Doa

3 November 2008 § 1 Comment


Namanya Ayu. Nama lengkapnya Citra Ayu. Jika ada yang mengatakan, al-ismu ghair al-musamma, nama tak mencitrakan sosok, maka salah besar jika itu disandarkan kepada gadis pesona itu. Al-ismu huwa al-musamma, nama menunjukkan citra diri, ungkapan itulah yang sesuai untuknya. Sungguh, ia memang pantas menyandang nama “Ayu”. ia memang cantik, ayu. Sumpah! Sedikit aku pamerkan unsur-unsur kecantikannya: wajahnya oval berujung pada dagu yang lancip, matanya agak belo tapi sayu dengan bulu mata lentik alami, alisnya hitam pekat membentang indah, bibirnya merekah merah alami. Meski tak bangir-bangir amat hidungnya merupakan komposisi proporsional yang menjadi bagian sempurna kecantikannya, bulu-bulu sangat halus di atas bibir tapi bukan kumis, wajahnya putih bersih tak berjerawat. Ah, bikin bergairah saja. Atas kelebihan-kelebihan fisik pada dirinya itu, orang yang paling berbahagia tentu saja aku. Karena Citra Ayu adalah kekasihku. Sekali lagi, ke ka sih ku! Jadi, untuk semua laki-laki jangan lagi bermimpi bahkan untuk sekedar berharap bisa dekat. Atau harus berhadapan denganku.

Seandainya ia istriku, aku akan memintanya menjilbabi semua keindahan itu. Hanya aku lelaki yang boleh menikmatinya.

Sesungguhnya kehadiran Citra Ayu di sisiku bukan pada saat tepat ketika aku sedang menggebu ingin memadu kasih. Masa itu telah berlalu. Jauh sebelum mendapat anugerah indah itu, aku memang pernah berdoa kepada Tuhan, minta didatangkan seorang kekasih. Alasanya sepele: iri dengan teman-teman, iri setiap jalan ke kampus melihat teman-teman yang sudah punya pacar. Tidak main-main aku berdoa. Aku menyampaikannya kepada Tuhan lima kali sehari, selepas sembayang. Bahkan sembayang dhuha pun terkadang aku jalani. Sebab, bagiku kekasih adalah rezeki. Sampai akhirnya aku capek berdoa.

Kini, di sisiku telah ada seorang Citra Ayu. Ah, Tuhan, bisa saja Kau membuat kejutan. Terus terang, Ayu melebihi espektasiku. Aku mengharap yang cantik, tapi Ayu ini bukan hanya cantik, tapi cuuuwantik sekali, orang Jawa bilang. Dan, Ayu tak perlu merasa kecantikannya terbuang percuma dengan menjadi kekasihku. Ia cantik, toh aku juga tampan. Impas, bukan?!

Hari-hari kulalui bersama Citra Ayu. Kesana kemari tentengan bareng dengan hati berbunga-bunga. Indah. Aku masih hanya ingin menikmati “bulan madu” berpacaran, tak mau berpikir soal lain, termasuk soal umurnya yang lebih tua dariku. Padahal jika dipikir ke depan, kemungkinan aku mengalami patah hati seharusnya mendapatkan pertimbangan. Bagaimana tidak, aku dan Ayu telah berada pada usia matang untuk menikah. Semestinya, aku berpikir, pada usia Ayu sekarang ini, posisi tawarnya kian melemah, apalagi di hadapan orang tuanya yang mungkin berharap agar ia segera menikah. Dan aku sendiri juga tak punya posisi tawar tinggi, baik di hadapan Ayu atau pun orang tuanya. Yang aku punya hanya wajah tampanku dan kasih sayangku kepadanya. Selebihnya aku adalah lelaki yang belum siap menikah. Artinya, Ayu tak bisa mengelak jika tiba-tiba ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan lak-laki mapan. Maka, aku hanya akan pasrah dan siap-siap patah hati saja jika itu benar-benar terjadi.

Halllah, persetan dengan semua itu! Masa bodoh dengan kemungkinan-kemungkinan! Yang penting, saat ini, aku jatuh hati kepada Ayu, dan ia pun kesengsem kepadaku, kemudian sepakat pacaran. Titik! Jadi, jalani dan nikmati saja itu.

Yang aku tak tahu sebelumnya tentang Ayu dan baru aku ketahui kemudian adalah ia mengidap vertigo. Aku terguncang hebat. Bagaimana tidak, ibarat sedang enak-enaknya menikmati es campur di tengah terik yang mencekik, tiba-tiba tersedak. Belum juga lama menikmati indahnya berpacaran, sudah dihadapkan pada kenyataan tak enak. Sudah terhitung dua kali ia tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri di hadapanku. Vertigonya kambuh jika ada suara-suara keras atau memikirkan hal-hal berat. Biasanya, ia akan tak sadarkan diri selama lima sampai sepuluh menit (jika parah, bisa lebih lama dari itu), yang diawali dengan pandangannya yang kabur, kemudian merasakan seolah-olah bumi yang diinjaknya berguncang dan beputar, menghilangkan keseimbangan tubuhnya, dan ambruklah ia.

Sungguh, penyakitnya itu benar-benar menghilangkan selera berpacaranku. Cantik-catik, kok, vertigo. Aku jadi jarang mengajaknya kencan, dan dengan seribu satu alasan yang sangat halus, terutama alasan vertigonya, aku sering menolak jika ia mengajakku jalan-jalan jauh. Bayangkan saja, jika tiba-tiba vertigonya kambuh saat sedang boncengan di atas motor, kumat di atas kendaraan umum, atau saat sedang di bioskop. Alih-alih hendak menikamti kencan, justeru kerepotan yang bakal terjadi. Pun jika mau diajak jalan, aku hanya mau yang dekat-dekat dan itu pun dengan perasaan was-was, jika tiba-tiba ia ambruk.

Duh, Gusti, aku memang pernah meminta kepada-Mu seorang kekasih. Dan Kau memang mengejawantahkannya – meski agak tertunda – dengan sosok Citra Ayu itu. Dengan kelebihan-kelebihan fisik yang terpatri padanya, mataku memang terpesona, terkesan. Namun, dengan vertigo yang juga tertanam di kepalanya, jiwaku jadi tak dapat menikmati segala pesona dirinya. Jiwaku mati hasrat kepadanya. Nikmat berpacaranku sungguh mati tercerabut. Pikiranku kalut. Diaaamput!

Namun, aku tetap berusaha sama sekali tak menampakkan kegalauan jiwaku di hadapannya. Fisikku memang selalu menjaganya, meski jiwa ini berduka. Dan sesungguhnya dukaku tidak untuknya. Aku berduka untuk diriku sendiri. Aku menjaganya bukan karena ketulusan seorang kekasih yang menjaga kekasihnya. Aku menjaganya hanya karena aku tak mau disebut pecundang. Aku tak mau disebut sebagai kawan Ayu saat suka, namun lari saat ia berduka. Aku menjaganya cuma ingin menyelamatkan harga diriku bahwa aku adalah kekasih yang baik. Dalam hatiku, aku memaki diriku sendiri. Pecundang munafik sialan! Melengkapi kepecundanganku, sempat aku berpikir untuk meninggalkannya.

Di sisi lain hatiku, aku berapologi bahwa kepecundanganku adalah kewajaran. Itu adalah respon sepontan sementara seorang yang terguncang, bukan hasil pemikiran jernih. Aku hanya perlu menenangkan dan membiasakan diri dengan kondisi tak ideal itu. Kusampaikan pada Tuhan, jika Citra Ayu, dengan segenap kelebihan dan kekurangannya – terutama vertigonya – adalah kekasih sebagai pengejawantahan doaku dulu, berilah kekuatan kepadaku untuk bertahan menjaganya, atau sekalian lenyapkan saja vertigonya. Jika tidak demikian, Tuhan, Kau pasti tahu mesti berbuat apa. Tak perlu aku mendikte-Mu. Aku benar-benar ingin seperti pasangan kekasih lainnya. Kencan, jalan berdua tanpa beban, tanpa was-was. Aku sampaikan itu setiap kali lepas sembayang.

Benar, aku hanya perlu tenang dan membiasakan diri.

Suatu sore selepas ashar, aku dikabari oleh teman satu kontrakan Ayu, vertigo Ayu kambuh. Aku diminta segera datang. Kabar seperti itu akhirnya menjadi biasa bagiku. Aku menjadi lebih tenang jika tiba-tiba dia kambuh. Paling juga seperti biasa, ia akan tak sadarkan diri untuk beberapa menit, tinggal ditunggu saja sambil diolesi minyak kayu putih di hidungnya. Nanti juga sadar sendiri.

Tapi tidak kali ini. Awalnya memang gejala vertigo. Kurang lebih dua puluh menit Ayu tak sadarkan diri. Ia tersadar dengan berteriak sangat keras. Keanehan-keanehan terjadi. Matanya mendelik. Bayangkan sendiri, sudah belo, mendelik pula. Memandangi orang-orang yang mengerubunginya. Sebagian ketakutan. Mulutnya nyerocos tak karuan. Raganya memang Ayu, tapi jiwanya entah siapa. Setelah itu ia kembali lunglai, pingsan. Lalu tersadar. Kali ini dengan jiwa Ayu sesungguhnya. Ia terlihat kelelahan. Aku dan Ayu hanya saling memandang. Ayu memandangiku dengan sorotan lemah. Dan aku memandangi wajah layunya dengan penuh haru dan iba. Tanpa kata-kata, tapi jelas mengatakan sesuatu. Ketika bulir air mata keluar dari pojok matanya, hatiku yang menangis. Ketika raganya begitu tak berdaya, jiwaku yang terluka. Sungguh, itu adalah pandangan kasih sayang terdalam dan terdahsyat yang pernah kurasakan sepanjang hidup. Oh, Tuhan. Aku dan Ayu saling bergenggaman tangan kiri. Sementara tangan kananku membelai rambutnya. Sekali-kali kuseka pipinya yang basah oleh air mata, juga keningnya yang berkeringat. Kasihan aku melihatnya. Itu hanya beberapa saat, sebab setelah itu ia kembali pingsan. Kemudian terbangun, tapi bukan dengan jiwa Ayu, juga bukan jiwa yang tadi, tapi jiwa lain. Kali ini kemayu, genit, cukup tenang, bahkan bisa diajak berkomunikasi, tidak seperti jiwa sebelumnya yang cenderung liar. Sungguh, kali ini, ia tampak seperti sepuluh kali lipat lebih cantik dari biasanya. Entah jiwa apa yang merasukinya, tapi aku dapat memastikan, ia kesurupan. Kurang lebih empat jam raga Ayu seperti menjadi permainan jiwa-jiwa lain itu.

Aku pulang ke kontrakanku dengan perasaan campur aduk antara kasihan terhadap Ayu, juga terhadap diri sendiri, bingung, takut, khawatir, juga lega karena telah melewati masa-masa yang aneh malam itu.

Hari demi hari, minggu demi minggu berjalan tidak seperti yang kupikirkan. Ketika aku telah berusaha tenang dan membiasakan diri dengan Ayu dan vertigonya, kenapa keadaan malah lebih buruk. Apakah kali ini aku juga harus tenang dan membiasakan diri dengan kondisi yang lebih buruk itu? Aku tak yakin dapat menjalaninya. Kondisi sebelumnya saja sudah sedemikian rupa menyita pikiran dan perasaan. Gusti Pangeran, pandai benar Kau mempermainkan emosiku.

Aku dan Ayu menjalani pacaran tidak selayaknya dua orang kekasih. Entah perasaanku sendiri atau apa, aku seperti penjaga yang selalu khawatir dan was-was dengan yang dijaganya. Aku harus selalu siap, jika tiba-tiba vertigo Ayu kambuh, kemudian raganya menjadi tumpangan jiwa-jiwa lain.

Kesurupan jin. Aku tidak terlalu asing dengan itu. Dulu, saat nyantren di Jombang, teman-temanku bahkan kerap bermain-main dengan jin, menjadikan dirinya sebagai medium untuk dirasuki jin dalam rangka mengamalkan ilmu-ilmu supranatural sebagai uji kesaktian.

Tapi, yang terjadi pada Ayu ini sama sekali lain. Bukan permainan yang bisa diatur semaunya, tapi justeru Ayu, maksudnya, raganya yang seolah diatur, dipermainkan. Tidak hanya berbahaya bagi diri Ayu, baik untuk kesehatan fisik dan atau mentalnya (syaraf otaknya), tapi juga mengancam masa depan hubunganku dengannya. Betapa pun, bersama Ayu, aku masih punya keinginan menjadi pasangan kekasih yang normal. Dengan semangat itu, aku bujuk dia agar mau berobat ke orang pintar. Sebab, pokok dari semua yang menimpa Ayu sama sekali tidak berkaitan dengan medis. Tak tanggung-tanggung, aku ajak dia ke Jombang. Sebenarnya, itu atas usulan seorang teman di sana yang turut bersimpati dan merelakan rumahnya menjadi tempat tinggal selama Ayu menjalani pengobatan. Aku tahu, di sana banyak orang pintar dan sakti.

Di Jombang, Ayu bahkan harus ditangani oleh dua orang pintar. Orang pertama memang tidak berhasil menyembuhkan Ayu secara total, dan menyerah pada hari ketiga, tapi meninggalkan pesan, yang terjadi pada Ayu hanyalah beluk (asap). Setiap ada beluk, pasti ada api. Ia tidak bisa menemukan api yang dimaksud. Ah, aku sama sekali tidak paham maksudnya. Dan nanti malam adalah malam ketujuh, atau kali keempat untuk orang pintar kedua yang menangani Ayu.

Tapi pada malam itu tidak ada pengobatan sebagaimana malam-malam sebelumnya. Aku dan Ayu, juga segenap keluarga si kawan diminta berkumpul.

“Mba Ayu, Mas Danang,” kata si orang pintar meminta perhatian, “ada dua jin yang nggandol sama Mba Ayu. Yang pertama namanya Ki Gandheng, dan yang kedua Rokibah. Ki Gandheng nggandol di pundaknya. ia pengawal Rokibah. Sedangkan Rokibah sendiri bersenyawa di sekujur wajah Ayu.” Aku tidak bisa menalar semua itu. Ah, bisa dinalar atau tidak, percaya atau tidak, wis, pokoknya dengarkan sajalah.

“Tiga malam berturut-turut kemarin, saya dengan dua jin itu, terutama Ki Gandheng, bertempur. Ia cukup kuat. Ia tidak bisa disingkirkan. Tapi saya berhasil membujuknya. Kami berkompromi. Ia dan Rokibah mau dipindahkan dari raga Ayu dengan satu syarat.”

“Apa itu?”

“Ki Gandheng dan Rokibah hanya mau pindah ke tempat sebelumnya. Jika sudah pindah, maka Ayu hanya perlu mendapatkan penanganan medis untuk vertigonya.”

Ini berita baik buatku, juga buat Ayu.

“Syukurlah. Dan kalau memang bisa dipindahkan secepatnya, ya lebih baik.”

“Tapi saya perlu izin dari sampean dulu, Mas Danang.”

“Aku? Apa kaitannya denganku?”

“Soal tempat dua jin itu.”

“Tempat? Memang sebelumnya tinggal di mana?”

“Bukan “di mana”, tapi “siapa.”

“Iya, siapa?”

“Sampean.”

“Aku???!!!”

“Ya, sampean. Jin-jin yang nggandoli Ayu adalah jin-jin yang sebelumnya sudah lama, telah bertahun-tahun nggandol di pundak sampean.”

Aku merasakan sendi-sendi tubuhku seperti mlocoti. Tubuhku seperti tak bertenaga. Pikiranku kosong untuk beberapa detik.

“Lalu, kenapa jin-jin itu pindah ke raga Ayu? Apa hubungannya dengan Ayu?”

“Cemburu. Si Rokibah cemburu. Ia tidak ingin sampean dimiliki Ayu, atau memiliki Ayu, atau perempuan mana pun. Ia pindah ke raga Ayu karena ingin menyakiti Ayu, membuat Ayu gila. Ayu dianggap merebut sampean darinya. Dan sampean dianggap mengkhianati doa sampean sendiri.”

Mataku berkunang-kunang. Bumi ini seperti berguncang hebat. Kurasakan tubuhku tak bertenaga. Lalu, gelap.[jr]

Ciputat, 2 November 2008

Tagged: , , , , , , ,

§ One Response to Doa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Doa at Warung Nalar.

meta

%d bloggers like this: