Narasi Jenggot dalam Literatur Arab Klasik
19 July 2019 § 2 Comments
Catatan: Ini adalah artikel bagian kedua. Bagian pertama ada di artikel ini (silakan klik): Narasi Jenggot dalam Hadis Nabi dan Pemahamannya.
***
Artikel menarik dan menggelitik tentang jenggot ditulis oleh Geert Jan van Gelder berjudul “Rebarbative Beards in Classical Arabic Literature” (2018).[1]
Ustad Geert Jan van Gelder al-Hulandi ini seorang profesor bahasa Arab. Pernah menempati posisi profesor Laudian Professor of Arabic, sebuah lembaga akademis (di University of Oxford) yang telah eksis sejak 1636 (silakan googling untuk informasi lebih lanjut). Wilayah penelitiannya banyak di sekitar sastra Arab klasik, puisi maupun prosa. “Saya memiliki preferensi di genre dan tema yang jarang dipelajari, bahkan ‘marginal’,” katanya. Tapi, justru itulah yang bikin tulisannya jadi unik—kayaknya. Daftar tulisannya dengan beragam tema dari hasil riset atas kitab-kitab klasik tersebar di internet—judulnya saja, tapi. Yang saya dapatkan baru satu tadi itu: “Rebarbative Beards in Classical Arabic Literature”. Seperti jelas dari judulnya, artikel tersebut memaparkan narasi jenggot-jenggot yang tidak atraktif dalam kitab-kitab sastra Arab klasik. Cukup banyak kitab klasik dirujuk oleh van Gelder.
Dia antaranya ʿUyun al-Akhbar[2] karya Ibn Qutaibah (276/889). Dalam kitab empat jilid itu tersempil bagian sangat pendek berjudul al-liha (jenggot-jenggot) di jilid ke-4, juz ke-10, halaman ke-55-56, yang berisi tujuh pernyataan dari penutur berbeda: dua pernyataan bernada positif tentang jenggot, empat pernyataan bernada negatif tentang jenggot dalam bentuk epigram atau syair sindiran, dan satu pernyataan si majnun, orang gila, bernada kuasi-positif tentang jenggot. (Fyi: ʿUyun al-Akhbar bisa Anda unduh).
Dua pernyataan bernada positif tentang jenggot itu, yang pertama adalah milik seorang bijak:
لا تصافينّ من لا شعر على عارضيه وإن كانت الدنيا خرابا إلّا منه
“Do not become a close friend of a man who has no hair on his cheeks, even though he were the only person left in a ruined world.”
“Jangan berteman dekat orang yang tidak punya cambang di kedua pipinya, meski dunia hancur dan yang tersisa hanya dia.”
Pernyataan bernada positif kedua adalah dari Ibunda Kaum Mukmin Sayyidah Aisyah,
والّذي زيّن الرجال باللحى
“(I swear) by Him who adorned men with beards.”
“Demi Dia Yang menghiasi para lelaki dengan jenggot.”
Untuk empat epigram bernada negatif tentang jenggot, saya kutipkan dua di antaranya saja.
يا لحية طالت على نوكها # كأنّها لحية جبريل
لو كان ما يقطر من دهنها # كيلا لوفّى ألف قنديل
لو تراها وهي قد سرّحت # حسبتها بندا على الفيل
O beard that is long with its stupidity, as if it were Gabriel’s beard!
If the oil that drips from it were measured, it would be enough for a thousand lamps.
If you saw it combed straight, you’d think it was a large banner on an elephant.
Wahai jenggot yang panjang bersama kebodohannya. Seakan ia jenggot Jibril.
Andai minyaknya menetes setakaran saja, niscaya ia cukup untuk seribu lampu.
Andai kau melihat ia disisir, kau pasti berpikir itu spanduk lebar di seekor gajah.
لقد كانت مجالسنا فساحا # فضيّقها بلحيته رباح
مبعثرة الأسافل والأعالي # لها في كل زاوية جناح
Our salons used to be spacious, but Rabah made them cramped with his beard.
Its lower and upper parts are scattered all over the place, with part of it in every nook and cranny.
Majelis kami luas. Tapi jadi sempit gara-gara jenggot si Rabah.
Bagian atas dan bawah jenggotnya terserak di mana-mana, di setiap sudut dan celah.
Sedangkan satu pernyataan kuasi-positif tentang jenggot dari majnun, si gila, adalah kutipan ayat Alquran. Si majnun ini berjenggot lebat dan panjang. Seseorang mengomentarinya dengan sinis, “Jenggot macam apa ini?!”
Si majnun merespons,
والْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَباتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِداً
“Tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah. Tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya tumbuh merana.”
Respons si majnun tersebut adalah kutipan ayat ke-58 surah al-A’raf. (Dalam ilmu balaghah, itu disebut badi’ iqtibas, yaitu mengutip atau menyisipkan ayat atau hadis dalam percakapan). Sebuah respons kuasi-positif: solah-olah benar, padahal out of context.
Karya klasik lain yang dirujuk van Gelder adalah kitab syair tiga jilid, Diwan—bisa diunduh juga, karya Ibnu Rumi (283/896), seorang “prolific lampoonist”. Penulis produktif untuk perkara ejekan. Van Gelder cukup banyak mengutip syair-jenggot Ibnu Rumi dalam artikelnya. Satu saja saya salinkan di sini:
إذا عرضت للفتى لحية # وطالت وصارت إلى سرّته
فنقصان عقل الفتى عندنا # بمقدار ما زيد في لحيته
If a man’s beard is broad and long, reaching his navel,
we deem that the man’s intelligence falls short as much as his beard exceeds in length.
Jika jenggot seseorang lebat dan panjang hingga ke pusar,
menurut kami, otaknya berkurang seukuran panjang jenggotnya.
Yang juga dirujuk van Gelder adalah kitab favorit saya karya Ibnu al-Jauzi, Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin. Secara kebetulan, saya telah menelaah kecil-kecilan kitab joke tersebut: menghitung kata “jenggot” (dalam bahasa Arab, tentu) di sana. Hasilnya, ada 43 kata “jenggot” dengan beragam derivasi. Dan tentu saja, sebagai pengejawantahan dari judul Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin yang berarti “Kabar Orang-orang Dungu”, 43 kata jenggot tersebut hampir semuanya dikaitkan dengan orang-orang dungu dan kedunguan. Sebagian saya masukkan dalam buku Mati Ketawa Cara Salafi.
Diriwayatkan, dalam Taurat tertulis: “Jenggot itu tumbuh dari otak. Orang yang membiarkan jenggotnya panjang, otaknya jadi berkurang. Orang yang otaknya berkurang, kecerdasannya ikut berkurang. Orang yang kecerdasannya berkurang, dia jadi dungu.”
*
“Kedunguan adalah pupuk untuk jenggot. Orang yang jenggotnya panjang berarti kedunguannya banyak.”
*
Seorang zahid berjenggot-panjang berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu siapa yang Engkau kasihi. Dan aku tidak menemukan siapa-siapa yang bakal mengazabku selain Engkau.”
*
Seorang berjenggot panjang memukuli keledai yang dia tunggangi.
“Kenapa dipukuli begitu? Bersikaplah yang baik.” Seseorang berusaha mengingatkan.
“Kalau memang enggak bisa jalan, kenapa dia jadi keledai?!” jawab si jenggot panjang.
*
Seorang berjenggot lebat berkata kepada orang di sampingnya, “Patuhilah sunnah, kamu bakal masuk surga.”
“Sunnah itu apa?” jawab orang yang di sampingnya itu.
“Sunnah itu kamu mencintai Abu Bakar ibn Affan, Utsman ibn al-Faruq, Umar al-Shiddiq, Ali ibn Abi Sufyan, dan Mu’awiyyah ibn Abi Syaiban.”
“Mu’awiyyah ibn Abi Syaiban itu siapa?”
“Dia orang saleh. Salah satu penyangga Arsy, sekretaris Nabi, dan mertua dari anak Nabi yang bernama Aisyah.”
*
Penisbahan jenggot dan kedunguan atau penekanan jenggot sebagai tanda kedunguan, semua itu tampak ganjil, aneh, jika kita menengok hadis-hadis yang secara tekstual begitu merekomendasikan jenggot.
Dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ: أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى
“Berbedalah dengan orang-orang musyrik: cukur kumis kalian dan lebatkan jenggot kalian.”
Dalam riwayat Imam Muslim, Nabi menyatakan bahwa memanjangkan jenggot merupakan salah satu fitrah.
عشر من الفطرة: قص الشارب، وإعفاء اللحية، والسواك، واستنشاق الماء، وقص الأظفار، وغسل البراجم، ونتف الإبط، وحلق العانة، وانتقاص الماء
“Ada sepuluh fitrah: mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, insyiqaq (menghirup air hingga masuk ke hidung, lalu mendorongnya keluar), memotong kuku, membasuh sela-sela jari, mencabut bulu ketek, mencukur rambut kemaluan, dan beristinja.”
Keanehan yang ironis. Van Gelder sendiri, sebagai pengkaji sastra klasik, tampaknya tidak tahu pasti kenapa demikian banyak olok-olok untuk jenggot dan orang berjenggot dalam kitab klasik. Yang dipaparkan di atas hanya sebagian kecil dari yang dikutip van Gelder dalam artikelnya. Dan van Gelder tahu lebih banyak daripada yang dia telah kutipkan dalam artikelnya, sehingga dia perlu menyatakan, “There is no need to give more examples of this unsavoury topic.”
Sedikit saya tambahkan kutipan olok-olok tentang jenggot untuk membuktikan topik ini memang tidak menyenangkan.
Van Gelder mengutip dari al-Qazwini (682/1283) tentang Ifranja, orang-orang Frank atau Eropa Barat.
Orang-orang Frank mencukur jenggot. Setelah itu, tumbuh tunggul yang mengerikan. Salah seorang dari mereka ditanya kenapa mencukur jenggot. Dia menjawab, “Jenggot itu ampas buangan. Kau mencukur rambut di kemaluanmu; jadi, kenapa kau membiarkannya di wajahmu?!”
Fair juga. Tapi Anda tidak perlu serius menanggapinya.
Al-Jahiz (255/868-9) mengatakan bahwa al-Mausili (235/850) melihat banyak “lelaki kemayu” berwajah tampan yang mencabuti jenggot mereka. Al-Mausili menanyakan kenapa mereka melakukan itu. Padahal jenggot adalah tanda ketampanan seorang lelaki.
“Kau mau punya rambut di pantat?” jawab salah satu dari “lelaki kemayu”.
“Tidak. Demi Tuhan,” kata al-Mausili.
“Kau tidak adil,” kata si lelaki kemayu. “Kau tidak ingin punya rambut di pantat, tapi kau mengatakan agar aku membiarkan rambut di wajahku.”
Lagi, fair juga. Dan, lagi, juga, Anda tidak perlu menanggapi serius semua itu.
Jika van Gelder tidak dapat menjelaskan kenapa banyak olok-olok tentang jenggot dalam kitab klasik maka apalagi upaya untuk mendamaikan dua pernyataan yang bertentangan: narasi positif tentang jenggot dalam hadis Nabi dan narasi negatif tentang jenggot dalam literatur klasik.
Yang jelas, ukuran “panjang” jenggot tentu saja relatif. Dan orang dapat berpendapat, hanya jenggot yang panjangnya nauzubillah saja yang memenuhi syarat untuk dijadikan indikasi kedunguan; penilaian yang dengan mudah disetujui.
Dalam al-Ihya, Imam Ghazali mengutip kata-kata Imam al-Nakha’i: “Aku heran kepada orang waras yang jenggotnya panjang. Kenapa dia tidak memotong jenggotnya? Jangan biarkan terlalu panjang, namun juga jangan dipotong terlalu pendek. Sedang-sedang saja dalam segala sesuatu itu bagus.” Imam Ghazali lalu mengutip, “Saat jenggot panjang, otak jadi berkurang.”[3]
Van Gelder memberikan asumsi etimologis menarik untuk menimbang jawaban kenapa banyak olok-olok tentang jenggot dalam kitab klasik: “jenggot” dalam bahasa Arab adalah “lihyah” (لحية), dan dalam bahasa Arab ada kata kerja “laha” (لحى) yang berarti “to revile” atau “mencaci”. Tampak ada kaitan etimologi.
Tapi, menurut van Gelder, tidak adanya pujian untuk jenggot dalam banyak epigram tidak berarti, tentu saja, bahwa jenggot pada umumnya dijadikan hinaan.
“Secara puitis, lebih mudah dan lebih berguna untuk mendeskripsikan jenggot—terutama yang luar biasa lebat dan panjang—dalam gambaran yang mengejek dan konyol. Penyair selalu senang dengan paradoks: memuji apa yang biasanya dihina dan mengejek apa yang umumnya dianggap normal dan baik,” kata Geert Jan van Gelder. Penutup yang simpatik dan cukup sebagai jawaban sementara.
***
- [1] Geert Jan van Gelder, “Rebarbative Beard in Classical Arabic Literature”, Al-Masaq, vol. 30, no. 1.
- [2] Ibnu Qutaibah, ‘Uyun al-Akhbar, (Beirut, Dar al-Kitab al-Arabi, 1925), 55-56.
- [3] Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar ibn Hazm, 2005), 168.
Tagged: Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin, Al-Jahiz, al-Mausili, al-Qazwini, Geert Jan van Gelder, Ibn Qutaibah, Ibnu al-Jauzi, Ibnu Rumi, Imam al-Nakha’i, imam ghazali, jenggot dalam literatur arab klasik, Laudian Professor of Arabic, Mati Ketawa Cara Salafi, Rebarbative Beards in Classical Arabic Literature, Uyun al-Akhbar
Reblogged this on Community.
LikeLike
[…] Bagian pertama ini mengulas hadis tentang jenggot dan pemahamannya. Bagian kedua ada di artikel ini (silakan klik): “Narasi Jenggot dalam Khazanah Arab Klasik”. Mengulas narasi jenggot dan orang berjenggot dalam literatur Arab […]
LikeLike