Kursi Plastik Stasiun
5 November 2008 § 2 Comments
Sudah dua jam kereta api bertolak dari Stasiun Senen, belum ada tanda-tanda keakraban di antara para penumpang dua jok saling berhadapan itu, ditambah satu anak kecil yang tertidur tenang di pangkuan ibunya. Sedangkan Listya Lestari masih memandang keluar jendela. Mamandang setiap benda, bangunan, pohon, tiang listrik, atau apa saja yang dilewati oleh sorotan mata sipitnya. Tapi perhatiannya tidak benar-benar tertuju pada apa yang dipandangnya.
“Turun di mana, Dik?” suara bapak-bapak yang duduk di sampingnya sedikit mengagetkannya. Lamunannya seketika buyar. Serta merta dia mengalihkan pandangannya ke arah suara tersebut.
“Saya? O, saya turun di Stasiun Tugu,”
“Saya Jogja juga. Adik Jogjanya mana ya?” bapak itu ternyata minta lebih detail.
“Kotagede,” Listya tetap menjawab pendek. Ia sungguh tidak memahami apa kepentingan bapak ini bertanya demikian, dan orang-orang lainnya yang kerap ia jumpai pada beberapa perjalanan Jakarta – Jogja dan Jogja – Jakarta, selain basa-basi.
“Di Jakarta kerja?” tanya bapak itu menduga.
Kerja?! Masak, tidak bisa membedakan mana tampang pekerja, buruh, pembantu, dan mahasiswa, sih?! Memang, wajah saya, yang kata temen-temen manis ini, cocok sebagai sosok buruh, pembantu, atau pekerja? Enak saja! Setidaknya, kan, beda, wajah mahasiswa terpelajar dengan sosok lainnya!
“O, tidak, Pak! Saya masih kuliah.”
“Jadi masih kuliah?! Bagus! Raji-rajin saja kuliahnya!” Nasihat khas orang tua. Selama bolak-balik Jakarta-Jogja, Jakarta-Jogja, nasihat ini adalah untuk yang kesekian kalinya Listya dengar dari kenalan perjalanannya, yang rata-rata memang orang paruh baya seperti bapak itu.
Seiring dengan perjalanan kereta yang semakin jauh meninggalkan Jakarta, obrolan mereka pun semakin jauh, tepatnya berragam. Dari perkenalan itu Listya tahu, bapak seumur baya itu punya nama Sarman.
Pukul setengah lima sore, kereta sudah memasuki Jawa Tengah. Sekitar dua jam lagi, kereta akan sampai di Stasiun Purwokerto. Sedangkan untuk sampai ke Jogja, masih butuh waktu sekitar lima jam lagi. Benar-benar perjalanan yang melelahkan. Listya Lestari tampak terkantuk.
“Bruk!”
Suara yang muncul tiba-tiba, yang menyertai barang jatuh, mengagetkannya. Ia seketika terbangun dari tidurnya. Masih terkaget-kaget. Wajahnya kusut dan sedikit berminyak. Ia mencari-mancari sumber suara itu.
“Maaf, ini tas saya,” kata Listya sambil mengulum senyum. Ia sedikit kesakitan. Kaki kirinya tertimpa tasnya yang jatuh itu, sebab posisi kereta yang miring mengikuti rel yang berbelok. Listya Lestari segera mengambil tasnya, dan akan menaruh kembali di tempat semula. Tiba-tiba ia terhuyung-huyung.
“Mari saya bantu!” Pak sarman berdiri menawarkan diri. Listya segera minggir sedikit, memberi ruang kepada Pak Sarman untuk meletakkan tasnya, tapi masih tetap berdiri.
“Terima kasih!” kata Listya, lagi-lagi dengan mengulum senyum. Kemudian keduanya duduk kembali.
Listya Lestari memandang keluar jendela. Yang dilihatnya hanya pemandangan perbukitan dan sawah.
“Sudah sore,” katanya dalam hati. Kemudian ia melirik jam di tangannya.
Sepasang suami istri di jok depannya, beserta anaknya itu, telah bersiap-siap untuk turun. Barang-barang bawaanya, satu tas yang berukuran cukup besar, satu lagi berukuran sedang dan satu kardus mereka turunkan. Agak kerepotan. Listya turut membantu menurunkannya.
Kereta api memasuki Stasiun Purwekerto, semakin lambat melaju. Dalam hitungan detik, kereta akan benar-benar berhenti.
“Mari, Dik, Pak, saya duluan!” bapak-ibu itu beranjak dari kursi. Listya Lestari dan pak Sarman mempersilakan
Bapak-ibu itu berjalan tergopoh-gopoh membawa barang bawaannya. Bapak-ibu itu berjalan merayap pelan, berhimpitan dengan penumpang lain yang hendak keluar, ditambah dengan lalu-lalang pedagang asongan yang menjajakan barang dagangannya. Menambah sesak saja.
“Gorengannya, Bu!” kata Listya Lestari kepada seorang ibu penjual gorengan yang lewat di depannya. Listya membeli beberapa gorengan dan lontong. Tampaknya ia lapar. Bayangkan, selama kurang lebih perjalanan sembilan jam, yang masuk ke perutnya cuma air mineral. Makanan terakhir yang masuk ke perutnya hanyalah sarapan pagi, sebelum berangkat tadi. Untuk mengalau laparnya, selama perjalanan, ia lebih memilih banyak tidur, meski dengan segala ketidaknyamanan. Namanya juga kereta api ekonomi. Lebih baik menahan lapar, ketimbang makan teratur seperti biasa, terus perut moncrot-moncrot, seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
“Berapa, Bu?” kata Listya Lestari yang kemudian dijawab oleh ibu penjual gorengan tadi, dengan menyebutkan sejumlah nominal. Listya Lestari merogoh saku bajunya, meraba-raba. “Kok, nggak ada,” hatinya berbisik, bingung, dompet yang dicarinya tidak ada. “Celaka!” sebentar ia sedikit berpikir, ke mana gerangan dompetnya itu.
Ups! Ternyata dia lupa, kalau semua barang bawaan miliknya, termasuk barang-barang titipan ibunya, ia masukan ke dalam tasnya. Ia menghela napas, lega. Ia segera berdiri mengambil tasnya, membuka dan mengambil dompetnya.
Listya Lestari menawarkan kepada Pak Sarman, gorengan yang dibelinya tadi. Pak Sarman menolak dengan sangat halus, sambil mengucapkan terima kasih. Kebetulan. Sebenarnya ia pun hanya basa-basi saja. Ia memang kelaparan.
“Itu tas kamu?” Listya mengiyakan pertanyaan basa-basi dari Pak Sarman.
“Hati-hati saja. Banyak yang suka ambil kesempatan pada saat seperti ini. Mereka pura-pura sebagai penumpang atau pedagang, padahal mereka sedang mengincar barang-barang para penumpang,” Pak Sarman menasihati.
Listya memperhatikan omongan Pak Sarman sambil mengernyitkan keningnya. Sementara mulutnya asyik mengunyah gorengan. Hatinya berbicara sendiri, seharusnya ia tidak perlu menerima nasihat baik semacam itu. Dirinya sudah pengalaman. Ia tahu kapan saat-saat pencopet beraksi, dan kapan ia harus waspada, kapan juga harus membenamkan diri dalam tidur lelah.
Telah satu jam lebih kereta bertolak dari Stasiun Purwekerto. Kursi di depan Listya yang sebelumnya di tempati oleh ibu-bapak beserta satu anaknya, kini telah diduduki oleh seorang pemuda berjaket dan bertopi. Kedua telingannya tersumbat earphone walkman. Sementara, di luar, gelap malam dan udara dingin beriringan turun menyelimuti bumi. Udara dingin itu genit menggoda Listya Lestari. Ia menutup jendela bagian atas yang terbuka.
Listya Lestari, Pak Sarman hanya terdiam tak berbicara. Tidak ada selera lagi untuk ngobrol. Sedangkan si pemuda masih menikmati lagu dari walkman-nya itu. Lampu neon yang sepertinya telah lama tidak di ganti dan sarangnya sudah pecah, setia memancarkan sinarnya yang redup. Beberapa penjual asongan dengan suaranya yang khas, berlalu-lalu lalang menjajakan dagangannya.
Wajah Listya Lestari semakin kusut berminyak, karena berjam-jam tidak tersentuh air. Sudah berkali-kali ia membersihkan mukanya dengan tisu. Tidak tampak lagi wajah periangnya. Perjalanan yang kira-kira tinggal dua jam lagi itu, ia rasakan lama sekali. Semakin ditunggu, semakin dirasakan lama saja.
Wajah periangnya semakin tidak terlihat, ketika ia kembali diserang kantuk. Sebelum ia benar-benar membenamkan sadarnya dalam tidur, ia masih sempat melirik jam tangannya. Ia mendengus. Kemudian menyandarkan kepalanya. Agak miring ke kanan. Sementara Pak Sarman masih diam tenang, tapi tidak tidur.
“Heh, bangun, bangun! Sudah sampai. Ini stasiun terakhir. Ayo bangun! Mau dibersihkan!” suara keras dan kasar tukang sapu kereta kontan mengagetkan Listya. Ia terbangun, kemudian mengucek-ucek kedua matanya. Wajahnya kusut sekali.
“Sudah sampai. Ayo minggir, mau disapu!!!” tukang sapu itu meyakinkan.
Listya Lestari mencoba beradaptasi. Ia melihat ke sekelilingnya. Kosong. Semua penumpang sudah turun. Tinggal dirinya. Setelah merasa sadar betul, ia berdiri hendak mengambil tas ransel ukuran sedangnya.
“Lho, Nggak ada! Ke mana?!” hatinya berbisik. Wajahnya menampakkan raut orang bingung. Ia mencoba mencari tasnya di bawah kursi, siapa tahu jatuh. Tidak ada juga! Ia semakin bingung.
“Mas, mas! Lihat tas saya nggak?” Listya bertanya kepada tukang sapu yang tadi membangunkannya. Dengan tetap menyapu dan tidak menengokkan wajahnya kepada siapa yang bertanya, cuek, tukang sapu tersebut menjawab tidak tahu.
“Pasti, pasti! Pasti dia! Kurang ajar!”
Listya Lestari segera beranjak dari tempat duduknya. Dengan setengah berlari, ia berjalan menuju ke arah tukang sapu kereta itu. Hampir saja ia menabraknya.
Setelah keluar dari gerbong kereta nomor tiga, Listya Lestari melayangkan pandangannya ke segala arah, mencoba menemukan sosok yang paling dicarinya. Ia berjalan ke sana ke mari, namun sosok yang paling dicarinya itu tidak ada. Kalut, bingung, dan linglung.
Ia duduk di kursi plastik khas statisun. Rasa pegalnya yang sedar tadi tertimbun kebingungan, tiba-tiba mencuat di sendi-sendi tubuhnya.
Ia tidak tahu, harus bagaimana untuk mendapatkan kembali tasnya. Tas itu berisi barang-barang titipan ibunya, ponsel, beberapa baju, dompet kulit beserta tetek bengek isinya, serta barang-barang bawaan lainnya. Yang tersisa dari dirinya hanya jam tangan dan selembar uang sepuluh ribu dan lima ribu, sisa dari pembelian gorengan dan tempe serta air mineral. Ia belum memikirkan, apa yang akan ia katakan pada ibunya soal titipannya itu.
Jam dinding di Staisun Tugu menunjukkan pukul 21.15 WIB. Listya Lestari masih melamun bertopang dagu. Pandangan kosong matanya membentur kereta api eksekutif warna putih dengan dua strip warna biru dan kuning emas di sampingnya, dan berkaca jendela ray band. Tiba-tiba dadanya terasa sesak.
Udara malam Stasiun Tugu yang dingin menerpa seluruh tubuhnya. Ia tidak peduli. Ia pun tidak mempedulikan orang-orang yang berlalu-lalang di depannya, sebagaimana mereka pun tidak peduli dengannya.
Listya Lestari menyudahi lamunannya. Ia menegakkan badan yang sedari tadi membungkuk, kemudian menyandarkannya di sandaran kursi plastik. Matanya yang memang sudah sipit, ia sipitkan lagi. Bibir tipisnya ia katupkan, sambil menarik nafas panjang kemudian sedikit menahannya. Keduanya tangannya ia kepalkan.
“Uedddan sialan!!!”
Gimana sih jadi seorang penulis ya? Aq sudah nulis tp bingung? Hehe
LikeLike
menjadi seorang penulis ga ada caranya… yang ada prakteknya… kalo mau menulis, menulislah, apa saja, benar-benar apa saja… memang butuh proses konsisten… jangan lupa, jodohnya menulis adalah membaca…
LikeLike