Kenapa Nabi Dirayakan Hari Kelahirannya (Maulid) dan Para Kiai Dirayakan Hari Kematiannya (Haul)?
19 August 2015 § Leave a comment
Jika yang dirayakan tahunan dari junjungan kita Nabi Muhammad adalah hari lahirnya (maulid), kenapa yang dirayakan tahunan dari ahli warisnya, inggih punika para ulama, para kiai, adalah hari wafat mereka (haul)?
Nabi Muhammad adalah sosok yang diharapkan. Ahlul Kitab masa itu telah menyatakan akan lahir seorang nabi dari Arab bernama Muhammad, nama yang tak lazim pada masa itu. Orang-orang kemudian menamai anak-anak mereka yang baru lahir dengan Muhammad, masing-masing berharap anaknya adalah sosok yang ditunggu itu. Siapa tahu. Ada enam anak yang diberi nama Muhammad pada masa itu, yaitu Muhammad ibn Uhaijah ibn al-Jaulah al-Ausi, Muhammad ibn Maslamah al-Anshari, Muhammad ibn Barra’ al-Bakri, Muhammad ibn Sufyan ibn Mujasyi’, Muhammad ibn Humran al-Ja’fi, dan Muhammad ibn Khuza’i al-Sulmi. Namun, kenyataannya, dalam perjalanan waktu, tak ada seorang pun dari nama-nama itu yang menunjukkan tanda-tanda istimewa. Sampai kemudian lahirlah Muhammad yang lain. Yatim. “Muhammad. Dengan nama itu, aku ingin seluruh dunia memujinya,” kata kakeknya kepada orang-orang yang menanyakan nama sang cucu. Selanjutnya, kita tahu apa yang terjadi. Muhammad jauh melampaui harapan kakeknya.
Nabi Muhammad telah menjadi fenomena bahkan sebelum dirinya ada. Kelahirannya ditunggu-ditunggu. Sebab itulah kita menyambut dan merayakan momentum itu dengan bahagia. Sebab itulah kita muludan.
Sementara, para kiai, para ulama, para ahli waris Nabi, tidak bisa kita nilai final mereka sebelum kita sampai di titik paling akhir di halaman terakhir cerita hidup mereka. Mereka tidak maksum. Ada kemungkinan mereka tidak tahan pada godaan duniawi. Terjerembap di kubangan kotor duniawi hingga tidak lagi patut dianut.
Penilaian terhadap mereka harus kita tunggu sampai mereka tutup usia: apakah di sepanjang jalan kehidupan mereka tertanam keindahan-keindahan yang layak diabadikan dan dikenang sebagai teladan, atau perjalanan hidup mereka berakhir di jalan buntu.
“Ayah saya, almarhum Kiai Bisri Mustofa, manti-manti, benar-benar berpesan kepada saya,” kata Kiai Mustofa Bisri alias Gus Mus, “jangan sekali-sekali terlalu memuji, mengkultuskan orang yang masih hidup. Jangan-jangan, di tengah jalan, orang itu ngobos.” Ngobos itu bocor karena suatu hal. Seperti ban yang bocor karena paku. Kiasan untuk sikap tak bisa beristikamah menjalani hidup baik. (Atau, jangan sekali-sekali terlalu mencaci seseorang karena keburukannya).
“Lihat dulu sikap istikamahnya sampai di mana.” Sampai akhir hayat atau tersendat di jalan buntu. Ada preman yang berubah menjadi begitu beriman, ada pula “berapa banyak orang berilmu yang terbunuh karena kebodohannya dan ilmunya tak bisa menolongnya”, seperti dituturkan Sahabat Ali ibn Abi Thalib. Rubba alimin qad qatalahu jahluhu wa ‘ilmuhu ma’ahu la yanfa’uhu.
Maka, haul semestinya adalah memperingati kematian orang-orang yang telah terbukti mengikuti jejak Rasulullah di sepanjang hidup. Mengingat-ingat kebaikan dan jasa mereka untuk kemudian diteladani. Meneladani orang-orang alim, orang-orang berilmu, adalah menyesap intisari ajaran-ajaran Nabi. Sebab, kepada orang-orang berillmulah ajaran-ajaran Nabi diwariskan.
Haul adalah semacam pernyataan akan jasa seseorang dalam kehidupan dan pengakuan akan kebaikan seseorang sepanjang hidup. Semacam petunjuk bahwa seseorang telah menjalani dan mengakhiri kehidupannya secara mulia, paling tidak di mata manusia.
Haul pula adalah momen untuk bermuhasabah apakah kelak diri kita juga akan dikenang sebagai famous, dikenang karena kebaikan kita yang menginspirasi—sehingga kita juga patut dihauli, atau kita malah diingat sebagai notorious, diingat sebab keburukan kita yang melekat hingga mati.
Penjelasan sederhana namun masuk akal perihal maulid dan haul ini bisa Anda dapatkan dari ceramah Gus Mus di video ini:
Leave a Reply