Menjadi Sufi di Media Sosial

16 November 2016 § Leave a comment


Dalam kitab alRisalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, sang penulis, Imam al-Qusyairi, menyitir kata-kata Junaid al-Baghdadi tentang makna sufi di “Bab al-Tashawwuf”.

الصوفي كالأرض: يطرح عليها كل قبيح ولا يخرج منها إلا كل مليح

إنه كالأرض: يطؤها البر والفاجر وكالسحاب يظل كل شيئ والقطر يسقى كل شيئ

Sufi ibarat bumi: di sana segala keburukan dibuang, dari sana segala keindahan tumbuh berkembang.

Sufi ibarat bumi: ia dipijaki orang bajik dan orang bejat. Sufi laksana awan: ia menaungi apa saja. Sufi seperti hujan: ia membasahi apa saja.

Jika Anda BUKAN termasuk golongan orang yang meng-unfriend atau meng-unfollow pertemanan hanya karena perbedaan pilihan politik, hanya karena postingan-postingan orang yang berbeda pilihan politik itu mengesalkan sebab berisi fitnah, hoax, caci-maki, kebencian, atau kebodohan-kebodohan lainnya, ungkapan sufi agung kita Junaid al-Baghdadi itu mungkin bisa menguatkan sikap Anda.

Jika Anda mampu membiarkan kebodohan-kebodohan menginjakkan kaki di beranda akun Anda, mempersilakan fitnah, hoax, caci maki, dan kebencian mengotori halaman akun Anda, tidak melarang teman-teman media sosial Anda membuang sampah di serambi akun Anda, tanpa membuat Anda terpancing bertindak bodoh, tapi mungkin justru membuat Anda menemukan ilmu dan kebijaksanaan, membuat Anda lebih pintar, maka Anda telah bertindak layaknya sufi. Anda menjadi sufi di media sosial.

Sebelum menemukan kutipan Junaid al-Baghdadi itu, seingat saya, saya tidak pernah meng-unfriend atau meng-unfollow siapa pun karena alasan kecenderungan politik (ada beberapa pertemanan yang diblokir, tapi itu dilakukan oleh istri saya. Haha. Demi cinta dan hormat kepada sang istri, saya tidak akan membuka blokir itu, kecuali dia mengizinkan).

Setelah menemukan kutipan itu, saya semakin mantap untuk tidak meng-unfriend atau meng-unfollow orang-orang—teman dekat maupun teman jauh, teman yang hanya kenal di dunia maya maupun memang kenal di dunia nyata—yang berubah menjadi menyebalkan gara-gara goro-goro politik. Jika mereka saja tidak di-unfriend dan di-unfollow maka apalagi orang-orang yang menjadi tambah menyenangkan karena sejalan secara pilihan politik, apalagi orang-orang yang memiliki selera humor yang bagus, apalagi orang-orang yang cerdas yang dermawan berbagi pengetahuan.

Sebab, bergaul hanya dengan orang-orang yang sepemahaman, hanya dengan yang sepikiran, hanya dengan yang memiliki kesamaan preferensi politik, serta meng-unfriend dan meng-unfollow orang-orang yang berseberangan, itu bisa menipu lho. Anda berpikir sesuatu akan terjadi seperti yang Anda dan kelompok Anda pikirkan. Anda seketika terkejut dan kecewa saat kenyataan yang terjadi tak seperti yang Anda pikirkan, namun seperti pikiran orang-orang yang sudah Anda keluarkan dari pertemanan Anda. Anda tidak membuka diri pada pikiran-pikiran orang-orang yang berseberangan dengan Anda.

Kekecewaan dan kemarahan abadi bisa bermula dari harapan satu-satunya Anda dan Anda berpikir harapan itu harus terwujud, namun yang menjadi kenyataan adalah harapan lain yang tak sudi Anda pikirkan.

Maka, menjadi penting untuk membuka diri pada harapan dan pikiran yang berseberangan dengan harapan dan pikiran Anda. Siapa tahu ada kebaikan-kebaikan di sana.

Tapi susah, sih, ya. Berapa banyak teman Anda (atau mungkin Anda sendiri) yang masih memendam kekecewaan atau bahkan kebencian karena pilihannya kalah pada Pilpres 2014 lalu. Bukan hanya masih, tapi kekecewaan dan kebencian itu semakin besar dan keras.

(Sebentar lagi tentang Pilgub DKI 2017: sangat mungkin memunculkan orang-orang kecewa dan para pembenci baru atau membuat orang-orang yang sedang kecewa dan sedang benci bertambah kekecewaannya dan kebenciannya).

Maka juga, dalam perkara pilihan politik (atau mungkin dalam hal apa pun), semestinya sih kita perlu menghayati bukan-kutipan-Gusdur ini: Tidak ada perkara dukung-mendukung atau tolak-menolak yang mesti Anda lakukan secara mati-matian.

Lakukan dukung-mendukung atau tolak-menolak secara proporsional dan rasional saja. Jika tidak, Anda sama dengan sedang menggali kekecewaan mendalam dan menyalakan kebencian yang takkan padam. Tidak baik untuk mental dan spiritual Anda.

Demi mengubur kekecewaan dan memadamkan kebencian, demi mental yang kuat dan spiritual yang sehat, selamat mencoba menyikapi secara sufistik perkara politik di media sosial.

(Omong-omong, akun saya mungkin salah satu yang membuang sampah di beranda akun Anda, mengotorinya. Kadang-kadang atau selalu? Haha. Maaf, ya).

Tagged: , , , , ,

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Menjadi Sufi di Media Sosial at Warung Nalar.

meta

%d bloggers like this: