Manusia Bisa Lebih Tinggi daripada Malaikat, Bisa Lebih Rendah daripada Binatang
4 August 2021 § Leave a comment
Dalam “Fihi Ma Fihi”, Rumi membagi makhluk berdasarkan unsur tabiat (alamiah) masing-masing: malaikat, binatang, dan manusia.
Malaikat, unsur tabiatnya adalah murni “akal” atau “kewarasan”.
Karena murni akal dan waras, default setting malaikat hanyalah melakukan kebaikan.
Maka, jika malaikat melaksanakan/mematuhi perintah atau melakukan kebaikan, itu bukan bentuk “kebaikan”: itu hanya tabiat melekat yang tak bisa lepas dari diri mereka.
Setingan bawaan mereka memang untuk berbuat baik dan mematuhi perintah. Jadi, itu bukan sesuatu yang mulia dan tidak istimewa untuk mereka.
Binatang, unsur tabiatnya adalah murni “syahwat”.
Karena murni syahwat, default setting binatang hanyalah melakukan “keburukan”, “kebinatangan”–bercinta di sembarang tempat tanpa malu, mengising di sembarang tempat tanpa mau tahu, membunuh (memangsa) binatang lain untuk makan, dan lain-lain.
Maka, jika binatang melakukan “keburukan-keburukan” semacam itu, itu bukan bentuk “keburukan”: itu hanya tabiat melekat yang tak bisa lepas dari diri mereka.
Setingan bawaan binatang memang untuk “berbuat buruk”. Jadi, itu bukan dosa dan tidak tercela untuk mereka.
Sementara, manusia, tidak berunsur “murni akal” ataupun “murni syahwat”: manusia adalah percampuran potensi akal malaikati dan potensi syahwat binatangi–atau “hewani” lah, biar enak didengar.
Setiap saat, akal malaikati dan syahwat hewani senantiasa berperang dalam jiwa manusia.
Akal mendorong manusia agar melakukan kebaikan dan tindakan mulia, syahwat merongrong manusia untuk melakukan keburukan dan laku dosa.
Saat manusia melakukan ketaatan dan kebaikan, itu bentuk kemenangan akalnya dan kekalahan syahwatnya. Menjadikan mereka lebih mulia daripada malaikat.
Mengapa?
Sebab, ketaatan dan kebaikan manusia adalah buah perjuangan. Sementara, ketaatan dan kebaikan malaikat hanyalah pemberian. Tabiat. Memang hanya itu yang bisa mereka kerjakan.
Saat manusia melakukan pembangkangan dan keburukan, itu bentuk kekalahan akalnya dan kemenangan syahwatnya. Menjadikan mereka lebih hina ketimbang binatang.
Mengapa?
Sebab, pembangkangan dan keburukan semestinya bisa dihindari oleh manusia. Mereka memiliki akal yang semestinya bisa digunakan untuk melawan syahwat.
Saat akal manusia kalah oleh syahwat atau saat mereka sama sekali tak menggunakan akalnya, pada saat itulah mereka lebih rendah ketimbang binatang.
Diduga kuat, kalimat hikmah ini diucapkan oleh Sayyiduna Ali ibn Abi Thalib.
من غلب عقله شهوته فهو أعلى من الملائكة ومن غلبت شهوته عقله فهو أدنى من البهائم
“Orang yang akalnya mampu mengalahkan syahwatnya, ia lebih tinggi daripada malaikat. Orang yang syahwatnya mengalahkan akalnya, ia lebih rendah ketimbang binatang.”
Maka, kita paham, dalam Islam, hanya manusia (juga jin) yang mendapatkan “khithab” perintah untuk beribadah kepada Tuhan dan melakukan kebaikan.
Kenapa ibadah dan kebaikan?
Sebab, manusia, Anda, dibekali kemampuan–berupa akal atau kewarasan–untuk melalukannya.
Kenapa perlu diperintah?
Sebab, Anda dibekali syahwat hewani yang membuat Anda berpotensi menjadi pembangkang.
Wallahu a’lam.
Leave a Reply