Narasi Jenggot dalam Hadis Nabi dan Pemahamannya

6 March 2019 § 3 Comments


Catatan: Tulisan ini bagian pertama dari dua tulisan. Bagian pertama ini mengulas hadis tentang jenggot dan pemahamannya. Bagian kedua ada di artikel ini (silakan klik): “Narasi Jenggot dalam Khazanah Arab Klasik”. Mengulas narasi jenggot dan orang berjenggot dalam literatur Arab klasik.

*

Saya menulis ini sambil sesekali mengelus-elus jenggot sendiri yang tak seberapa.

Jika Anda perhatikan, sebagian kiai dan habib di NU (juga yang tak terafiliasi dengan NU) tidak memelihara jenggot meski secara genetik semestinya mereka berjenggot lebat. Punya darah Arab. Belum lagi kiai-kiai atau ustad lokal kita. Jika Anda ingin tahu alasan personal kenapa mereka tidak memelihara berjenggot, silakan tanyakan ke beliau-beliau.

Tapi, jika Anda ingin tahu kira-kira alasan “ilmiah” kenapa mereka tidak berjenggot, tulisan ini dapat menjadi pertimbangan untuk memperkirakan jawaban beliau-beliau. Di sisi lain, juga untuk memperkirakan alasan kenapa sebagian kiai, habib, ustad, atau orang yang tidak masuk dalam tiga kategori tersebut memelihara jenggot.

*

Di antara karya-karya akhir almarhum Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub berjudul al-Thuruq al-Shahihah fi Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah. Seperti tampak dari judulnya yang dapat diartikan “Cara Benar Memahami Sunnah Nabi”, buku tersebut berbicara tentang … ya tentang cara benar memahami sunnah Nabi, hadis Nabi. Di antara hadis-hadis yang dibahas adalah trio hadis populer dan sesekali muncul jadi perdebatan di masyarakat: “hadis jenggot”, “hadis celana cingkrang”, “hadis tasyabbuh atau menyerupai suatu kaum”. Pak Kiai Ali mengulas hadis-hadis tersebut dengan metodologi yang sederhana (atau bisa jadi yang sudah beliau sederhanakan), namun menghasilkan pemahaman yang logis, gamblang, dan argumentatif.

Buku tersebut ditulis pada 2014 atau dua tahun sebelum Pak Kiai Ali wafat. Menjadi di antara karya pamungkas yang seakan mengukuhkan beliau sebagai pakar hadis Indonesia. Menjadi warisan berharga untuk umat.

Di antara kesimpulan penting dari kitab al-Thuruq al-Shahihah tersebut adalah:

  • Tidak diperkenankan memahami hadis tentang suatu tema hanya dari satu riwayat. Seseorang mesti mengumpulkan dan menelaah riwayat-riwayat lain yang bertema sama, sehingga dapat diketahui bahwa hadis-hadis Nabi saling menjelaskan satu sama lain. Riwayat yang kandungan matannya terlalu umum akan dijelaskan oleh riwayat lain yang lebih spesifik; riwayat yang tak menjelaskan ‘illah (alasan Nabi memerintahkan atau melarang sesuatu) akan dijelaskan oleh riwayat lain yang menyebutkan ‘illah …. Dengan begitu, akan didapatkan pemahaman yang menyeluruh terkait satu tema hadis.
  • Penting untuk menelaah ‘illah dalam sebuah hadis, baik ‘illah tersebut dinyatakan secara tersurat dalam matan (al-‘illah al-manshusah) maupun dinyatakan secara tersirat yang karenanya perlu digali (al-‘illah al-mustanbathah).
  • Karena itu, memahami hadis hanya dari satu riwayat atau memahami hadis tanpa mengerti ‘illah di dalamnya dapat mengakibatkan salah paham terhadap kandungan hadis, bahkan dapat memunculkan paham yang salah, yang sesat dan menyesatkan.

Untuk mengkonkretkan teori di atas, saya sarikan ulasan Kiai Ali tentang hadis bertema jenggot dalam al-Thuruq al-Shahihah.

Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi bersabda,

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ: أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى

“Berbedalah dengan orang-orang musyrik: cukur kumis kalian dan lebatkan jenggot kalian.”

Menukil dari Imam Ibnu Taimiyyah, Kiai Ali menulis bahwa kalimat أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى (cukur kumis kalian dan lebatkan jenggot kalian) merupakan badal dari kalimat خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ (Berbedalah dengan orang-orang musyrik).

Badal (ilmu nahwu, tata bahasa Arab) dalam bahasa Indonesia disebut aposisi, yaitu ungkapan yang berfungsi menambah atau menjelaskan ungkapan sebelumnya dalam kalimat yang bersangkutan. Dalam ilmu nahwu, ada beberapa jenis badal, salah satunya adalah badal ba’dh min kull, yaitu kalimat badal atau kalimat penjelas tersebut hanya merupakan salah satu makna/maksud dari banyak makna/maksud dalam kalimat yang dijelaskan.

Dan kalimat أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى (cukur kumis kalian dan lebatkan jenggot kalian) adalah badal jenis tersebut. Badal ba’dh min kull.

Artinya, saat Nabi memerintahkan para sahabat untuk mengambil sikap berbeda dengan orang-orang musyrik maka di antara bentuk dari sikap itu adalah dengan mencukur kumis dan melebatkan jenggot. Artinya, mencukur kumis dan mencukur jenggot bukan satu-satunya ekspresi untuk bersikap dan berpenampilan berbeda dengan orang-orang musyrik.

Artinya (lagi), alasan Nabi memerintahkan para sahabat untuk mencukur kumis dan mencukur jenggot adalah agar para sahabat (kaum muslim) berbeda dengan orang-orang musyrik—ini disebut al-‘illah al-manshusah atau alasan yang tersurat dalam matan hadis.

Jika demikian, yang substansi atau inti atau ruh dari “hadis jenggot” adalah perintah untuk berbeda dengan orang-orang musyrik, bukan perintah untuk mencukur kumis dan melebatkan jenggot. Perintah untuk berpenampilan berbeda dengan orang-orang musyrik adalah substansi yang ekspresinya bisa bermacam-macam. Salah satunya—yang terjadi pada konteks zaman Nabi—adanya mencukur kumis dan melebatkan jenggot. Yang substansi itulah yang tetap sepanjang zaman dan yang ekspresi itulah yang bisa berubah-ubah sesuai kondisi zaman.

Artinya, pada masa Nabi, ekspresi kaum muslim untuk menyatakan sikap berbeda dengan orang-orang musyrik adalah dengan mencukur kumis dan melebatkan jenggot, sebab orang-orang musyrik kala itu tidak mencukur kumis dan tidak melebatkan jenggot. Sementara, pada masa sekarang, kumis atau jenggot tidak lagi jadi penanda seseorang itu musyrik atau bukan. Kondisi zaman telah berubah dan ekspresi kemusyrikan pun berubah. Maka, hari ini, semangat yang masih relevan dari hadis di atas “perintah untuk berpenampilan berbeda dengan orang musyrik”, bukan “perintah mencukur kumis dan melebatkan jenggot”.

Itu menurut satu pendapat berdasarkan hadis di atas.

Namun, pendapat lain mengatakan bahwa perintah untuk mencukur kumis dan melebatkan jenggot tetap relevan hingga kini dan sampai kapan pun. Pendapat ini mendasarkan argumentasinya dari hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal.

قُصُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَعْفُوا اللِّحَى

“Cukurlah kumis dan biarkan jenggot tumbuh.”

Dalam hadis riwayat Imam Ahmad tersebut, perintah mencukur kumis dan perintah membiarkan jenggot tidak terkait dengan alasan apa pun, termasuk alasan untuk berbeda dengan orang-orang musyrik. Satu-satunya alasan kenapa diperintahkan mencukur kumis dan melebatkan jenggot adalah karena Nabi mengatakan demikian. Maka, bagi sebagian orang, berdasarkan teks hadis tersebut, memanjangkan jenggot itu keharusan. Bagian dari urusan agama.

Lalu, bagaimana memahami kedua hadis di atas?

Dalam buku al-Thuruq al-Shahihah, Kiai Ali berpendapat bahwa hadis riwayat Imam Ahmad di atas (“Cukurlah kumis dan biarkan jenggot tumbuh”) bersifat mujmal atau yang masih membutuhkan penjelasan. Sedangkan hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim (“Berbedalah dengan orang-orang musyrik: cukur kumis kalian dan lebatkan jenggot kalian”) bersifat mubayyin atau “yang menjelaskan” (telah jelas antara perintah dan alasannya).

Sesuai kaidah ushul fikih yang juga menjadi kesimpulan buku al-Thuruq al-Shahihah, jika ada dua hadis dalam satu tema, yang satu bersifat mujmal dan yang satu lagi bersifat mubayyin, maka kandungan hadis yang bersifat mujmal harus dipahami sesuai dengan kandungan hadis yang bersifat mubayyin. Hadis yang kandungannya masih butuh penjelasan harus dipahami sesuai dengan hadis yang kandungannya telah jelas.

Maka, hadis riwayat Imam Ahmad yang bersifat mujmal (yang memerintahkan mencukur kumis dan memanjangkan jenggot tanpa menjelaskan alasannya) itu harus dipahami sesuai dengan pemahaman hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yang bersifat mubayyin, (yang memerintahkan mencukur kumis dan memanjangkan jenggot disertai alasannya, yaitu agar berbeda dengan orang-orang musyrik).

Maka, tentang “hadis jenggot” menurut Pak Kiai Ali—mengikuti Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, pendapat yang unggul (rajih), yang perlu dikedepankan, adalah keharusan untuk berbeda dengan orang-orang musyrik, bukan perintah mencukur kumis dan melebatkan jenggot. Substansi dan inti “hadis jenggot” adalah tentang keharusan sikap berbeda dengan orang musyrik, bukan tentang jenggot itu sendiri; jenggot hanya ekspresi.

Karena yang substansi dan inti adalah tentang keharusan berbeda dengan orang-orang musyrik dan jenggot hanya ekspresi maka ekspresi bisa bermacam-macam, tergantung konteks zaman. Dan ekspresi untuk berpenampilan berbeda dengan orang-orang musyrik yang terjadi pada zaman Nabi adalah mencukur kumis dan melebatkan jenggot.

Pertanyaannya, kenapa Nabi memerintahkan kaum muslim saat itu untuk tampil berbeda dengan penampilan kaum musyrik melalui kumis dan jenggot?

Pak Kiai Ali menulis, “hadis jenggot” disabdakan Nabi pada masa-masa perang antara kaum muslim dan kaum musyrik. Pada masa itu, secara penampilan wajah, kaum musyrik memanjangkan kumis dan tidak melebatkan jenggot mereka. Barangkali mereka berjenggot, namun tak terlalu lebat dan tak terlalu panjang. Atas dasar itu, Nabi memerintahkan kaum (pasukan) muslim untuk berpenampilan sebaliknya: mencukur kumis dan melebatkan jenggot agar jadi pembeda dari kaum (pasukan) musyrik.

Jadi, perintah untuk mencukur kumis dan melebatkan jenggot dalam “hadis jenggot”—dapat dikatakan—karena alasan “politik identitas”. Sebagai identitas pembeda pasukan muslim dan pasukan musyrik.

Bagaimana dengan konteks zaman sekarang?

Apakah perintah untuk berpenampilan berbeda dengan orang musyrik masih relevan dilakukan saat ini saat konteks zaman telah berbeda dengan konteks saat Nabi memerintahkan berpenampilan berbeda itu? Masih adakah peperangan antara kaum muslim dan kaum musyrik yang mengharuskan adanya perbedaan penampilan fisik di antara kedua kubu?

Maka, Pak Kiai Ali berkesimpulan bahwa perkara jenggot dan kumis sesungguhnya hanya soal tradisi. Dalam konteks “hadis jenggot”: mencukur kumis dan melebatkan jenggot ditradisikan Nabi pada masa itu sebagai identitas pembeda antara kaum musyrik dan kaum muslim dalam peperangan.

Iya. Jenggot itu hanya perkara tradisi—dan jangan lupa juga: soal genetik. Jenggot bukan bagian dari urusan agama, buka pula bagian dari urusan ibadah.

Advertisement

Tagged: , , , , , , , , , , ,

§ 3 Responses to Narasi Jenggot dalam Hadis Nabi dan Pemahamannya

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Narasi Jenggot dalam Hadis Nabi dan Pemahamannya at Warung Nalar.

meta

%d bloggers like this: