap miskin. Dalam Islam, setiap orang (kaya-miskin-guru-petani-pedagang-dll) berpeluang masuk syurga. Banyak hadits-hadits yang menerangkan itu lho..
LikeLike
Boleh minta referensi yang ibnu menyatakan kalau miskin di hadis ini berarti tawadhu??
LikeLike
mas fiqri, anda bisa lihat pembahasan ini di kitab “ta’wil mukhtalif al-hadith” karya ibnu qutaibah.
LikeLike