Ruh Menurut Imam al-Ghazali

1 June 2022 § Leave a comment


Dalam “al-Iqtishad fi al-I’tiqad”, Imam al-Ghazali mengelompokkan “sesuatu yang ada” (maujud) dalam empat kategori masyhur:

~ al-‘aradh

~ al-jism

~ al-jauhar

~ bukan al-‘aradh, bukan al-jism, bukan al-jauhar, yaitu Allah.

“Kategori” Allah gak perlu diuraikan. La yahtaju ila tafsir.

👉 Al-‘ARADH

Al-‘aradh gampangnya kira-kira begini: sesuatu yang keberadaannya bisa bermanifestasi dan terindra hanya jika ia menyatu dengan al-jism. Ada-tidaknya al-‘aradh tergantung pada ada-tidaknya al-jism. Al-‘aradh bukan entitas yang independen.

Yang sering dicontohkan adalah warna dan rupa (juga rasa, gerak, diam, dll). Semua itu al-‘aradh.

Coba Anda tunjukkan saya warna hitam (atau putih atau coklat), misal. Anda gak bakal bisa. Warna hitam (atau putih atau coklat) bisa Anda tunjukkan jika Anda menunjuk rambut, misal. Selama ada rambut, warna hitam bisa Anda tunjukkan, bisa Anda lihat, bisa Anda nyatakan ada. Coba rambut Anda potong, kumpulkan, terus bakar. Warna hitam pada rambut akan lenyap bersama lenyapnya rambut Anda.

Sama kayak, coba tunjukkan saya kecantikan/kegantengan. Anda gak bakal bisa. Anda bisa menunjukkan kecantikan/kegantengan hanya jika Anda melihat atau membayangkan wajah pasangan Anda, misal. Setelah pasangan ganteng/cantik itu mati, dikubur, dan beberapa waktu kemudian dimakan belatung maka kegantengan/kecantikan itu akan lenyap bersama hancurnya wajah.

Nah, warna hitam adalah al-‘aradh, rambut adalah al-jism. Ganteng/cantik adalah al-‘aradh, wajah adalah al-jism.

Warna bisa dikenali salah satunya lewat rambut. Rambut lenyap, warnah hitam rambut pun hilang.

Ganteng/cantik bisa dikenali salah satunya lewat wajah. Wajah hancur, ganteng/cantik pun lebur.

Itulah gambaran tentang al-‘aradh.

👉 AL-JISM

Sedangkan al-jism adalah … contohnya tadi itu: rambut, wajah, juga mata, kuku, tubuh, baju, rumah, mobil, hp Anda, dan lain-lain. Secara definisi, al-jism sering diartikan “sesuatu yang terdiri atas susunan dan bagian”; “sesuatu yang bisa dibagi-bagi”, “dipreteli”. Atau, al-jism juga bisa diartikan “sesuatu yang memiliki dimensi (ukuran)”.

👉 AL-JAUHAR

Sedangkan al-jauhar adalah …. Hmm, al-jauhar ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan al-‘aradh.

Persamaannya adalah … sama kayak al-‘aradh, al-jauhar bisa bermanisfestasi jika ia menyatu dengan al-jism.

Perbedaannya … beda dengan al-‘aradh, al-jauhar adalah entitas independen. Al-jauhar memang bisa bermanifestasi jika menyatu dengan al-jism, tetapi al-jauhar tetap akan ada dan lestari meski al-jism yang ditempatinya hancur, lenyap. Keberadaan al-jauhar tidak tergantung pada al-jism. Justru al-jism yang tergantung pada al-jauhar.

Nah, contoh dari al-jauhar adalah ruh.

[Tubuh] Manusia hidup oleh ruh. Gerak, diam, berpikir, dan semua aktivitas serta tanda-tanda kehidupan manusia adalah manifestasi dari ruh (al-jauhar) yang menyatuh dalam tubuh (al-jism)

Begitu ruh dicabut dari manusia, segala perangkat tubuh manusia tidak lagi berfungsi. Manusia gak bisa gerak, gak bisa berpikir … alias mati. Hancur di tanah kubur.

Saat manusia mati, tubuhnya hancur, sementara ruh tetap eksis. Kembali kepada Tuhan. (Ruh itulah yang kelak akan abadi–dibikin abadi–di surga atau neraka, terlepas dari perbedaan pendapat apakah tubuh di surga atau neraka adalah tubuh yang sama ketika di dunia atau tubuh baru).

Ada-tidaknya al-jism tergantung dari ada-tidaknya al-jauhar.

Hidup-matinya tubuh manusia (al-jism) tergantung ada-tidaknya ruh (al-jauhar).

Imam al-Ghazali mengelaborasi perkara ruh itu dalam karyanya, “Kimiya al-Sa’adah”.

(Di sana, Imam al-Ghazali memang tidak secara eksplisit menyebut ruh sebagai kategori al-jauhar. Lalu, menyebutnya apa? Nanti).

Selain poin di atas (kaitan al-jauhar dan al-jism, ruh dan tubuh), berikut ini poin-poin tentang ruh dalam “Kimiya’ al-Sa’adah”.

• Ruh Tidak Qadim

Qadim, sebagaimana Anda tahu, artinya “yang ada tanpa permulaan”. Hanya Allah yang ada tanpa mula. Hanya Allah yang qadim. Selain Allah, semua ada permulaannya, yaitu bermula dari ketiadaan.

Kata Imam al-Ghazali, keliru, orang yang menyangka ruh itu qadim. Wa qad dzanna ba’dhuhum anna al-ruh qadim, fa ghalathu.

Itu menunjukkan, pada masa Imam al-Ghazali (atau sebelumnya) ada pandangan bahwa ruh itu qadim. Karena qadim, ruh bukan makhluk. (Dan ada yang mengikuti pandangan itu hari ini. Dan mungkin akan tetap ada sampai kapan pun).

Orang-orang yang menyangka ruh itu qadim mendasarkan pada qiyas terhadap sifat Allah. Ruh disamakan dengan sifat-sifat Allah, seperti “kalam”, “qudrah”, “iradah”, dan lain-lain. Sifat-sifat Allah adalah entitas yang melekat pada Allah dan sifat-sifat Allah tidak diciptakan.

Bagaimana Anda mengatakan, misal, sifat qudrah, sifat kuasa, itu diciptakan?! Dengan apa Allah menciptakan sifat qudrah untuk diri-Nya padahal Allah tidak punya qudrah sebelumnya?! Kalau tidak punya qudrah maka Allah tidak berkuasa mencipta. Maka, sifat-sifat Allah tidak diciptakan. Bukan makhluk. Apakah artinya sifat Allah itu qadim? Jika mengatakan “sifat itu qadim” bisa menimbulkan salah paham sehingga menganggap ada qadim lain selain Allah maka Anda bisa katakan “sifat Allah itu ‘melekat’ pada diri Allah”. Sifat ada bersama maushuf, yang disifati, yaitu Allah. (Sebenarnya gak perlu salam paham juga. Sifat itu melekat pada Allah. Tidak terpisahkan dari Allah. Allah qadim. Maka, yang melekat pada Allah ya qadim juga).

Nah, demikian juga dengan ruh. Ia melekat pada keberadaan Allah. Karena Allah bukan makhluk maka ruh juga bukan makhluk.

Demikian pandangan orang-orang yang menyangka ruh itu tidak diciptakan. Menurut mereka, ruh bukan mahkluk dan ia qadim. Sama seperti sifat Allah.

Tapi, apakah tepat mengqiyaskan, menyamakan entitas ruh dengan entitas sifat Allah?

Memang, dalam ayat ruh, Allah menyandarkan ruh kepada diri-Nya, sebagaimana Allah menyandarkan sifat-sifat (kalam, qudrah, dll) juga kepada diri-Nya. Seperti ayat,

فَإِذَا سَوَّیۡتُهُ وَنَفَخۡتُ فِیهِ مِن رُّوحِی فَقَعُوا۟ لَهُ سَـٰجِدِینَ

Maka, apabila Aku telah menyempurnakannya dan Aku telah tiupkan ruh-Ku kepadanya maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud. (Al-Hijr: 29).

“Ruhi”, “ruh-Ku”. Allah meng-idhafah-kan, menyandarkan ruh kepada diri-Nya. Atas dasar idhafah itu, sebagian orang menganggap ruh adalah sifat Allah. Karena sifat Allah, ruh bukan makhluk dan ia qadim.

Di sinilah keliruannya. “Faghalathu,” kata Imam al-Ghazali.

Sebab, sesuatu yang Allah idhafah-kan kepada diri-Nya tidak selalu berarti sesuatu itu qadim.

Jadi, ada yang disebut “idhafah washf” (idhafah sifat), ada yang disebut “idhafah milk” (idhafah kepemilikan).

“Idhafah washf” adalah ketika Allah menyandarkan sifat-sifat kepada diri-Nya.

“Idhafah milk” adalah ketika Allah menyandarkan kepemilikan kepada diri-Nya.

Bagaimana cara mengetahui apa yang di-idhafah-kan kepada Allah itu sifat atau bukan sifat?

Bagaimana cara membedakan “idhafah washf” dan “idhafah milk”?

Jika wujud sesuatu yang di-idhafah-kan kepada Allah itu tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa independen, melekat pada diri Allah, maka itu sifat. Itu “idhafah washf”. Contohnya “ilmu Allah”, seperti dalam ayat ini,

فَٱعۡلَمُوۤا۟ أَنَّمَاۤ أُنزِلَ بِعِلۡمِ ٱللَّهِ

Ketahuilah, bahwa Alquran itu diturunkan dengan Ilmu Allah. (Hud: 14).

Kata “ilmu” di-idhafahkan kepada “Allah”.

“Ilmu” adalah sifat Allah. Maka, dalam akidah Aswaja, “ilmu” merupakan bagian dari sifat dua puluh Allah.

Sebagai sifat, ilmu tidak dapat dipisahkan dari diri Allah. Anda tidak dapat membayangkan pengetahuan Allah dipisahkan dari Allah. Tidak dapat dibayangkan ilmu Allah berada di luar diri Allah.

Sekadar ilustrasi: Anda orang cerdas. Entitas cerdas dalam diri Anda tidak dapat dipisahkan dari diri Anda. Tidak bisa, misalkan, kecerdasan itu Anda keluarkan, Anda bungkus pakai kantong plastik, kemudian Anda masukkan ke laci, lalu Anda jadi orang kosong.

Gak kebayang begitu kan.

Cerdas adalah “idhafah washf” Anda.

Berbeda dengan baju Anda. Baju Anda bukan sifat melekat pada diri Anda. Ia bisa di luar diri Anda. Ia bisa Anda lepas dan Anda jadi telanjang. Kaitan baju dengan Anda adalah kepemilikan, bukan sifat. Itulah yang disebut “idhafah milk”.

Jadi, pengertian “idhafah milk”, untuk konteks Allah, adalah jika sesuatu yang di-idhafah-kan kepada Allah itu bisa independen, bisa berdiri sendiri, bisa berada “di luar Allah”. Maka, sesuatu tersebut pasti bukan sifat.

Seperti kata “Abdullah”. Abdun dan Allah. Hamba Allah. Itu adalah “idhafah milk”. Artinya, hamba itu milik Allah. Anda, manusia, tidak “berada dalam diri Allah”, “terpisah dari Allah”. Sebab, Anda bukan sifat Allah.

Begitu juga dengan ruh dalam ayat di atas tadi,

فَإِذَا سَوَّیۡتُهُ وَنَفَخۡتُ فِیهِ مِن رُّوحِی

Kata “ruhi”, “ruh-Ku”, itu “idhafah milk”, bukan “idhafah sifat”.

Sebab, ruh manusia itu berada di luar diri Allah. Tidak melekat pada diri Allah. Sesuatu yang berada di luar Allah pasti diciptakan. Pasti makhluk.

Karena itu, ruh itu makhluk. Karena makhluk, ia tidak qadim. Pasti ada permulaan dari ruh manusia.

• Ruh Bagian dari Jenis Malaikat

Di atas saya sebutkan bahwa Imam al-Ghazali, dalam “Kimiya’ al-Sa’adah” tidak secara eksplisit menyebut ruh sebagai al-jauhar. Imam al-Ghazali hanya mengatkan “huwa min jins al-malaikah”. Ruh bagian dari jenis malaikat.

Tapi, secara eksplisit, Imam al-Ghazali mengatakan ruh bukan al-‘aradh, bukan pula al-jism.

Jika ruh bukan al-‘aradh, bukan al-jism, juga tentu bukan Allah, maka pilihannya cuma tinggal satu: ruh adalah al-jauhar, seperti sudah disebutkan di atas beserta penjelasannya.

Jika ruh adalah al-jauhar maka malaikat juga makhluk dalam kategori al-jauhar, sebab Imam al-Ghazali tadi mengatakan bahwa ruh itu bagian dari jenis malaikat.

Malaikat adalah makhluk. Jika malaikat makhluk maka ruh juga makhluk, sebab ruh bagian dari jenis malaikat.

Bagaimana kita, manusia?

Manusia adalah kategori al-jism yang memuat al-jauhar dan al-‘aradh. Manusia jenis makhluk yang komplet.

Wallahu a’lam.

***

(Anda bisa baca “Kimiya al-Sa’adah” langsung untuk mendapatkan penjelasan lebih akurat. Dan jangan lupa baca syarahnya, “Sabil al-Iradah”, karya ulama kita, Dr. Lukman Hakim al-Azhari al-Indunisi, untuk mendapatkan penjelasan lebih luas).

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Ruh Menurut Imam al-Ghazali at Warung Nalar.

meta

%d bloggers like this: