Imam Besar Umat Islam Indonesia
5 November 2020 § Leave a comment
Setelah sekian lama tinggal di negeri orang,
ditentukan sudah tanggal kapan pulang.
Dekat dengan Nabi jiwa-raga di sana
tapi di sini adalah negeri tercinta.
Sebab, tak ada yang lebih dekat di hati
daripada tanah air sendiri.
Selamat datang.
Pulang adalah hak.
Tapi paragraf-paragraf di bawah ini hanya tentang istilah.
Yang disebut “istilah” adalah
اتفاق طائفة على أمر مخصوص بينهم
“kesepakatan sekelompok orang–jamaah–tentang hal tertentu dalam lingkaran mereka”.
Dalam lingkaran ahli fikih Mazhab Syafii, misal, dikenal istilah “al-imam”.
Jika para para tokoh dalam Mazhab Syafii menyebut “al-imam” dalam karya mereka maka yang mereka maksud adalah Imam al-Haramain al-Juwaini, guru Imam al-Ghazali.
Jika mereka menyebut “al-Syaikhani” (Dua Syaikh) maka yang mereka maksud adalah Imam al-Rafii dan Imam al-Nawawi.
Jika mereka menyebut “al-Syuyukh” (Para Syaikh) maka yang mereka maksud adalah Imam al-Rafii dan Imam al-Nawawi plus al-Subki.
Jika mereka menyebut “Syaikhuna” maka yang mereka maksud adalah Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari.
Jadi, “Syaikhul Islam” dalam sirkel Mazhab Syafii adalah Imam Zakariya al-Anshari, bukan Ibnu Taimiyyah yang juga punya julukan “Syaikhul Islam”.
Dan lain-lain.
(Sumber: Mukadimah “al-Asybah wa al-Nadzair”, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2019).
Contoh lebih dekat.
Dalam sirkel NU ada “Pengurus Besar” (PB), pengurus induk NU.
Lain NU, lain Muhammadiyah. Pimpinan induk mereka bukan disebut “Pengurus Besar”, melainkan “Pimpinan Pusat” (PP).
Maka, Anda tidak bisa semena-mena menyebut pengurus induk NU dengan “Pimpinan Pusat”. Atau, menyebut “Pengurus Besar” untuk pimpinan induk Muhammadiyah.
(BTS: Saya tadi menulis “Pengurus Pusat”. Untung ta’ googling kemudian).
Nah, BTS adalah singkatan dari “behind the scene” di sirkel perfilman. Sementara, itu adalah istilah untuk satu kelompok boyband di sirkel KPop.
Jadi, dalam perbincangan perfilman, jika disebut “BTS” maka maksudnya bukan “Bangtan Sonyeondan” atau “Bangtan Boys”.
Lalu, bagaimana dengan “Imam Besar Umat Islam Indonesia”?
Sama.
Istilah itu kita kembalikan ke definisi “istilah” di atas.
Istilah adalah “kesepakatan sekelompok orang tentang hal tertentu dalam lingkaran mereka”.
Dari uraian itu, bisa dibuat dua pertanyaan terkait istilah “Imam Besar Umat Islam Indonesia”.
1. “Sekelompok orang” mana yang menyepakati istilah gelar “Imam Besar Umat Islam Indonesia” dan menyepakati sosok pemilik gelar itu?
2. “Tentang hal tertentu” atau dalam hal tertentu apa “sekelompok orang” itu menyepakati adanya Imam Besar Umat Islam Indonesia?
Untuk menjawab dua pertanyaan itu, Anda bisa melihat konteks lahirnya istilah “Imam Besar Umat Islam Indonesia”.
Istilah itu muncul setelah peristiwa aksi-politis berjilid-jilid yang puncaknya adalah aksi 212. Lalu, para alumni aksi itu menyelenggarakan Kongres Alumni 212. Dalam kongres itulah dimunculkan istilah “Imam Besar Umat Islam Indonesia” dan ditetapkan sosok pemilik gelar tersebut.
(Sumber: tribun dot com. Googling aja).
Jadi, jawaban pertanyaan pertama: “Sekelompok orang” yang menyepakati istilah gelar “Imam Besar Umat Islam Indonesia” adalah para alumni aksi 212 atau mungkin orang-orang yang bersimpati.
Jawaban pertanyaan kedua: “Tentang hal tertentu” atau dalam hal tertentu di mana alumni 212 menyepakati perlu adanya “Imam Besar Umat Islam Indonesia” maksudnya adalah tentang politik, mengingat, tak bisa dimungkiri, aksi berjilid-jilid itu sangat besar muatan politisnya, meski ada soal penistaan di sana.
Jadi, sang imam besar adalah mercusuar yang [diharapkan] memandu umat Islam 212 dalam soal politik. Maka, tak heran, pada pilpres lalu, beberapa politisi menjadikan sang imam besar sebagai konten marketing penarik massa.
Lah, tapi kan dalam istilah “Imam Besar Umat Islam Indonesia” tidak ada diksi “Umat Islam 212 Indonesia”, yang ada hanya “Umat Islam Indonesia”?
Artinya, ya semua umat Islam Indonesia.
Kok bisa Anda memahami itu sebagai umat yang terlibat atau bersimpati pada aksi 212?!
Dalam ilmu balaghah, itu disebut “majaz mursal min babi ithalqi al-kull wa iradah al-ba’dh” atau, dalam bahasa Indonesia, disebut majaz “totum pro parte”, yaitu majaz yang digunakan untuk menyebut keseluruhan, tapi maksudnya adalah sebagian.
Yang disebutkan adalah “Umat Islam Indonesia”, tapi maksudnya adalah sebagian umat Islam Indonesia, yaitu umat Islam Indonesia Alumni 212.
Jadi, istilah “Imam Besar Umat Islam Indonesia” dalam istilah yang spesifik adalah “Imam Besar Soal Politik-Islam Khusus Milik Umat Islam Indonesia Alumni 212”.
Diksi “Soal Politik-Islam” berarti mengecualikan soal fikih, akidah, tasawuf, nahwu, dan hal-hal lain terkait keilmuan Islam. Soal keilmuan Islam ya sudah ada kitab-kitab standar dengan imam masing-masing.
Diksi “Khusus Umat Islam Indonesia Alumni Aksi 212” berarti mengecualikan umat Islam Indonesia yang bukan alumni Aksi 212.
Leave a Reply