Shalawat Nariyyah Mengandung Pujian Berlebihan untuk Nabi Muhammad?
6 August 2022 § Leave a comment
Shalawat Nariyyah disusun oleh Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ali al-Tazi yang hidup pada abad ke-9 H atau ke-15 M.
Jadi, Shalawat Nariyyah ini telah berusia enam abad. Enam ratusan tahun!
Jika shalawat ini bisa eksis selama itu–dan mungkin akan terus eksis–bisa jadi karena ada sesuatu yang istimewa dalam shalawat tersebut.
Meski demikian, Shalawat Nariyyah tidak lepas dari kritik.
Di antara kritik terhadap Shalawat Nariyyah adalah pada kontennya yang dianggap mengandung pujian berlebihan untuk Nabi Muhammad.
Di antara pengkritik dengan kritik demikian adalah Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam sebuah “Rubrik Tanya-Jawab” majalah “Suara Muhammadiyah” (Nomor 9 dan 10 tahun 2017).
Anda bisa membaca jawaban tersebut di web Suara Muhammadiyah ini.
Intinya, menurut Tim Majelis Tarjih, “shalawat nariyah ini kurang tepat untuk diamalkan” dengan alasan, antara lain, “shalawat nariyah juga mengandung pujian yang berlebihan untuk Nabi Muhammad saw, padahal beliau sendiri tidak membutuhkannya, bahkan melarang hal itu”.
Sebagai argumentasi, Tim Majelis Tarjih mengutip sabda Nabi,
لَاتُطْرُونِي كَما أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرسُولُهُ (رواه البخاري)
“Jangan berlebihan memujiku seperti kaum Nasrani berlebihan memuji Putra Maryam (Nabi Isa). Ucapkan saja: Hamba Allah dan Utusan Allah.”
Rubrik tersebut menjawab pertanyaan warga Muhammadiyah tentang hukum membaca Shalawat Nariyyah.
Jadi, itu sekadar tanya-jawab dalam internal Muhammadiyah untuk jadi panduan warga Muhammadiyah. Selain warga Muhammadiyah juga boleh. Kalau cocok.
Karena fatwa itu untuk lingkup internal Muhammadiyah, orang luar Muhammadiyah tidak etis ikut campur.
Maka, tulisan ini tidak menanggapi inti fatwa tersebut. Tulisan ini sekadar berbagi perspektif lain untuk melihat hadis yang dijadikan dasar oleh Majelis Tarjih dalam penetapan fatwa soal Shalawat Nariyyah itu.
Pemahaman Hadis
لَاتُطْرُونِي كَما أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرسُولُهُ (رواه البخاري)
“Jangan berlebihan memujiku seperti kaum Nasrani berlebihan memuji Putra Maryam (Nabi Isa). Ucapkan saja: Hamba Allah dan Utusan Allah.”
Kenapa Nabi melarang pujian berlebihan untuk dirinya? Seperti apa pujian berlebihan itu? Apa batasannya?
Hadis itu sudah jelas, sebenarnya.
Pujian berlebihan yang terlarang diberikan kepada Nabi Muhammad adalah pujian yang sama yang diberikan kaum Nasrani kepada Nabi Isa.
Apa pujian berlebihan kaum Nasrani kepada Nabi Isa?
Yaitu, mereka mengkultuskan Nabi Isa sampai di level ketuhanan. Mengklaimnya sebagai Tuhan atau anak Tuhan.
Nah, Nabi Muhammad melarang umat memujinya sampai di level seperti itu. Mengultuskannya sebagai Tuhan atau memberinya atribut lain yang bersifat ketuhanan (“uluhiyyah”).
لَاتُطْرُونِي كَما أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ
“Jangan mengultuskan diriku sebagai Tuhan seperti yang dilakukan kaum Nasrani kepada Putra Maryam.”
Atribut yang Nabi sandang hanyalah “ubudiyyah”, kehambaan, yang menegaskan dirinya hanya hamba, sama seperti kita, umatnya.
فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ
“Aku cuma hamba Tuhan.”
Jika ada atribut yang membuat Nabi berbeda dari kita maka itu adalah “risalah”, karena memang ia seorang rasul.
فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرسُولُهُ
“Maka, kalian panggil aku hamba Tuhan dan utusan Tuhan.”
Menjadi utusan Tuhan, menjadi rasul, adalah level paling tinggi dan sempurna untuk manusia. Manusia cuma bisa mentok di level itu.
Dan di atas level rasul ada Tuhan. “Level” yang mustahil dicapai manusia.
Maka, pujian paling tinggi untuk Nabi Muhammad adalah dengan menyebutnya rasul. Memujinya dengan sifat-sifat kerasulan. Sifat-sifat yang layak untuk seorang rasul.
Dengan kata lain, selama bukan pujian yang bersifat ketuhanan (“uluhiyyah”), semua pujian untuk Nabi layak saja. Tidak ada kata berlebihan dalam memuji Nabi.
Yang disebut pujian berlebihan kepada Nabi Muhammad hanyalah jika Anda menganggap Nabi Muhammad sebagai Tuhan.
Demikian, lebih-kurang, pemahaman hadis tersebut.
“Jangan mengultuskan diriku sebagai Tuhan seperti yang dilakukan kaum Nasrani kepada Putra Maryam. Aku cuma hamba Tuhan.”
Dalam ungkapan kasidah Burdah al-Bushairi,
دَعْ ما ادَّعَتْهُ النَّصارَى في نَبيِّهِمِ # وَاحكُمْ بما شِئْتَ مَدْحاً فيهِ واحْتَكِمِ
وانْسُبْ إلى ذاتِهِ ما شِئْتَ مِنْ شَرَفٍ # وَانْسُبْ إلى قَدْرِهِ ما شِئْتَ منْ عِظَمِ
فإن فضلَ رسولِ اللهِ ليسَ لهُ # حَدٌّ فيُعْرِبَ عنه ناطِقٌ بفَمِ
Tinggalkan klaim kaum Nasrani atas Nabi mereka (Isa). Lalu, putuskan pujian untuk Nabi (Muhammad) semaumu dan debat saja orang yang mendebat keutamaannya.
Nisbahkan kemuliaan untuk dirinya semaumu. Nisbahkanlah keagungan pada kadar dirinya semaumu.
Sebab, keutamaan Rasulullah tak memiliki batas di mana seseorang bisa menjelaskan Rasulullah dengan kata-kata.
Shalawat Sebagai Penangkal Kultus
Saat kita membaca shalawat, kita sedang meminta agar Allah mencurahkan rahmat dan kasih sayang kepada Nabi Muhammad. Dan itu perintah Allah.
Rahmat Allah untuk Nabi itu sudah turah-turah. Kok kita masih saja disuruh baca shalawat untuk Nabi. Kita-kita ini yang mestinya butuh rahmat Allah. Ya kan?!
Kalau menurut analogi yang populer, kita baca shalawat untuk Nabi itu ibarat kita menuang air ke wadah yang sudah penuh sehingga tumpah-tumpah: kita berharap dapat tumpahan itu.
Tapi, dalam konteks tulisan ini, hikmah ini mungkin benar: saat kita baca shalawat, kita meminta Allah memberi rahmat kepada Nabi. Saat kita baca shalawat, kita menyandingkan nama Allah dan nama Rasul. Hanya nama yang disandingkan. Dan itu menunjukkan kemuliaan Nabi. Tapi, Dzat Allah dan diri Nabi tidak akan pernah sebanding. Sebab, Allah adalah Tuhan, Nabi hanyalah manusia yang jadi utusan Tuhan. Allah adalah Tuhan yang memberi rahmat dan Nabi hanyalah manusia cum rasul yang menerima rahmat.
Saat kita baca shalawat, kita sedang menegaskan posisi itu. Sehingga, dengan shalawat, kita tidak akan pernah mengultuskan Nabi Muhammad. Tidak akan pernah berlebihan menempatkan Nabi di level menjadi Tuhan.
Penutup
Jadi, silakan kaji Shalawat Nariyyah secara detail dan lihat adakah kalimat-kalimatnya yang mengklaim Nabi Muhammad sebagai Tuhan.
Jika memang ada klaim ketuhanan Nabi Muhammad dalam shalawat tersebut maka Anda baru bisa bilang “shalawat nariyah juga mengandung pujian yang berlebihan”.
Jika Shalawat Nariyyah memang benar mengandung pujian berlebihan maka Anda bisa menghakimi shalawat itu dengan hadis “Jangan berlebihan memujiku ….”
Tapi, jika tidak ada klaim ketuhanan Nabi Muhammad dalam Shalawat Nariyyah—dan ya pasti gada—tapi kita menghakimi shalawat tersebut dengan hadis “Jangan berlebihan memujiku …”, bisa jadi kita yang gagal paham terhadap hadis tersebut.
Wallahu a’lam.
***
Referensi
- Al-Mawahib al-Muhammadiyyah bi Syarh al-Syamail al-Tirmidziyyah (Sulaiman bin Umar al-Jamal)
- Syarh al-Burdah (Khalid al-Azhari)
Leave a Reply