Sejarah Hijrah dan Sejarah Tahun Hijriah

29 July 2022 § Leave a comment


Nabi Muhammad “dilantik” menjadi rasul setelah menerima wahyu di Gua Hira pada satu malam bulan Ramadan. Pada usia empat puluh tahun.

(Para penulis lalu menggunakan istilah “tahun kenabian” untuk mengidentifikasi waktu peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah “pelantikan” tersebut. “Tahun kesekian Kenabian”).

Selama tiga tahun sejak “pelantikan” itu, Nabi mendakwahkan risalah Islam secara rahasia. Diam-diam. Orang per orang.

Masuk tahun keempat Kenabian, baru, Nabi mulai terang-terangan menyampaikan bahwa dirinya adalah Nabi dan Rasul. Mendakwahkan Islam secara terbuka kepada masyarakat Makkah dan luar Makkah. Kepada para kabilah Jazirah Arab yang berziarah ke Ka’bah setiap musim haji.

Dan, tulisan ini melompat ke tahun ke-10 Kenabian.

SEBELUM HIJRAH; HILANGNYA SUPPORT SYSTEM

—Tahun ke-10 Kenabian (4 tahun Sebelum Hijrah), Rajab; Abu Thalib dan Khadijah Wafat

Abu Thalib, paman Nabi, wafat.

Abu Thalib adalah pembela dan pelindung Nabi. Sepanjang hidup Abu Thalib, orang-orang Quraisy tidak berani menyentuh Nabi karena respek kepada Abu Thalib. Karena kebesaran Abu Thalib.

Maka, kepergian Abu Thalib adalah sukacita bagi orang-orang Quraisy dan tentu saja dukacita bagi Nabi. Bahkan, bencana. Orang-orang Quraisy jadi leluasa mengintimidasi Nabi. Mereka yang sekadar orang biasa pun bahkan berani melecehkan Nabi. Mereka menaburi kepala Nabi dengan debu. Salah seorang putrinya membersihkan debu-debu itu sambil menangis.

“Jangan nangis, Putriku,” kata Nabi. “Allah yang menjaga ayahmu ini.”

Di sela-sela demikian, Nabi mengatakan, “Orang-orang Quraisy sama sekali tidak pernah melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepadaku saat Abu Thalib hidup.”

Kesedihan Nabi bertambah saat Khadijah, sang istri, juga wafat tidak lama setelah Abu Thalib—tiga hari, menurut satu pendapat; dua bulan, menurut pendapat lain.

—Tahun ke-10 Kenabian (4 tahun Sebelum Hijrah), Syawal; Mencari Suaka ke Thaif

Tiga bulan setelah Abu Thalib wafat, Nabi pergi ke kota Thaif (lebih dari 90 km dari Makkah) guna—selain mendakwahkan Islam—mencari bantuan suaka untuk kaum muslim demi menghindari intimidasi dan penindasan Quraisy Makkah yang kian menjadi-jadi.

Sepuluh hari Nabi di sana. Melobi semua tokoh Thaif, terutama Bani Tsaqif sebagai penduduk utama kota ini.

Namun, lobi Nabi gagal. Thaif menolak. Bahkan, rakyat jelata kota ini mengusir Nabi dengan perlakuan tidak menyenangkan.

—Tahun ke-10 Kenabian (4 tahun Sebelum Hijrah), Dzulhijjah; Mencari Suaka ke Kabilah-Kabilah

Dzulhijjah. Bulan haji. Makkah akan ramai oleh orang-orang dan kabilah-kabilah dari seluruh jazirah Arab untuk berhaji.

Sebagai informasi, sepeninggal Nabi Ibrahim, mayoritas bangsa Arab menganut ajaran tauhid Nabi Ibrahim yang diajarkan oleh putranya, Nabi Ismail. Sepanjang hidup, Nabi Ismail memegang kendali kota Makkah dan mengelola Ka’bah (Baitul Haram).

Namun, sepeninggal Nabi Ismail, seiring dengan perjalanan waktu yang panjang, singkat cerita, terjadi penyimpangan-penyimpangan pada ajaran tauhid Nabi Ibrahim. Meski demikian, bangsa Arab ini tetap menghormati Ka’bah, tetap tawaf di Ka’bah, wukuf di Arafah, berkurban, dan lain-lain.

Mereka tetap melestarikan tradisi berhaji, namun sudah bercampur dengan paganisme, yaitu untuk menyembah berhala-berhala yang memenuhi seputar Ka’bah (Pada saat Fathu Makkah, diketahui, ada 360 berhala yang memenuhi lokasi Masjidil Haram).

Nah, sejak diperintahkan untuk mendakwahkan Islam secara terbuka, terang-terangan, Nabi memanfaatkan setiap musim haji untuk mendakwahkan Islam kepada para kabilah haji yang datang dari penjuru jazirah Arab.

Tapi, musim haji tahun ke-10 Kenabian ini berbeda. Nabi tidak hanya mendakwahkan Islam kepada para kabilah haji seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi juga melobi para kabilah, berharap mereka mau membantu kaum muslim. Nabi berharap mereka mengizinkan daerah mereka menjadi suaka bagi kaum muslim Makkah.

Sampai tahun ke-10 Kenabian (atau dalam tujuh musim haji) itu, Nabi telah mendekati lima belas kabilah—mayoritas dilakukan pada tahun ke-10 itu. Mendakwahkan Islam. Memperkenalkan diri sebagai Nabi dan Rasul. Semuanya menolak. Termasuk menolak permintaan suaka Nabi.

—Tahun ke-11 Kenabian (3 tahun Sebelum Hijrah), Dzulhijjah; Enam Orang Madinah Perintis

Musim haji datang lagi. Makkah kembali ramai dikunjungi kabilah-kabilah Arab. Seperti sebelum-sebelumnya, Nabi mendekati mereka untuk mendakwahkan Islam.

Sampai kemudian, di Mina, Nabi melewati enam pemuda Madinah (masih Yatsrib, waktu itu). Nabi mendengar para pemuda ini mengobrol tentang akan ada nabi baru. Mereka tahu itu dari orang-orang Yahudi. Nabi Muhammad pun mendekati mereka.

“Kalian dari mana?” tanya Nabi.

“Khazraj,” kata mereka.

“Yang berteman dengan Yahudi?”

Suku Khazraj ini bersekutu dengan Yahudi melawan suku Aus.

“Betul.”

Nabi dan mereka bercakap-cakap. Nabi meyakinkan mereka bahwa dirinya adalah nabi yang sedang mereka obrolkan tadi. Nabi menjelaskan tentang Islam dan Allah. Membacakan ayat Alquran. Sebagai pembuktian.

Singkat cerita, enam orang ini percaya, kemudian memeluk Islam. Mereka kembali ke Madinah membawa informasi tentang Nabi Muhammad dan Islam. Informasi itu pun menyebar dari mulut ke mulut. Dari rumah ke rumah.

Merekalah orang-orang pertama Madinah yang memeluk Islam. Dan Inilah titik awal Islam menyebar di Madinah.

Setelah lebih dari satu tahun kehilangan support system berupa kebesaran individual, yaitu Abu Thalib dan Khadijah, Nabi mulai membangun support system baru yang kelak berupa kekuatan komunal.

SEBELUM HIJRAH; BAI’AH AQABAH, SUPPORT SYSTEM BARU MULAI TERBANGUN

—Tahun ke-12 Kenabian (2 tahun Sebelum Hijrah), Dzulhijjah; Bai’ah Aqabah Pertama

Musim haji lagi. Yang biasanya Nabi mendekati kabilah jamaah haji satu demi satu, pada musim haji tahun ini, Nabi malah didekati.

Dua belas orang Madinah mendatangi Nabi: lima di antaranya [bagian dari enam] pemuda Khazraj yang telah memeluk Islam pada musim haji sebelumnya, tahun ke-11 Kenabian. Jadi, Nabi ketambahan tujuh pengikut baru pada musim ini.

Dua belas orang ini bertemu Nabi di Aqabah di Mina. Mereka tidak hanya memeluk Islam, tetapi juga berbait. Mengucap sumpah untuk, di antaranya: tidak lagi musyrik; tidak mencuri; tidak berzina; tidak membunuh anak-anak sendiri; tidak menyebarkan kebohongan; tidak membangkang kebaikan yang diajarkan Nabi; dan lain-lain. Intinya, Nabi menyampaikan dan menekankan ajaran-ajaran Islam secara lebih detail.

Sumpah inilah yang disebut dengan Bai’ah Aqabah. Yang pertama. Sumpah setia yang diadakan di Aqabah.

Selesai musim haji, dua belas orang ini kembali ke Madinah. Nabi mengikutkan satu orang bersama mereka untuk mengajarkan Islam secara lebih lanjut kepada masyarakat Madinah, bernama Mush’ab bin Umair, salah satu pemuda yang paling awal masuk Islam.

—Tahun ke-13 Kenabian (1 tahun Sebelum Hijrah), Dzulhijjah; Bai’ah Aqabah Kedua

Setelah Bai’ah Aqabah Pertama, jumlah orang-orang Madinah yang memeluk Islam tumbuh cepat.

Pada musim haji tahun ke-13 Kenabian, tujuh puluh lima muslim Madinah berhaji—73 pria, 2 wanita. Berangkat bersama rombongan haji kaum musyrik.

Sampai di Makkah, kaum muslim Madinah ini menjalin komunikasi secara rahasia dengan Nabi untuk merencanakan pertemuan rahasia di Aqabah selesai haji. Tengah malam. Pada hari Tasyriq.

Sampai hari yang ditentukan tiba. Tujuh puluh lima muslim Madinah datang lebih dulu di Aqabah. Nabi datang menyusul bersama pamannya, al-‘Abbas, yang saat itu belum memeluk Islam.

Forum telah siap. Akan membahas aliansi antara Nabi Muhammad dengan kaum muslim Madinah. Al-‘Abbas yang membuka pertemuan. Memaparkan latar belakang dan tujuan.

Singkat cerita, terjalin kesepakatan.

Di antara yang disepakati adalah kaum muslim Madinah akan membantu Nabi jika ia datang ke Madinah. Melindungi Nabi sebagaimana mereka melindungi diri dan keluarga mereka. Dan itu jadi sumpah mereka kepada Nabi.

Itulah Bai’ah Aqabah Kedua.

Jumlah kaum muslim Madinah yang telah signifikan agaknya membuat Nabi menuntut mereka untuk lebih dari sekadar memeluk Islam, tapi juga menjadi kekuatan yang siap membantu Nabi dan kaum muslim Makkah.

Setelah Ba’iah Aqabah Kedua itu, jumlah muslim Madinah diperkirakan lebih dari 88 orang (angka 88 itu dihitung dari jumlah muslim Madinah yang berkunjung ke Makkah pada musim haji tahun 11, 12, dan 13 Kenabian).

Agaknya, Bai’ah Aqabah Kedua itulah momen pendahuluan Nabi berniat hijrah ke Madinah.

Dalam perjalanan waktu berikutnya, tekad Nabi untuk hijrah semakin kuat.

TAHUN HIJRAH; SELAMAT TINGGAL, MAKKAH!               

—Tahun ke-14 Kenabian (Tahun Hijrah), Pertengahan Shafar; Persiapan

Setelah Bai’ah Aqabah Pertama, tampaknya Nabi melihat Madinah sebagai wilayah yang terbuka dan aman sebagai suaka. Sejak itulah Nabi menganjurkan kaum muslim Makkah hijrah ke sana. Izin telah diberikan.

Diketahui, orang pertama yang hijrah ke Madinah adalah Abu Salamah. Ia pindah ke Madinah setahun sebelum Ba’iah Aqabah Kedua.

Berikutnya, kaum muslim, satu demi satu, kelompok demi kelompok, berangsur-angsur meninggalkan Makkah.

Pada pertengahan bulan Shafar tahun ke-14 Kenabian, Makkah telah ditinggal pergi oleh hampir seluruh kaum muslim. Hijrah ke Madinah. Kaum muslim yang masih tinggal hanya Nabi, Ali, Abu Bakar dan ketiga anaknya (Aisyah, Asma’, dan Abdullah), serta beberapa orang Islam yang ditahan oleh kaum Quraisy. Salah seorang budak yang dibebaskan Abu Bakar, bernama Amir bin Fuhairah, juga termasuk yang masih tinggal.

Mereka ini (selain orang-orang Islam yang ditawan Quraisy) tetap tinggal di Makkah bersama Nabi untuk sebuah alasan.

Dan, Nabi akan hijrah hanya jika telah turun wahyu yang menyuruh.

Sambil menunggu wahyu, Nabi dan Abu Bakar mempersiapkan keperluan. Ringkes-ringkes gitulah. Andai tiba-tiba perintah hijrah turun, keduanya tinggal cus cabut.

—Tahun ke-14 Kenabian (Tahun Hijrah), 26 Shafar; Keputusan “Parlemen Quraisy”

Hampir seluruh kaum muslim Makkah telah pindah ke Madinah. Sebagian pribumi Madinah sendiri telah memeluk Islam.

Quraisy Makkah tahu pengaruh kuat Nabi terhadap orang-orang Madinah meski Nabi masih di Makkah. Apalagi jika sudah di Madinah.

Tahu kesetiaan dan militansi kaum muslim kepada Nabi.

Tahu kabilah terkemuka Madinah, Aus dan Khazraj, bakal jadi menjadi pelindung.

Tahu posisi strategis Madinah sebagai jalur dagang: Quraisy Makkah mesti melewati wilayah Madinah untuk berdagang di wilayah Syam. Jadi, Madinah harus selalu stabil jika Quraisy Makkah ingin jalur dagang mereka menuju Syam lancar.

Apa jadinya jika Nabi telah di Madinah dan menguasai Madinah?!

Belum lagi pikiran andai Nabi pergi ke Madinah dan Islam semakin besar. Bisa-bisa Baitul Haram tidak lagi jadi pusat ziarah penduduk Jazirah sebab mereka tidak lagi menyembah berhala—di seputar Baitul Haram terdapat ratusan berhala.

Semua itu bikin Quraisy Makkah khawatir. Ketar-ketir. Untuk menghilangkan kekhawatiran itu, mereka harus menghilangkan sumbernya. Dan, sumbernya adalah Nabi.

Nabi dianggap berpotensi merusak stabilitas ekonomi dan keagamaan Quraisy Makkah.

Kamis pagi, 26 Shafar, para tokoh Quraisy berkumpul di Dar al-Nadwah. Sebuah “Parlemen Quraisy”.

Atas usulan Abu Jahal dan disepakati oleh forum, diputuskan: Muhammad harus dibunuh!

—Tahun ke-14 Kenabian (Tahun Hijrah), 27 Shafar; Ke Gua Tsaur

Segera, Jibril mengabarkan kepada Nabi perihal rencana pembunuhan itu sekaligus menyampaikan wahyu agar Nabi segera hijrah ke Madinah.

Malam, 27 Shafar tahun ke-14 Kenabian. Pelaksanaan eksekusi. Tapi, Nabi telah menyusun rencana bersama Ali. Kisahnya masyhur.

Nabi punya kebiasaan tidur cepat. Setelah Isya. Pertengahan malam, bangun. Pergi ke Masjidil Haram. Mengerjakan shalat malam di sana. Quraisy akan menyergap dan membunuh Nabi pada momen Nabi keluar rumah untuk ke Masjidil Haram itu.

Ali disuruh tidur di tempat tidur Nabi. Selimutan kain burdah warna hijau milik Nabi dan Nabi meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

Malam semakin naik. Para eksekutor telah mengepung rumah Nabi. Mengintai. Melihat “Nabi” sedang tidur. Menunggunya bangun. Mereka yakin rencana pembunuhan akan berhasil.

Singkat cerita, upaya pembunuhan itu gagal.

Nabi keluar rumah secara invisibel. Menggenggam tanah dan menaburkan ke kepala para eksekutor. Nabi membaca ayat ke-9 surah Yasin

وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ

“Kami buat penghalang di hadapan mereka dan di belakang mereka. Kami tutup mereka sehingga mereka tidak melihat.”

Berikutnya, Nabi menyamper Abu Bakar di rumahnya, lalu mereka menuju Gua Tsaur. Tiga hari Nabi dan Abu Bakar di gua itu.

(Kisah pelarian Nabi dan Abu Bakar di Gua Tsaur masyhur. Bagaimana mengatur strategi pergi ke Gua Tsur tanpa terlacak pencari jejak. Tentang peran tiga anak Abu Bakar dan Amir bin Fuhairah—seorang budak yang dibebaskan Abu Bakar. Tentang para pengejar yang hampir menemukan Nabi dan Abu Bakar di Gua Tsaur).

—Tahun ke-14 Kenabian (Tahun Hijrah), Awal Rabiul Awal; Menuju Madinah

Awal Rabiul Awal, Nabi dan Abu Bakar keluar dari Gua Tsaur, memulai perjalanan ke Madinah. Ditemani Amir ibn Fuhairah dan dipandu seorang penunjuk jalan bernama Abdullah bin Uraiqith. Mereka berangkat ke Madinah melalui rute yang jarang sekali dilalui orang.

—Tahun ke-14 Kenabian (Tahun Hijrah), Senin, 8 Rabiul Awal; Sampai di Quba’

Nabi sampai di Quba’. Sekitar 3 kilometer dari Masjid Nabawi sekarang. Tinggal di sana selama empat hari. Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis. Merintis masjid pertama dalam sejarah kenabian.

—Tahun ke-14 Kenabian (Tahun Hijrah), Jumat, 12 Rabiul Awal; Sampai di Madinah

Hari berikutnya, Jumat, 12 Rabiul Awal, setelah shalat Jumat, Nabi memasuki Madinah.

Sejak saat itulah Yatsrib dinamai “Madinah al-Rasul” atau “Kota Rasul”. Dengan nama singkat “Madinah” seperti yang kita kenal sekarang.

Sejak saat itulah berakhir fase Makkah dalam hidup Nabi. Fase Madinah dimulai.

Itulah tahun pertama hijrah.

Tahun 1 Hijriah.

BULAN HIJRAH, PENETAPAN TAHUN HIJRIAH, DAN BULAN PERTAMA TAHUN HIJRIAH

Jadi, jelas, Rabiul Awal adalah bulan hijrah Nabi. Bulan Nabi tiba di Madinah.

Lalu, kenapa tahun Hijriah dimulai dengan bulan Muharram? Kenapa tahun baru Hijriah tidak dimulai dari Rabiul Awal?

Jadi, ada dua poin: penetapan tahun Hijriah dan penetapan bulan pertama tahun Hijriah.

Singkat cerita: Suatu saat, Abu Musa al-Asy’ari, Gubernur Bashrah kala itu, kirim surat kepada Khalifah Umar bin al-Khathab: “Saya menerima surat dari Anda. Tidak ada keterangan waktu dalam surat tersebut.”

Dalam riwayat lain, seseorang mendatangi Umar. Orang itu baru datang dari Yaman.

“Di Yaman ada sesuatu yang mereka sebut ‘tarikh’—sejarah, tanggal, waktu,” kata orang itu. “Mereka menulis ‘tahun ini’, ‘bulan itu’.”

“Oh, bagus itu,” kata Umar.

Singkat cerita: Umar lalu mengadakan rapat. Agenda: merumuskan penanggalan guna pencatatan peristiwa dan sejarah. Versi Islam.

Dalam rapat itu, ada empat usulan peristiwa untuk jadi penanggalan. Semua peristiwa itu berkaitan dengan Nabi Muhammad: 1) hari lahir Nabi, 2) hari Nabi jadi rasul, 3) hijrah Nabi, 4) hari wafat Nabi. Semuanya peristiwa besar dan penting.

Pertimbangan-pertimbangan pun disampaikan.

Hari lahir Nabi dan hari Nabi jadi rasul sangat rawan terjadi perbedaan pendapat. Susah terjadi mufakat secara mutlak untuk kepastian waktu kedua peristiwa itu. Dua usulan ini pun dieliminasi.

Hari wafat Nabi jelas momen dukacita. Usulan ini pun tereliminasi secara mudah.

Maka, tersisa hijrah Nabi. Inilah yang akhirnya disepakati sebagai penanggalan Islam.

Hijrah Nabi sebagai penanggalan ini usulan Ali bin Abi Thalib. Alasannya, hijrah adalah simbol pembeda antara hak dan batil, antara tauhid dan syirik. Hijrah adalah momen Nabi meninggalkan negeri kesyirikan.

Selain, barangkali, hijrah Nabi, kedatangan Nabi di Madinah, adalah peristiwa yang waktunya disaksikan dan diketahui hampir semua sahabat. Sebagian besar saksi hijrah Nabi masih hidup saat perumusan penanggalan itu. Jadi, Hampir mustahil terjadi perbedaan pendapat.

Berikutnya, setelah poin pertama itu disepakati, Umar masuk ke poin selanjutnya: Bulan apa tahun Hijriah dimulai?

Usulan-usulan pun bermunculan: Rajab, Ramadhan …. Sampai kemudian Utsman bin Affan mengusulkan Muharram. Alasan Utsman, Muharram adalah salah satu dari empat Asyhurul Hurum (empat “Bulan haram”) dan bulan ketika haji telah benar-benar selesai. Orang-orang sudah kembali ke daerah masing-masing.

Akhirnya, disepakati, Muharram menjadi bulan pertama tahun Hijriah.

Ibnu Hajar menambahkan alasan lain kenapa Muharram diputuskan jadi bulan pertama Hijriah.

Bai’ah Aqabah Kedua pada bulan Dzulhijjah tahun ke-13 Kenabian adalah momen pendahuluan ketika Nabi berniat hijrah ke Madinah setelah Nabi melihat semakin banyak pribumi Madinah yang memeluk Islam. Apalagi pasca-Aqabah Dua itu.

Bulan berikutnya, Muharram, tekad Nabi untuk hijrah semakin kuat.

Bulan berikutnya, Shafar, tepatnya akhir Shafar, Nabi benar-benar hijrah.

Bulan berikutnya, Rabiul Awal, Nabi tiba di Madinah.

Menurut Ibnu Hajar, bulan Muharram dijadikan bulan pertama tahun Hijriah karena pada bulan itulah tekad Nabi untuk hijrah telah bulat dan sangat kuat. Tinggal menunggu wahyu yang menyuruh hijrah saja. Meski kemudian wahyu perintah hijrah baru turun di akhir Shafar.

Forum rapat membahas penetapan penanggalan Hijriah dan bulan pertama tahun Hijriah itu dilakukan pada tahun 17 Hijriah pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab.

Wallahu a’lam.

***

Referensi

  • Al-Sirah al-Nabawiyyah (Ibnu Hisyam)
  • Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (Ibnu Hajar al-Ashqalani)
  • Al-Rahiq al-Makhtum (Shafiyurrahman al-Mubarakfuri)
  • Al-Sirah al-Nabawiyyah, Durus wa ‘Ibar (Dr. Musthafa al-Shibai)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Sejarah Hijrah dan Sejarah Tahun Hijriah at Warung Nalar.

meta

%d bloggers like this: