Sepasang Sandal dan Sepenggal Kisah Musa
18 November 2011 § 1 Comment
Aku pernah berduka sebab tak memiliki sepatu, sampai pada suatu ketika aku berjumpa dengan orang yang tak memiliki kaki. (Filsuf China)
Sebagaimana dari kekasih, belenggu rindu, cucuran hujan, rerintik gerimis, butir-butir pasir, pesona purnama, gulita mendung, kelam malam, senja … Anda bisa berpikir tentang hal paling romantis dari sepasang sandal: sandal adalah simbol kesetiaan cinta. Sebelah sandal yang musnah menjadikan sebelah yang lain tak berarti sama sekali, betapa pun ia masih bagus dan kuat. Jiwa rapuh dalam diri yang tangguh.
Sebab itulah sepasang sandal itu masih di sisi. Saya jadi melankolis pada benda mati itu, justru saat ia tak lagi berguna. Padahal, mungkin saja, jika sepasang alas kaki itu bisa berucap, ia akan berkata kepada saya, “Fungsiku usai. Saatnya kembali melebur bersama alam. Kulitku, besiku, karetku, benang-benangku.” Saya bayangkan, sepasang alas kaki itu berkata demikian dengan tegar. “Buang aku. Tanpa fungsi, di sisimu aku hanya sampah.”
Betapa saya akan bertambah melankolis mendengar tutur tegarnya.
Baiklah. Saya pun tidak akan membawanya ke tukang sol, tidak akan saya perbaiki sandal sebelah kiri yang sudah jebol, menandai akhir kisah pengabdian. Sebagaimana tidak akan saya tegakkan kembali leleh lilin yang telah lelah menyangga api. Sebagaimana tidak akan saya bentuk kembali abu-abu obat nyamuk yang sudah sempurna memutar bara. Saya hanya perlu waktu yang tepat untuk mencampakkannya ke dalam tong untuk menjadi sampah.
Saya tidak kidal. Saya menendang botol-botol air mineral atau apa pun yang ingin saya mainkan, saya menyingkirkan bebatuan kecil dan agak besar, saya menendang tembok atau menggebrak tanah sebagai ekspresi kesal sebab Kopaja tak kunjung lewat. Semuanya saya lakukan menggunakan kaki kanan. Beban tugas kaki kanan lebih berat daripada kaki kiri. Tapi, kenapa justru sandal sebelah kiri yang rusak lebih dulu? Bersama-sama, sepasang sandal itu merasakan panas aspal saat cuaca begitu terik, basah oleh air tanah sisa-sisa hujan, mengerut kedinginan dalam ruangan ber-AC. Jika harus rusak, kenapa harus sepihak? Saya tidak paham.
Lebih dari itu, tahukah Anda sebab lain kenapa saya menjadi melankolis oleh akhir kisah pengabdian sepasang sandal saya itu? Saat sandal itu jebol, pada suatu pagi, seketika saya angkat sedikit kaki kiri lalu saya tengok, dan tiba-tiba teringat—tiba-tiba saja—tentang Musa, tepatnya saat Tuhan menyuruh Musa melepas sandal.
Yâ Mûsâ! Innî Ana rabbuk. Fakhla‘ na‘laik. Innaka bi al-wâd al-muqaddas thuwâ.
“Musa!” kata Tuhan menyeru. “Aku Tuhanmu. Lepas kedua alas kakimu. Kau sedang berada di lembah suci Thuwa.”
Apakah suara seruan Tuhan itu begitu merdu? Tidak tahu. Tapi, kemudian Musa meminta Tuhan menampakkan diri untuknya, untuk matanya. Musa tak ingin Tuhan dinikmati hanya oleh telinga.
Namun, Tuhan tak berkenan. Tuhan menolak permohonan Musa agar diri-Nya mewujud dalam rupa, dan memilih diri hadir dalam kebijaksanaan.
Sungguh tak terbayang bagaimana
jika saat itu Tuhan benar-benar kalah oleh hasrat Musa,
kemudian Musa merekam dalam memorinya
wajah Tuhan yang pernah nyata.
Lalu, dari tutur Musa tersebarlah berita rupa
Tuhan di tengah umat manusia,
turun-temurun kepada umat selanjutnya,
selanjutnya, dan selanjutnya hingga masa ini kita ada.
Maka, tidakkah kau kasihan kepada orang buta?!
(“Musa”–Juman Rofarif)
Subhânaka tubtu ilaika wa anâ awwal al-mu’minîn.
“Maha Suci Engkau,” kata Musa. “Aku bertobat kepada-Mu. Dan aku orang yang pertama beriman.”
INI SANGAT BERMANFA’AT BAGI ORANG2 ,MAUPUN SAYA
LikeLike