Lirboyo-Tebuireng Connection
26 September 2020 § Leave a comment
Jika seseorang mengulang-ulang cerita, itu tanda ia menyukai cerita itu atau cerita tersebut begitu berkesan baginya.
Ini cerita yang agaknya begitu berkesan bagi Abah. Entah berapa kali Abah menceritakannya. Setiap kali saya mudik, hampir pasti Abah meriwayatkan ulang. Bisa jadi karena Abah alumnus Lirboyo yang memiliki kenangan dan kesan mendalam tentang Tebuireng, sementara saya sendiri alumnus Tebuireng.
Sampai suatu saat, setelah dipikir-pikir, saya merasa perlu merekam dan mentranskrip cerita. Hanya sebagai dokumentasi.
*
“Ada tontonan … “
“Lakon …”
“Hiyo … Digambar besar itu … Lakone ‘Matine Gusti Allah’.”
“Pemerannya perempuan?”
“Hiyo. Jadi, Gusti Allah-e perempuan. Gambar perempuan … Besar. Terus, sama Kiai Kholiq disurati: ‘Bubarken! Kalau tidak, saya bom!’”
“Yang ngadain itu tentara-tentara atau orang PKI biasa?”
“Orang PKI biasa, tapi didukung tentara.”
“Diamankan oleh tentara, gitu, ya?”
“Hiyo.”
“Terus?”
“Terus … Tetep …”
“Tetep ngadain?”
“Hiyo.”
“Malah nantang?”
“Ditantang sama Kiai Kholiq … Kiai Kholiq menemui temannya, kiai Lirboyo.”
“Siapa namanya?”
“Kiai Ibrohim. Anak Kiai Sholeh.”
“Pas PKI disurati sama Kiai Kholiq itu balesannya apa? Malah nantang?”
“Kiai Kholiq bawa tasbeh: Yang duduk tidak bisa berdiri, yang berdiri tidak bisa duduk. Kalau yang kiai Lirboyo … ‘lap-lap’, bledek. Ngantemke bledek.”
“Kiai Kholiq lempar tasbeh …”
“Yang berdiri tidak bisa duduk, yang duduk tidak bisa berdiri.”
“Yang kiai Lirboyo … siapa namanya tadi ….”
“Ibrohim.”
“Kiai Ibrohim pegang dan lempar bledek?”
“Hizib apa namanya itu … Hizib Akbar.”
“Hizib Akbar?”
“Hiyo. Lap-lap … Gini .…”
“Jadi bledeknya itu dipegang sama Kiai Ibrohim?”
“Hiyo … Kiai Ibrohim itu adiknya Nyai Dlomroh. Nyai Dlomroh itu garwane kiai Lirboyo, kiai sepuh, yang diajar oleh kiai Madura … Tidak boleh makan nasi. Berapa? Selawe.”
“Selawe tahun? Kalau makan selain nasi, boleh?”
“Bentis. Pace itu lho. Kalau bentis habis, terus godongnya …. Ya Allah. Selawe tahun.”
“Abah cerita ini dapet dari siapa, Bah?”
“Mbah Ibrohim. Saya menangi Mbah Ibrohim.”
“Oh, Abah menangi Mbah Ibrohim? Terus Mbah Ibrohim cerita?”
“Kiai Syansuri (Badawi)… saya masih menangi. Kiai Sansuri, Kiai Idris.”
“Sering ke sana saya.”
“Abah sering ke Tebuireng?”
“Hiyo.”
“Ngaji atau main-main aja?”
“Anu … Sowan.”
*
“Kiai Kholiq karo kiai Syansuri … seneng jotosan. Jaduk. Kalau Kiai Idris ndak mau.”
“Kiai Idris lembut.”
“Iya. Ndak mau. Apal Quran. Saya pernah shalat Isya kok … dua jam.”
“Sama Kiai Idris.”
“Iya. Dua jam. Yang dibaca bakda surat Fatekah … apa yo … surat Baqoroh. Rakaat tsani … apa yo ….”
*
“Kalau libur, santri melihat bal-balan. Yang main tentara. Tentara Surabaya sama Malang. Tentara menyangka, dia menghina. Sorak-sorak … Anak Indramayu.”
“Santri? Sorak-sorak? Dikirain menghina?”
“Tentarane ngamuk. Santri dikamplengi …. Saya tahu itu.”
“Oh, Abah ikut nonton waktu itu?”
“Anaknya namanya Khotib. Anak Malang. Dimasukken mobil.”
Yang sorak-sorak banyak. Ada anak Indramayu. Ada anak Malang. Yang dimasukkan ke mobil namanya Khotib, anak Malang.
“Dibawa ke markas.” Dikamplengi. “[Tentara] yang bawa rokok, rokoknya dicolok. Sepatu … disaduk.”
“Terus?”
“Saya diajak Gus Maksum. ‘Lim, ayok melok aku.’
“’Nyangdi, Gus?’”
“’Iku lho … Ndelok Khotib. Mati po urip.’”
Sesampai di markas …
“’Tib!’”
“’Opo, Gus?”
“’Mati po urip?’”
“’Sehat, Gus.’”
“Terus, kepalanya itu … Apa namanya itu?”
“Kepala tentaranya? Kepala kantornya?”
Maksudnya komandannya.
“Hiyo …. Ditantang. Masih berani? Satus seket Khotib masih berani. Khotib, orang satu, melawan satus seket, wani.”
“Satus seket ….”
“Orang.”
Tentara.
“Terus, tentaranya dipanggil …. Gak wani. Satu markas gak berani. Sikile abuh kabeh …. Tangan abuh, sikil abuh. Sing nambani Gus Maksum.”
“Jadi, tadi si khotib ini dikeroyok gak papa? Nggak ngerasain ….”
“Nggak papa … Disaduki gak papa. Tentara nyaduki, ngaploki, tangane abuh. Sing nambani Gus Maksum. Tobat pokoke. Sembuh semua. Kapok, Kon! Kapok. Gak wani wis.”
“Gak berani macem-macem lagi sama santri.”
“Tapi santri gak trimo.”
Sampai suatu saat, tentara bermain bal-balan lagi.
“Bawa sepeda. Sepeda pancal. Sama santri, sepedanya dipegang. Dibaca-bacaken: walaqad ataina dawuda minna fadhla. Ya jibalu awwibi ma’ahu wath-thairu wa alanna lahul hadida (Saba: 10). Wesine lemes. Diuntir-untir. Jadi tentarane mulih jalan kaki.”
“Itu khasiate nopo, Bahe?” Sambil nyuci, Farida nimbrung.
“Ngelemesne wesi …. Aku ndelok [momen itu]. Wa alanna, lan ngelemesaken sopo ingsun Allah; lahu, marang Dawud; al-hadida, ing wesi. Wesi lemes kok. Diuntir-untir. Dijarno …. Kuwapok wisan.”
*
“Abah lulus dari Lirboyo tahun berapa? Tahun enam sembilan?”
“Enam sembilan tamat.”
“Tapi habis itu ngajar dulu di sana?”
“Iya.”
“Ngajar?” Farida nimbrung lagi.
“Ngajar.”
“Sampai tahun pinten?”
“Tamat.”
“Enam sembilan tamat. Terus ngajar sampai tahun pinten?”
“Tujuh piro yo … delapan.”
“Tujuh delapan?”
“Iyo. Terus mulih. Nikah … karo ibukmu.”
“Lek gak karo ibukku, kalin sinten?”
*
“Ndak bisa dipisah-pisahkan.”
“Lirboyo sama Tebuireng gak bisa dipisah-pisahkan?”
“Karena, di Madura, di Bangkalan itu … orang dua itu diajar.”
“Orang dua itu siapa? Mbah Hasyim …”
“Mbah Hasyim karo Kiai Manab.”
Kiai Manab inilah “kiai sepuh” garwa Nyai Dlomroh yang disebutkan di atas. “Manab” adalah nama kecil Kiai Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo.
“Mbah Hasyim dengan Kiai Manab?”
“Iya. Diajar karo Kiai Kholil …. [Akrabnya] sampai kepada anak-cucunya ….”
“Anak-cucunya juga akrab. Kiai Kholiq (anak Mbah Hasyim) akrab dengan Mbah Ibrohim, terus Gus Hakam (cucu Mbah Hasyim) dengan Gus Maksum (cucu Mbah Manab)?”
*
Ikatan Tebuireng-Lirboyo juga terjalin oleh kitab sharaf al-Amtsilah al-Tashrifiyyah. Kitab ini disusun oleh KH. Muhammad Ma’shum bin Ali, seorang santri-mantu Mbah Hasyim Asy’ari. Lalu, pesantren Lirboyo menyusun kitab al-I’lal al-Ishthilahiyy wa al-Allughawiyy , sebuah kitab yang meng-I’lal semua kata yang bukan bina’ shahih dalam al-Amtsilah al-Tashrifiyyah.
Saya dan Farida juga Lirboyo-Tebuireng conection. Farida alumnus Lirboyo, saya Tebuireng. Tapi ini tidak berarti apa-apa dalam rangkaian cerita di atas. Hanya saja, setelah mendengar cerita-cerita Abah tersebut, saya jadi berpikir, “Oh, oke.”
Leave a Reply