Yoga
2 December 2008 § 2 Comments
Sepenggal firman tersurat: fas aluu ahl al-dzikr in kuntum la ta’lamuun. “Jika tidak tahu, sampaikanlah pertanyaan kalian kepada ahli zikir”. Dua kali Tuhan menyuratkannya pada dua surat yang berbeda.
Secara spesifik, sepenggal firman itu merupakan bagian dari rangkaian kisah dialektikal Nabi dengan sebagian kalangan Arab waktu itu yang didera keraguan, mempertanyakan kerasulan Muhammad, sebab menimbang dirinya hanyalah manusia. Mungkin mereka juga bakal meragukan siapapun, seandainya ada manusia lain yang memproklamirkan diri menjadi rasul. Keyakinan mereka terhadap transendental Tuhan, memunculkan sikap penyucian terhadap-Nya (al-tanzih). Tuhan mesti dijauhkan dari dunia empiris, tidak layak bersentuhan dengan hal-hal profan, dari hal-hal yang berbau tanah bumi, beraroma keringat manusia. Maka, yang pantas menjadi rasul, menurut mereka, adalah para malaikat, mahluk langit.
“Allah a’dzam min an yakuna rasuluhu basyar,” kata orang-orang itu. “Mosok iya, Tuhan dengan segenap keagungannya mau menjadikan rasul-Nya dari kelas manusia?! Itu akan menggerogoti transendental Tuhan!”
Ini persoalan kelas berat, yang nalar Nabi sendiri barangkali tak dapat memberikan jawaban meyakinkan kepada mereka. Maka, Tuhan sendiri yang menjawabnya.
“Akana li al-nas ‘ajaban an auhaina ilaa rajulin minhum,” kata Tuhan.”Memangnya kenapa, jika yang menjadi rasul adalah manusia?! Herankah Kalian dan merasa aneh, jika Aku berikan titah kepada seorang laki-laki di antara Kalian?!”
“Wama arsalna min qablika illa rijalan nuhi ilaihim,” Kata Tuhan lagi.”Pada masa lalu, yang Aku jadikan rasul pengantar wahyu juga manusia, lebih spesifiknya para lelaki.”
“Jadi, why not?!”
Agaknya mereka yang didera keraguan itu hanyalah orang-orang yang pandangan hidupnya membentur dinding tebal masa di mana mereka hidup, eksklusif dengan pemikiran, pengetahuan, dan informasi yang beredar pada masanya atau kalangannya saja, tanpa menyadari atau mungkin juga tak mau tahu jika di balik dinding tebal masanya ada masa lalu yang menghamparkan pemandangan luas. Mereka tidak memiliki jargon mulia seperti dalam tradisi NU: al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih, wal-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Menggali, menemukan, dan merawat warisan masa lalu, menengok preseden masa silam yang dapat memberikan pengayaan wacana, sekaligus mengikuti, mengamati, bahkan melibatkan diri pada perkembangan wacana masa kini yang juga dapat memberikan pengayaan, agar pengetahuan menjadi komperhensif dan lebih kaya.
Mungkin juga, karena tidak atau belum memiliki keimanan, mereka tidak atau belum memahami adagium bijak nan bajik, “al-hikmah dhallah al-mu’minin” atau “kebijaksanaan adalah barang hilang orang-orang beriman”. Karena lokasi hilangnya tidak jelas betul, maka di mana pun dan pada apa pun kebijaksanaan itu dijumpai, pungut saja.
Maka, jadilah mereka katak dalam tempurung. Eksklusif. Mereka melihat dirinya digdaya, tapi sebenarnya adalah kedunguan.
Mereka tidak tahu, perihal rasul dan risalah telah merayap sejak zaman purba, telah ada presedennya, dan yang terjadi dengan Muhammad hanyalah mata rantai. Dengan muatan kombinasi kemulian tradisi NU dan kebajikan adagium di atas, Allah menyarankan lawan dialektikal Rasul agar banyak belajar kepada siapa saja, termasuk kepada orang paling alimnya kelompok Nasrani, paling ahlinya kalangan Yahudi, para pakar Taurat, para pakar Injil, jika memang informasi dari Islam dianggap kurang kuat dan komprehensif. “Fas aluu ahl al-dzikr in kuntum la ta’lamuun”.
Ahl al-dzikr, ahli zikir bukanlah orang-orang yang zikirnya khusyuk dengan deraian air mata diiringi isak tangis sebagai latar sendu. Ahli zikir adalah para pakar intelektual. Kepada merekalah, lawan dialektikal Rasul disuruh menghadap membawa kebodohannya.
“Jika kalian tidak yakin, coba tanyakan, diskusikan dengan para intelektulal dari kalangan mana pun, Islam, Nasrani, Yahudi, atau para pakar mana pun yang menguasai kitab-kitab samawi, kalian akan menemukan satu jawaban, bahwa para rasul yang telah diterjunkan ke bumi, semuanya adalah manusia, tidak ada satu pun dari jenis malaikat. Dan itu tidak ada kaitanya dengan transendental atau profan. Sebab, bagaimana pun, Aku akan tetap menjadi diriku sendiri. Jangankan sekedar mengutus rasul dari kelas manusia, keagunganku tak akan dekaden secuil pun, meski umat seluruh dunia mengutukku. Atau, seandainya umat seluruh dunia memujiku, itu sama sekali tak akan menambah derajat kemualianku,” begitu kira-kira jawaban Tuhan untuk lawan dialektikal Rasul.
Saya kira, ada saat di mana Rasul selalu bersandar pada wahyu untuk memberikan jawaban atau menyelesaikan persoalan masyarakatnya, dalam hal yang relatif berat, seperti hal dan informasi gaib. Biasanya, kemudian, jawabanya saklek dari Tuhan, sebut saja, misal, “wa idza saalaka ‘ibadi ‘anni fa inni qarib”, “Muhammad, jika ada yang bertanya soal Aku kepadamu,” (jawab saja), “Aku cukup dekat kok.” Atau, “Yasaluka al-nas ‘an al-sa’ah, qul innama ‘ilmuha ‘inda Allah”, “Orang-orang bertanya kepadamu soal kiyamat. Jawab saja, cuma Allah yang tahu.” Termasuk persoalan di atas.
Ada saatnya juga Rasul menerima persoalan remeh temeh. Remeh temeh itu bisa diartikan dengan hal-hal sepele atau yang muncul dari kemanjaan dan kemalasan berpikir untuk berusaha mencari jawabannya sendiri. Untuk hal-hal semacam ini, barangkali Rasul tidak perlu menunggu wahyu untuk menanggapinya, apalagi melakukan investigasi. Atau mungkin juga, tidak perlu dijawab secara eksplisit.
Suatu ketika, ada salah seorang sahabat bernama Wabishah, bertanya kepada Rasul tentang definisi “kebaikan” dan “dosa”, syukur-syukur sekalian dengan contoh-contoh kongkritnya. Jawab Rasul,
“Istafti qalbak, ya wabishah!” Rasul sampai perlu mengulanginya tiga kali, menandakan penekanan, “al-birru ma ithmaannat ilaihi al-nafsu, wa al-itsmu ma haka fi al-nafsi.”
“Tanyakan pada hatimu! Mintalah fatwa pada kalbumu! Mintalah pertimbangan sukmamu! Jika hatimu merasa nyaman, adem, ayem, maka yang kamu lakukan itu berarti baik. Tapi kalau malah bikin resah, gelisah, berarti itu tidak baik, sehingga kamu merasa berdosa melakukanya.”
Saya, kok, jadi berkhayal, Kanjeng Rasul rawuh ke Indonesia, kemudian seseorang menghadapnya, bertanya soal yoga. Kira-kira, akan seperti apa respon Rasul?
uhh…ulasannya panjang-panjang
diakhir artikel joga jadi pointnya…
(mungkin karena judulnya”yoga”) kali ya? hehehehe
kayaknya ente
NU sejati ya?
LikeLike
ada lho yang lebih hebat dari yoga, yaitu SHALAT
kalo ada waktu silakan dolan ke blog saya di http://www.shalatkhusyu.wordpress.com
nuwun
LikeLike