Tiga Sudut untuk Memandang Nama Pak Tuhan
26 August 2015 § 1 Comment
MUI Jatim bereaksi terhadap kehebohan perkara Tuhan, nama yang disandang pria asal Banyuwangi.
“Tuhan, kan, nggak boleh dibuat main-main,” kata ketua MUI Jawa Timur, sebagaimana diberitakan detik.com. “Kalau nggak mau diubah, bagian kependudukan (pemerintah setempat) jangan diberi (memberi) KTP. Kalau kamu nggak mau menambah atau mengubah, kamu nggak punya KTP dan nggak bisa utang ke bank.”
Pertama, pernyataan Ketua MUI Jatim itu adalah ancaman yang sewenang-wenang atas dasar anggapan semata.
Kedua, menyatakan bahwa Tuhan tidak boleh dibuat main-main dalam konteks nama pria asal Banyuwangi itu adalah prasangka buruk, seolah-olah orangtua pemberi nama “Tuhan” memang sengaja memain-mainkan Tuhan Yang Mahaindah. Kenyataannya, sebagaimana dituturkan oleh Pak Tuhan sendiri, dia tidak pernah menanyakan masalah nama itu kepada orangtuanya, pula orangtuanya tidak pernah menceritakan perihal penamaan “Tuhan” itu. Kenyataannya lagi, Pak Tuhan biasa saja. Tidak merasa aneh, tidak pula merasa memain-memainkan Tuhan Yang Maha Pengasih. Orang-orang di lingkungannya juga biasa-biasa saja.
Kita singkirkan dulu sangkaan buruk Ketua MUI Jatim itu dan kita hadirkan sangkaan baik Jalaluddin Rumi ini: bagaimana ia memandang ungkapan “Ana al-Haqq”. “Akulah kebenaran”. “Al-Haqq” atau “kebenaran” itu merujuk kepada Tuhan. Sebuah atribut Tuhan. Dengan menyatakan demikian, seseorang diklaim telah mengklaim kehebatan diri, mengaku dengan sombong bahwa dirinya adalah Tuhan itu sendiri. Sebuah ungkapan kontroversial yang membuat Husain ibn Mansur al-Hallaj dieksekusi secara butral.
“Padahal, sebaliknya: “Ana al-Haqq” adalah ungkapan sikap rendah hati yang luar biasa,” kata Rumi dalam Fihi Ma Fihi. “Ana al-Haqq” memiliki makna yang jauh lebih dalam ketimbang “Ana abdu al-Haqq” (Aku adalah hamba Tuhan Yang Mahabenar).
“Saat seseorang mengatakan “Ana abdu al-Haqq” (Aku adalah hamba Tuhan Yang Mahabenar), ia memastikan adanya dua wujud, yaitu abdu dan al-haqq, dirinya dan Tuhan. Sedangkan, saat seseorang orang menyatakan “Ana al-Haqq” (Aku adalah Tuhan Yang Mahabenar), ia telah meniadakan dirinya dan menyerahkan dirinya kepada angin.”
“Orang yang menyatakan “Ana al-Haqq” pada hakikatnya menyatakan “Aku tidak ada”. Segala yang ada hanyalah Allah. Tidak ada wujud lain kecuali Allah. Aku, dengan keseluruhan diriku, adalah tiada. Aku bukan apa-apa.”
“Ada kerendahhatian luar biasa di sini. Inilah yang tidak dipahami banyak orang. Saat seseorang melakukan ibadah hanya karena Allah, dan ia masih bisa melihat dirinya, masih bisa melihat tindakannya, dan masih bisa melihat Allah, ia belum bisa dikatakan telah tenggelam di air. Orang yang tenggelam di air adalah orang yang tak lagi memiliki gerakan atau tindakan apa pun. Seluruh geraknya adalah gerak air.”
Bagaimana jika kita memilih bersangka baik dengan memandang nama Pak Tuhan dari sudut positif Rumi itu: bisa jadi orangtua Pak Tuhan memiliki penghayatan nilai-nilai tauhid yang begitu dalam, dan penghayatan tersebut diungkapkan dalam penamaan terhadap sang anak. Pak Tuhan adalah ekspresi ketauhidan.
Oke. Sudah ada dua sudut yang bisa Anda pilih untuk memandang nama Pak Tuhan: sudut pandang Ketua MUI Jatim yang sinis dan sudut pandang Jalaluddin Rumi yang filosofis. Atau, mungkin Anda tertarik memilih sudut pandang ketiga yang praktis:
Anda mungkin punya ayah, atau kakek, atau paman, atau saudara, atau tetangga, atau teman, atau sejawat, atau apa pun yang bernama “rahman”, atau “rohim”, atau “malik”, atau “shamad”, atau “muhaimin”, atau “aziz”, atau “karim”, atau “halim”, atau “qodir”, atau “ghofar”, atau “wahid”, atau “latif”, atau “muqsith” … Pasti ada orang yang bernama itu. Biasanya, nama-nama tersebut adalah sandaran dari nama depan, yaitu “abdu”. Maka, ada “abdurrahim”, ada “abdurrahman”, ada “abdul malik”, dan seterusnya. Sebab, “rahman”, “rahim”, “malik”, dan seterusnya itu adalah nama Tuhan dengan arti masing-masing. Asma Allah al-Husna. Sesuai dengan logika Ketua MUI Jatim di atas, Anda tidak bisa bernama hanya “al-rahman”, “al-rahim”, “al-malik”, dan seterusnya. Tak bisa disandangkan kepada manusia. Mesti disiasati sehingga penggunaan nama itu layak untuk Anda, namun tetap etis secara makna untuk Tuhan. Maka, ya, itu tadi: “abdurrahim”, “abdurrahman”, “abdulmalik”, yang kesemuanya berarti “Hamba Tuhan [Yang Maha …]”. Ada juga nama “kholilurrahman”, artinya “Kekasih Tuhan”.
Namun, Anda kadang memanggil seseorang bernama “Abdul Muqsith Ghazali” dengan sebutan “Mas Muqsith”. Atau, Anda memanggil seseorang bernama “Abdul Qodir” dengan sebutan “Pak Qodir”. Anda memanggil “Pak Qodir” atau “Mas Muqsith” itu sama dengan Anda menyebut “Pak Tuhan” atau “Mas Tuhan”. Sebab “Qodir” dan “Muqstih” artinya Tuhan [Yang Maha …]. Jika memakai logika Ketua MUI Jatim, dengan menyebut demikian, Anda sedang memain-mainkan Tuhan, lho! Menyebut Tuhan, kok, dengan “Pak” atau “Mas”.
Mungkin Anda bisa berkilah: Ya, menyebut “Mas Muqsith” atau “Pak Qodir” biar singkat saja. Maksdunya, ya, “Mas Abdul Muqsith” atau “Pak Abdul Qodir”. Menyebut “Mas Muqsith” atau “Pak Qodir” dengan secara tersirat menyebut “Abdul”.
Nah, siasat berkilah tersebut kenapa tidak kita terapkan saja untuk Pak Tuhan asal Banyuwangi itu? Biarkan saja Pak Tuhan dengan namanya. Tidak perlu menyuruhnya mengubah nama di KTP dan surat-surat lain. Tidak perlu ada ancaman untuk Pak Tuhan jika tidak mau mengubah namanya.
Biarkan Pak Tuhan dengan namanya. Namun, saat Anda memanggilnya, secara tersirat (mudhmar), dalam hati, Anda menyebut kata “hamba”, lalu secara lisan bertanya, “Tuhan, apakah Anda sudah makan?” Sehingga, maknanya adalah, “Hamba Tuhan, apakah Anda sudah makan?”
Secara tersurat, pria asal Banyuwangi itu bernama Tuhan. Namun, secara tersirat, namanya adalah Hamba Tuhan. Praktis.
Suka banget tulisan ini.
Dio dalam bahasa Italia berarti Tuhan. Padahal banyak sekali di Indonesia ini orang bernama Dio. Apa mau dihapuskan semua? :)
LikeLiked by 1 person