Sisi Biologis & Teologis Perempuan
3 August 2008 § Leave a comment
Pada masa pra-Islam (periode jahiliyah), beribu tahun silam, perempuan dipandang tidak memiliki sisi kemanusiaan utuh. Ia dianggap sebagai menusia kelas dua (the second sex) hanya soal ia tidak setangguh laki-laki. Ia dianggap tidak berguna dan membawa sial, sehingga tak pantas hidup, kemudian harus tiada dengan dikubur hidup-hidup. Saat itu, perempuan juga diperlakukan sebagai barang warisan. Pihak keluarga mendiang suami berhak atas diri perempuan itu, apakah mau dikawini oleh salah satu anggota keluarga mendiang suami, atau harus menebus kepada keluarga mendiang suami agar bisa kawin dengan orang lain. Islam datang, secara bertahap mengembalikan hak-hak perempuan sebagai manusia. Pada beberapa tempat di dalam Alquran, eksistensinya sebagai manusia di kehadirat Tuhan tidak dibedakan dengan laki-laki. Yang membedakan antara kedua jenis mahluk ini adalah kualitas takwanya. Dan perbedaan jasmani, sifat, karakter serta kecenderungan-kecenderungan yang ada di antara keduanya, tak lebih dari sekedar instrumen untuk menuju kualitas takwa tersebut.
Dari sisi karakter, perempuan cenderung lebih lemah lembut dari laki-laki. Secara umum, ia memiliki sifat malu dan rasa kasih sayang yang lebih besar. Nabi Muhammad memberikan gambaran metaforis tentang karakter perempuan, “Berpesanlah kalian untuk selalu berbuat baik kepada perempuan. Karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.” (HR. Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam al-Tirmizi).
Hadis ini tidak berbicara tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan laki-laki. Sebab, tidak ada satu petunjuk pasti dari Alquran dan hadis yang memberikan pemahaman bahwa tulang rusuk (dhil’un) yang dimaksud oleh hadis tersebut adalah tulang rusuk dalam maknanya yang hakiki. Namun, hadis ini bermaksud untuk memperingatkan para laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki, yang bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk berperilaku tidak wajar. Siapapun tidak akan mampu mengubah kodrat, termasuk kodrat perempuan. Kalau ada yang memaksakan perubahan itu, akibatnya akan fatal, sama fatalnya dengan meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Ini jangan dipahami, bahwa kata “bengkok” di sini melecehkan perempuan. Itu hanya ilustrasi yang diberikan Nabi terhadap persepsi yang keliru dari sementara laki-laki menyangkut sifat perempuan, sehingga para lelaki itu memakasa untuk meluruskannya. Memahami hadis di atas dengan makna seperti ini justru mengakui kepribadian perempuan yang menjadi kodratnya sejak lahir.
Pakar psikologi Mesir, Zakaria Ibrahim, seperti dinukil oleh M. Quraish Shihab dalam Perempuan, dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru, menulis, “Perempuan memiliki kecenderungan masokhisme atau mencintai diri sendiri yang berkaitan dengan kecenderungan berkorban demi kelanjutan keturunan. Kecintaan kepada dirinya yang disertai dengan kecenderungan itu menjadikan perempuan kuasa mengatasi kesulitan dan rasa sakit yang memang telah menjadi kodratnya – khusunya ketika haid, mengandung dan membesarkan anak. Karena adanya rasa sakit itu pula, maka Allah menganugerahinya kenikmatan bukan saja dalam hubungan seks – sebagaimana halnya laki-laki – tetapi juga kenikmatan dalam memeilihara anak-anaknya.”
Perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan memang tidak dapat dipungkiri adanya. Maka sudah sepatutunya mejadikan laki-laki tetap laki-laki, perempuan tetap perempuan, dan dalam saat yang sama kedua jenis kelamin itu diberi kesemptan berekspresi secara proporsional, sesuai dengan potensi dan karakter yang dimiliki masing-masing. Upaya untuk menyama-ratakan secara ektrem justeru menjadikan keduanya dapat tercabut dari akar kodratinya. Dan, perbedaan itu, hanya karena “kelaki-lakian” dan “keperempuanan”, tidak lantas menjadikan yang satu unggul atas yang lain. Perbedaan itu tidak harus menjadikan keduanya dibeda-bedakan. Ibnu Hazm al-Zhahiri mengecam, “Jika Anda merasa lebih utama dari Maryam, Aisyah, atau Fatimah, hanya karena engkau laki-laki dan mereka perempuan, maka orang yang mengatakan hal itu pantas disebut orang bodoh.”
Oleh karena itulah, atas dasar adanya perbedaan (kodrati), lahir tuntutan dan ketetapan hukum yang disesuaikan dengan kodrat, jati diri, fungsi serta peranan yang diharapkan darinya – baik laki-laki maupun perempuan, dan itu semua demi mencapai kemaslahatan bersama dunia dan akhirat. Di sisi lain, pada saat yang sama, keduanya mendapat tuntutan dan ketetapan hukum yang sama, kaitannya dalam hal persamaan di antara mereka.
Perempuan di Kehadirat Tuhan
Dalam sebuah sinetron di televisi, terkisahkan sebuah keluarga kaya raya, yang dengannya, materi duniawi yang diinginkannya dapat terpenuhi. Suatu ketika, anggota keluarga tersebut menyadari bahwa mereka telah terlalaikan oleh materi duniawi dan melupakan ajaran agama. Kesadaran itu menghantarkan mereka untuk mempelajari ajaran agama kepada seorang ustad
Suatu saat, sang ibu dari keluarga kaya itu tiba-tiba ingin berhenti mengaji dari ustad tersebut, dan menggantinya dengan ustad yang lain. Apa pasal? Ternyata, ketika ajaran-ajaran dasar belum tersampaikan dengan baik, sang ustad sudah menyampaikan informasi tentang surga dan neraka. Sang ustad tersebut menjelaskan, dengan berdasar sebuah hadis, bahwa mayoritas penduduk neraka kelak adalah perempuan. Kontan, sang ibu tadi merinding mendengar penjelasan sang ustad. Ini, tentu saja karena sang ibu itu adalah perempuan. Informasi itu terus menghantui pikiran sang ibu. Fatalnya, sang ustad tidak memberikan penjelasan secara komprehensif.
hadis yang dimaksud oleh sang ustad adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Suatu ketika Nabi pernah berwasiat kepada para perempuan, “Wahai para perempuan! bersedakahlah dan perbanyaklah istighfar. Karena aku melihat kalianlah yang akan banyak menghuni neraka.” Mendengar pernyataan “seram” ini, salah seorang dari mereka merasa perlu bertanya, “Mengapa harus kami yang banyak menghuni neraka, wahai Rasul?”
“Kalian terlalu banyak mengeluarkan kata-kata bernada laknat (tuktsirna al-li’an), dan sering mengingkari (hak-hak yang diberikan) suami-suami kalian (takfurna al-‘asyir),” demikian jawab Nabi.
Benarkah penghuni neraka, kelak, mayoritas adalah perempuan? Dengan kata lain, apakah berarti laki-laki menjadi mayoritas penduduk surga?
Alquran, juga hadis, dalam menyampaikan pesan-pesan moral, tak jarang menggunakan makna-makna literal dan simbolis. Sehingga, ketika teks Alquran atau hadis yang literal dan simbolis tersebut bersarang dan terolah oleh otak manusia, akan menghasilkan pemahaman beragam. Ragam pemahaman itu mucul, bisa karena perbedaan tingkat intelektualitas atau pengaruh sosio-kultural dan sosio-historis orang yang memahaminya. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap arif bijaksan dan ketelitian dalam membaca teks-teks kegamaan, termasuk teks-teks keagamaan yang berbicara tentang perempuan atau relasi laki-laki dan perempuan.
hadis di atas, bila dipahami, bahwa perempuan adalah mayoritas penghuni neraka, hanya karena mereka berjenis kelamin perempuan, maka ini kontradiktif (ta’arudl) dengan semangat Alquran yang tidak menganut paham the second sex, yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu. Sebab, Alquran telah memberikan kesempatan yang sama kepada manusia, tanpa memandang jenis kelamin tertentu, untuk menjadi menjadi sosok terbaik di hadapan Allah, yang pantas mendapatkan surga-Nya. Sebagaimana, neraka-Nya telah disediakan bagi manusia pendosa, tanpa memandang jenis kelamin tertentu
Sekedar menyebut contoh, lihat saja, misalnya, QS. Al-ahzab/33:35: “Laki-laki dan perempuan yang berserah diri kepada Allah, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan tulus, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang takut kepada Allah, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menutup aurat mereka, laki-laki dan perempuan yang berzikir kepada Allah, untuk mereka, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar.”
Namun, dengan upaya sungguh-sungguh dalam memahami sebuah teks (Alquran atau hadis), dibarengi dengan sikap arif bijaksana, kesan kontradiktif pada teks-teks keagamaan dapat dihindari, termasuk antara hadis dan ayat di atas.
Dawuh Nabi di atas sesungguhnya pun telah jelas, yang menyebabkan mereka masuk neraka adalah karena perbuatan dosa yang mereka kerjakan, yaitu mengingkari hak-hak yang telah mereka dapat dari suami-suami mereka (takfurna al’asyir) dan terlalu banyak mengeluarkan kata bernada laknat (tuktsirna al-li’an), bukan karena keperempuanan mereka.
Yang perlu dipahami, pertama, bahwa dua perbuatan dosa tersebut merupakan perbuatan manusiawi yang lahir dari sifat dasar manusia (emosi), karenanya bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk laki-laki (suami). Keduanya bisa saja mengungkit-ungkit hak dan kewajiban, ketika keduanya terlibat pertengkaran yang kerap terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Karena relasi suami isteri adalah relasi antara hak dan kewajiban. Sehingga, walaupun audiens hadis tersebut adalah perempuan (isteri), namun ketetapan hukumnya berlaku bagi laki-laki (suami) dan perempuan (isteri).
Kedua, bisa saja mukhatab (audiens) yang dihadapi Nabi, saat itu, adalah para perempuan yang memang kerap melakukan dua dosa tersebut, tanpa mereka ketahui bahwa perbuatan itu merupakan sebuah dosa, sehingga Kanjeng Rasul, sesuai dengan tugasnya menyampaikan kebenaran, merasa harus mengingatkan mereka. Maka, konteks hadis tersebut terbatas hanya pada para perempuan yang melakukan dua dosa tersebut dan bukan perempuan secara keseluruhan.
Maka, hanya satu kata kunci yang menjadi pembeda antara manusia satu dengan yang lainnya, di hadapan Tuhan-Nya, yaitu ketakwaan, bukan keutamaan nasab, bukan jenis kelamin, bukan pula kemulian suku. Betapa “demokratis”nya Allah. Renungkanlah pernyataan-Nya, “Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian, di kehadirat Allah, adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat/49:13).
Kata kunci itulah yang akan menjadi pembuka pintu surga-Nya. Siapa saja yang memegang kunci tersebut, maka dialah yang berhak membuka pintu surga itu. Wallahu a’lam bis-shawab.
Leave a Reply