Mujahirin

21 July 2008 § 1 Comment


Kata mujahirin adalah bentuk plural dari kata mujahir, yang meruapakan derifasi dari kata mujaharah. Mujaharah memiliki makna dzuhur (terlihat) dan idzhar (memperlihatkan). Dalam terminologi agama mujahirin memiliki arti khusus, yaitu seperti penjelasan Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari Abu Hurairah. Suatu ketika Abu Hurairah mendengar Nabi SAW bersabda, “Setiap umatku akan diampuni dosanya (mu’afan), kecuali mujahirin.”

Kemudian Nabi menjelaskan, bahwa mujahirin adalah orang-orang yang melakukan perbuatan dosa di malam hari tanpa seorang pun melihatnya. Pada saat itu, Allah SWT telah menutup dan merahasiakan aib (perbuatan dosa) orang tersebut. Namun, pada pagi harinya, pelaku dosa itu juteru membuka aibnya sendiri, yang telah Allah tutup, dengan memberitahukan kepada orang-orang perbuatan dosa yang telah dikerjakannya pada malam hari.

Pendek kata, mujahirin adalah orang-orang yang bangga atas dosa yang dilakukannya, tanpa terbesit sedikit pun penyesalan di hatinya.

Perilaku muhajirin ini begitu tercela. Orang yang berperilaku demikian sama artinya telah melakukan dosa berlipat. Sebab, perbuatan dosa itu sendiri adalah suatu dosa. Maka, dosa itu menjadi berlipat tatkala, dengan bangga, perbuatannya itu dipamerkan kepada orang-orang. Di balik perilaku muhajirin itu tersirat, bahwa pelakuknya telah berbuat sombong, bahkan meremehkan (istikhfaf) Allah SWT, karena menantang dan menghalalkan perbuatan yang telah diharamkan-Nya. Inilah perbuatan yang menurut Nabi SAW tidak akan terampuni.

Bukankah Allah Maha Pengampun? Benar demikian. Allah SWT akan mengampuni perbuatan dosa yang dilakukan hambanya, selama hamba tersebut mau bertaubat, menyesal, dan menyudahi perbuatan dosanya.

Namun, tidak bagi mujahir. Allah SWT tidak mengampuni mujahir bukan karena Dia tidak berkenan mengampuninya, tapi karena mujahir sendiri yang tidak mengharapkan ampunan Allah SWT. Karena, tentu saja orang yang bangga memperlihatkan perbuatan dosanya kepada orang lain, tidak akan terbesit sedikit pun keinginan bertaubat dan menyesal di hatinya, apalagi menyudahi perbuatan dosanya, sehingga ia akan terus lestari dengan bergelimang dosa.

Manusia secara kesuluruhan tak akan pernah lepas dari kesalahan dan dosa. Dan seburuk-buruk manusia yang bersalah adalah mereka yang tahu akan kesalahannya, tapi justeru bangga dengannya. Inilah yang disebut mujahir, yang tak akan diampuni kesalahannya oleh Allah SWT.

Sebaliknya, sebaik-sebaik manusia yang bersalah adalah mereka yang tahu dan sadar atas kesalahannya, kemudia bertaubat, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan Ibnu Majah, dari sahabat Anas bin Malik, Nabi SAW bersabda, “Setiap anak cucu Adam pasti berbuat salah. Dan sebaik-baik orang-orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat (at-tawwabun).” Wallahu a’lam bish-shawab.

Menakar Keikhlasan

21 July 2008 § Leave a comment


Nilai suatu ibadah tidak semata terletak pada aspek ritual. Artinya, kecukupun dan kesempurnaan ibadah tidak hanya karena telah terpenuhinya syarat dan rukun semata, tetapi juga karena aspek spiritual, yaitu keikhlasan. Kedua aspek tersebut hendaknya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan pada setiap ibadah kita.

Jika aspek ritual hanya menggugurkan kewajiban kepada Allah, maka aspek spiritual atau keikhlasan menjadikan suatu ibadah bernilai di hadapan Allah. Jika faktor ritual hanya untuk kita, maka faktor spiritual akan menghantarkan kita berjumpa dengan Allah SWT.

Allah SWT sendiri telah menjanjikan hal ini, dalam firman-Nya, “Siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahf: 110).

Dalam karya tafsirnya, Imam al-Qurtubi menuliskan bahwa kata “mempersekutukan” oleh mayoritas ulama diartikan dengan “memperlihatkan” atau riya, antonim dari ikhlas. Dengan redaksi lain, ayat tersebut menyatakan bahwa hendaklah beramal saleh dengan ikhlas, jika mengharap berjumpa dengan Allah SWT.

Namun, sebagai amalan bathin, ikhlas bukanlah perkara mudah. Ia adalah rahasia Allah. Kita tidak bisa memastikan, terhadap diri kita sekalipun, bahwa ibadah yang kita lakukan berhias keikhlasan atau tidak. Seorang sufi bernama Abu Ya’qub bin al-Susiy pernah mengatakan, “Jika seorang telah mampu melihat dirinya telah ikhlas dalam beribadah, maka sesungguhnya keikhlasannya masih memerlukan keikhlasan lagi.”

Oleh karena itu, sesungguhnya ikhlas tidaklah terucap, tidak pula dirasakan, sekalipun bisa didefinisikan. Begitu lembut ikhlas itu, hanya Allah SWT yang berhak memastikan nilai keikhlasan, dan kita sebatas berusaha memahami dan berusaha menghiasi ibadah yang kita kerjakan dengan keikhlasan.

Sebab itulah Dzun Nun Al-Mishri, seorang tokoh sufi, memaparkan tiga ciri orang yang melakukan ibadah atau perbuatan dengan ikhlas, yaitu, pertama, pujian dan celaan baginya sama saja. Artinya, dipuja tidak bangga, dicaci tidak rendah diri. Kedua, tidak hirau dan tidak pula melihat-lihat pada apa yang dilakukannya. Baginya, apa yang telah dilakukannya ibarat nafas yang ia tarik dan keluarkan tanpa beban, dan tidak menghiraukan bahwa ia telah, sedang, dan akan menarik dan mengeluarkan nafas. Ketiga, tidak mengharap dan menghitung-hitung pahala akhirat. Ibadah yang dilakukan semata karena kesadaran akan Allah SWT.

Allah SWT telah menjanjikan pertemuan dengan orang-orang ikhlas semasa di dunia, dan merekalah orang-orang yang mendapat ridha Allah SWT saat menghadap-Nya. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Siapa yang meninggal dalam keadaan ikhlas kepada Allah dan ikhlas dengan ibadahnya saat masih hidup, tidak mempersekutukannya, melaksanakan shalat dan membayar zakat, maka dia meninggal dalam keadaan Allah SWT telah meridhainya.” (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik).

Tawasul; Relasi Memudahkan Komunikasi

20 June 2008 § Leave a comment


Mengimani Nabi Muhammad – juga para nabi yang lain – merupakan bagian integral dari keimanan dan keislaman seseorang. Islam sesorang tidak sempurna sehingga ia melengkapi keimanannya kepada Nabi Muhammad, sebab ia bagian dari rukun iman. “Mengimani” tidak sama dengan “mempercayai” (tashdiq).

Mengimani adalah mempercayai dengan segala konskwesnsi di belakangnya. Kepada Nabi Muhammad, Abu Tahlib, paman Nabi, baru sebatas mempercayai, belum mengimani. Sebab, kepercayaanya kepada Nabi tidak lantas membuatnya memeluk agama yang dibawa oleh Nabi. Keimanan tentu harus didasari oleh rasa cinta, walaupun rasa cinta tidak selamanya membawa kepada keimanan.

Para sahabat adalah contoh baik sosok yang memiliki cinta sejati kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallahu’alaihi wasallam. Cinta mereka kepada Nabinya tidak terbatas dan melebihi apapun.

Sahabat ‘Ali bin Abi Thalib karrama allah wajhah suatu ketika pernah ditanya perihal kecintaannya kepada Kanjeng Nabi, beliau menajwab, “Nabi, Engkau lebih saya cintai ketimbang harta-harta yang saya miliki. Cinta saya kepada Engkau melebihi cinta saya kepada keluarga saya.”

Umar bin Khatab pernah memberikan pernyataan kepada Kanjeng Nabi, “Engkau adalah orang yang paling saya cintai. Cinta saya kepada engkau melebihi apapun, kecuali terhadap diri saya.”

Jawab Nabi, “Iman seseorang tidak akan sempurna sehingga saya lebih dicintai dari dirinya (jiwanya).” Mendengar tanggapan koreksi Nabi, Umar pun meralat pernyataanya, “Demi Allah, Engkau lebih saya cintai dari apapun, melebihi cinta saya kepada diri (jiwa) saya.” Nabi kemudian berkata seraya memberikan apresiasi kepada Umar, “Saat ini, iman kamu telah lurus, dan keyakinanmu telah sempurna.”

Dikisahkan, seorang perempuan dari kelompok Anshar yang kehilangan ayah, saudara, dan suaminya dalam perang Uhud (3 H), berkata kepada para sahabat, “Apa saja yang dikerjakan oleh Rasul?” Para sahabat menajwab, “Kebaikan. Beliau sebagaimana yang Engkau cintakan.” Perempuan tadi berkata, “Tunjukkan saya kepadanya!”

Para sahabat mengantarkan perempuan tersebut ke hadapan Nabi. Setelah bertemu langsung dengan Nabi, perempuan Anshar itu berkata, “Segala musibah setelah engkau adalah mudah.” Rasa duka yang dirasakan oleh perempuan Anshar karena kehilangan sanak saudaranya seketika lenyap setelah bertemu Nabi.

Begitulah. Cinta para sahabat kepada Nabinya tidak berdasarkan kalkulasi kepentingan. Cinta mereka tulus. Mereka sadar betul, bahwa cinta kepada Nabi pada hakikatnya adalah ekspresi cinta kepada Allah.

Cinta kepada Nabi mesti diapresiasikan dan diekspresikan segenap jiwa, sebagaimana yang dicirikan oleh Alquran. Dalam surat Ali Imran: 31-31, Allah berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah (wahai Muhammad): “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”

Ayat ini menunjuk ciri-ciri orang yang cinta kepada Allah dan Rasulnya. Sekaligus sebagai teguran bagi para hipokrit, yang menyatakan cinta manis hanya sebatas mulut.

Deskripsi di atas mewakili isi kitab Nûr al-Mubîn fi Mahabbah Sayyid al-Mursalîn karya al-‘Allamah Hadrah al-Syeikh Hasyim Asy’ari, yang juga pendiri NU dan Pesantren Tebuireng Jombang. Beliau adalah penulis produktif. Karya-karyanya sebagian besar dalam bahasa Arab dan masih berbentuk manuskrip (makhttuthath). Sebagian telah diterbitkan dan dikaji di pesantren-pesantren. Salah satunya adalah kitab tipis itu.

Sosok yang secara intent mengeksplorasi karya-karya Mbah Hasyim dan mengajarkannya secara bandongan kepada para santri adalah (alm.) KH. Ishom Hadzik (Gus Ishom), cucu dari anak perempuan Mbah Hasyim (saya sendiri ngaji kitab ini kepada beliau selama sebelas hari, 10 Maret – 21 Maret 2001 saat masih nyantri di Tebuireng). Pada setiap kitab mbah Hasyim yang ditahkik oleh Gus Ishom selalu tertulis sibth al-muallif (cucu [dari anak perempuan] pengarang). Termasuk dalam kitab ini.

Secara umum, kitab ini memperkenalkan pribadi Rasulullah. Perbab, dijelaskan sosok Nabi Muhammad sebagai Rasul yang harus ditaati dan diikuti ajaran yang dibawanya. Sebagai seorang Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib, yang memiliki keluhuran dan kemulian ahklak, ia adalah sosok yang pantas dicintai dan dihormati.

Melalui kitab ini, Mbah Hasyim seolah-olah mengajak berkenalan dengan Nabi Muhammad, beserta keluarga besarnya. Secara perbab pula, Mbah Hasyim memperkenalkan dan menjelaskan garis keturunan Nabi, putra-putri, paman, para istri, pelayan-pelayan, termasuk para budak yang pernah beliau miliki.

Tawasul

Dalam karya ini, Mbah Hasyim menjelaskan makna tawasul dalam bab tersendiri. Pembahasan tawasul ini bertitik dari ayat Alquran surat Al-Maidah ayat 35: yâ ayyuhalladzîna âmanû ittaqû allah wabtaghû ilaihi al-wasîlah/hai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah washilah (perantara) untuk sampai kepada-Nya.

Menurut Mbah Hasyim, kata al-wasîlah dalam ayat di atas memiliki arti “segala sesuatu yang telah jadikan/ditentukan oleh Allah, sebagai causa dan wushlah (medium) untuk memperolah obsesi materiil dan atau spiritual”. Dalam hal ini, al-wasîlah itu adalah sosok atau amalan yang yang dikehendaki oleh Allah dan sudah barang tentu baik menurut-Nya.

Karena kata al-wasîlah dalam ayat tersebut bersifat umum dan tidak menunjuk obyek tertentu, maka tawasul bisa dilakukan melalui wasilah sosok yang secara kategoris memiliki kemulian di sisi-Nya, seperti para Nabi, para wali Allah, dan orang-orang saleh, baik ketika mereka masih hidup atau setelah mati. Amalan-amalan saleh juga menjadi medium bertawasul.

Oleh karena itu, menurut mbah Hasyim, tawasul ada dua macam, pertama, tawasul dengan amalan-amalan saleh. Seperti shalat, puasa, haji, zakat, dzikir, infak dan sebagainya. Semua itu adalah medium yang telah Allah tentukan untuk menjupai-Nya.

Kedua, tawasul dengan medium orang-orang saleh. Seperti para Nabi, para wali, dan orang-orang saleh. Tawasul macam ini masih diperdebatkan legalitasnya. Tetapi, Mbah Hasyim cenderung memperbolehkannya.

Mbah Hasyim menukil perkataan Imam Taqiyyuddin al-Subki, “Perlu diketahui, bahwa bertawasul, istighasah dan meminta syafaat kepada Allah melalui perantara kemuliaan Nabi Muhammad adalah perbuatan baik yang sah. Kebolehan ini telah sejak lama dikenal oleh orang-orang Islam dan tidak ada yang mengingkari atau memprotesnya. Sehingga Ibnu Taimiyah muncul dan mengingkari tawasul tersebut, yang mempropagandakan larangan tawasul tersebut kepada orang-orang yang lemah secara intelektual. Perlu diketahui, bahwa larangan tawasul yang dilontarkan Ibnu Taimiyah adalah pendapat baru, yang tidak dikenal oleh ulama-ulama sebelumnya.”

Bagi Mbah Hasyim, tawasul dengan Nabi, pada hakikatnya adalah permohonan kepada Allah semata, sebaga prima causa. Nabi hanya sebagai wasilah, karena dianggap memiliki kemulian dan “posisi tawar” yang tinggi dihadapan Allah. Bukankah relasi memudahkan komunikasi. Para Nabi, para wali, para ulama saleh, mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa-jiwa yang bersih dan suci. Tentu saja relasi spiritual jiwa-jiwa yang bersih dengan Tuhan atau nilai-nilai ketuhanan lebih intim ketimbang jiwa yang tidak bersih. Orang-orang yang memiliki kedekatan relasi spiritual dengan Tuhan, tentu baginya komunikasi dengan-Nya lebih mudah. Sosok-sosok seperti inilah yang bisa “meyalurkan aspirasi” orang-orang yang “jauh” dari Tuhan.

Dalam hal tawasul, kita tetap meyakini hanya Allah sumber segalanya (prima causa). Dan, kepada Nabi Muhammad, kita hanya meyakini beliau adalah sosok yang memiliki relasi spiritual terdekat dengan Allah. Allah a’lam.

 

Mengurai Teks Yang Membelenggu Tuhan

6 June 2008 § 1 Comment


(Versi urai dari posting sebelumnya yang berujudul “Tuhan Dalam Bingkai Teks”)

Tuhan Dalam Lintasan Teks

Beberapa teks literal Alquran dan hadis menyebut posisi Tuhan yang berdiam pada suatu tempat. Sebut saja beberapa teks yang barangkali sudah sangat populer dalam teologi Islam seperti di bawah ini,

“Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (Thaha: 5).

“Dia bersama kalian di mana pun kalian berada.” (Al-Hadid: 4).

Rasul pernah mengajukan pertanyaan menguji kepada salah seorang sahabat, “Di mana Allah?” Sahabat itu menjawab, “Dia ada di langit”. Jawaban itu dibenarkan oleh Rasul. (HR Muslim, Nasa’i, dan Abu Daud dari Muawiyah bin Hakam).

“Tuhan kita selalu turun ke “langit dunia” pada tiga paruh malam terakhir, dan memberikan tiga penawaran; pertama, siapa saja yang mau berdoa kepada-Nya, akan Ia kabulkan. Kedua, siapa saja yang meminta kepada-Nya, akan ia berikan. Dan yang ketiga, siapa saja yang meminta ampun kepada-Nya, akan Ia kabulkan.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

“Aku akan selalu bersama orang yang selalu ingat kepada-Ku. Jika orang itu melangkah kepadaku hanya sejarak satu jengkal, Aku akan melangkah kepadanya sejarak satu tangan. Jika orang itu melangkah kepadaku sejarak satu tangan, Aku akan melangkah kepada-Nya sejarak dua tangan. Jika orang itu mendekat kepadaku dengan berjalan, aku akan menyusulnya dengan berlari.” (HR Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah).

Secara literal, dari teks-teks di atas, bisa dipahamai (atau sekedar membayangkan) sosok Tuhan yang begitu “manusiawi”, dalam arti, Dia juga melakukan atifitas-aktifitas layaknya manusia. Kata “bersemayam” (yang diterjemahkan dari teks Alquran: istawa), “turun” (dari teks hadis yanzilu), “belari/berjalan cepat” (uharwilu) dan semacamnya adalah kata-kata yang telah lazim digunakan oleh manusia (masyarakat arab) sebelum Alquran turun, dan merupakan kata-kata yang menunjuk pada aktifitas yang juga dilakukan manusia.

Dan Tuhan “meminjam” bahasa manusia itu, karena tentu saja manusialah penerima titah-titah ilahiyah sehingga kehendak-kehendak Tuhan yang terangkum dalam titah-titah itu bisa dipahami olehnya, walaupun sementara ada beberapa teks-teks Alquran yang bukan “bahasa manusia”, dalam arti, tidak pernah digunakan oleh manusia, yang disebut dengan lafdz mutasyabih, seperti kata “alif lam mim”, “alif lam ra”, “ha mim”, “tha ha”, dan sebagainya. Kata-kata itulah yang menjadi perdebatan para pakar tafsir sepanjang sejarah dalam pemaknaannya. Pemahaman atau pemaknaan paling populer terhadap-kata itu adalah “wallahu a’lam bimuridihi” atau “hanya Allah yang tahu maksudnya”.

Tapi, kita lalui saja lafdz mutasyabih itu, dan fokus ke pembahasan teks-teks dan Alquran dan hadis di atas.

Teks Alquran dalam surat Thaha: 5, “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy”, dan teks-teks lain yang menyuratkan Tuhan menempati suatu ruang, jika dipahami secara literal dan apa adanya, akan memunculkan beberapa dugaan,

Pertama, Arsy adalah tempat tinggal Tuhan.

Kedua, sosok Tuhan yang terukur. Sebagaimana benda-benda atau sosok-sosok terukur lain yang menempati ruang tertentu, ukuran sosok Tuhan bisa saja sepadan, lebih besar, atau lebih kecil dari ruang yang ditempati-Nya itu (dalam hal ini Arsy).

Ketiga, sosok Tuhan yang terarah, dalam arti yang sebenarnya, yaitu Dia dikelelingi oleh arah mata angin atau arah-arah tertentu (kanan, kiri, depan, belakang, atas, serong dan seterusnya). Sebab, semua citaan Tuhan, termasuk Arsy, dikelilingi oleh arah mata angin dan arah-arah tertentu. Maka, tak berlebihan, jika Tuhan yang menempati Arsy pun juga demikian.

Keempat, personifikasi Tuhan sebagai fisik yang terdiri atas organ-organ, sebagaimana mahluk-mahluk ciptaan-Nya, termasuk Arsy, yang dalam istilah teologi Islam disebut dengan jism. Jika Tuhan menempati Arsy yang jism, maka Dia merupakan jism pula (la yastaqirru ‘ala jism illa jism mitsluh).

Jika melihat teks Alquran surat Thaha: 5 di atas, dugaan-dugaan seperti itu atau juga dugaan-dugaan lain, mungkin saja bisa terlintas atau terpikirkan oleh sebagian orang. Namun, jika kita sepakat bahwa Tuhan bukanlah manusia dan selamanya manusia tidak akan seperti Tuhan, maka dugaan-dugaan seperti itu menjadi tidak tepat dan menjadi dugaan (baca: pemahaman) yang rancu. Inilah yang saya maksud dengan kerancuan pemahaman intrateks.

Di sisi lain, teks-teks agama yang mengindikasikan keberadaan posisi Tuhan bukan hanya surat Thaha: 5 di atas. Jika dalam sura Thaha: 5 menyuratkan posisi Tuhan ada di Arsy, surat Al-Hadid: 4 menyuratkan keberadaan posisi Tuhan di tempat lain, “Dia (Tuhan) bersama kalian di mana pun kalian berada.” (Al-Hadid: 4). Di lain teks, “Dia ada di langit”.

Jadi, di mana Tuhan? Di Arsy? Selalu bersama kita? Atau di langit? Atau, sosok Tuhan itu lebih dari satu, sehingga Dia ada di mana-mana? Atau teks-teks itu sebenarnya bermasalah karena memberikan informasi yang kontradiktif (kontradiksi interteks)?

Mengurai Teks Yang Membelenggu Tuhan

Ada beberapa teori untuk mengurai teks-teks semacam di atas. Namun bagi saya, takwil (ta’wil) adalah teori yang lebih bisa melakukan uraian itu. Takwil bisa diartikan sebagai pengalihan arti literal dari sebuah teks, untuk menemukan arti lain demi menghindari dua hal, pertama, menghindari kerancuan pemahaman intrateks. Kedua, menghindari (kesan) kontradiksi interteks.

Saya segaris dengan pendapat yang menyatakan bahwa, pada teks-teks Alquran dan hadis shahih, tidak akan mungkin terjadi kontradiksi interteks (Alquran dengan Alquran, hadis dengan hadis, atau Alquran dengan hadis) atau kerancuan pemahaman intratreks. Sebab, tidak mungkin pula, Tuhan menurunkan satu teks, pada saat yang sama menurunkan kontrateks-nya. Pun jika terjadi kontradiksi interteks, bisa jadi itu hanya kesan yang ditangkap nalar pembaca teks itu. Takwil barangkali bisa mencairkan kontradiksi interteks dan kerancuan pemahaman intrateks semacam itu.

Seperti disebutkan di atas, teks Alquran dalam surat Thaha: 5, “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy”, jika dipahami literal dan apa adanya, akan memunculkan dugaan-dugaan seperti tersebut di atas, di samping itu akan terkesan kontradiktif dengan beberapa teks, antara lain “Dia bersama kalian di mana pun kalian berada.” (Al-Hadid: 4) dan “Dia ada di langit” (HR Muslim, Nasa’i, dan Abu Daud dari Muawiyah bin Hakam).

Maka, dengan teori takwil, surat Thaha: 5 di atas bisa diartikan dan dipahami sebagai “Tuhan Yang Berkuasa atas Arsy”. Kata istawa (bersemayam) diterjemahkan dengan “berkuasa”. Arti itu bisa dipahami sebagai simbol kedigdayaan dan kekuasaan Tuhan yang tak terhingga dan tak terbatas atas segala sesuatu, bahkan terhadap Arsy yang merupakan simbol mahluk paling besar (a’dzam al-makhluqat).

Itu adalah pilihan termungkin di antara beberapa pilihan arti yang kurang sesuai dengan karakter-karkter (sifat-sifat) Tuhan. Jika teks itu tetap dipahami apa adanya, akan memunculkan dugaan-dugaan, seperti “Arsy adalah tempat tinggal Tuhan”, “sosok Tuhan yang terukur”, dan “sosok Tuhan yang terarah”, yang semua itu mempersonifikasikan Tuhan layaknya mahluk atau benda. Dan itu sama sekali bertentangan dengan sifat-Nya yang mukhalafah lil hawadits (tidak sama dengan mahluknya).

Sama seperti “perlakuan” terhadap surat Thaha: 5, demikian juga terhadap surat Al-Hadid: 4, “Dia (Tuhan) bersama kalian di mana pun kalian berada.”. Teks ini tidak semestinya dibiarkan dan dipahami apa adanya. Jika tidak, selain akan bertentangan dengan surat Thaha di atas, juga akan memendar pemahaman dan dugaan yang rancu. Mungkinkah, jika Dia ada di Arsy, dan pada saat yang sama Dia ada di bumi bersenyawa dengan manusia? Apakah Tuhan memiliki “sosok” lebih dari satu, tersebar di antara para manusia, dan selalu mengikuti di mana pun manusia berada? Dan “sosok” Tuhan itu tumbuh dan hilang bersama tumbuh dan matinya manusia?

Saya kira, dugaan-dugaan seperti itu tak tak benar ditujukan kepada Tuhan. Oleh karenanya, perlu ada pengalihan arti surat Al-Hadid: 4 tersebut ke arti lain, demi menghindari kerancuan pemahaman. Dan arti yang lebih mungkin (lebih pantas) adalah “Dia (Tuhan) akan selalu tahu di mana pun kalian berada, apapun yang kalian kerjakan, apa pun yang kalian pikirkan, dan apa pun yang kalian rasakan.” Katakanlah, teks itu berbicara tentang sifat Tuhan Yang Maha Tahu, dan bukan tentang keberadaan posisi-Nya. Saya kira, makna ini lebih positif dan mentahzihkan Tuhan dari personifikasi apapun.

Takwil juga semestinya diberlakukan untuk memahami hadis Nabi, “Tuhan kita selalu turun ke “langit dunia” pada tiga paruh malam terakhir.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Dari perspektif takwil, arti yang layak dari hadis itu adalah Allah akan menaburkan segenap rahmat kepada orang-orang yang mau menyisihkan sebagian malamnya untuk beribadah, tatkala sebagian orang terlelap dalam kegelapan malam. Waktu malam menjadi penekanan, karena bagi kebanyakan orang, saat itu adalah waktu tersulit untuk sekedar bangun, apalagi digunakan untuk beribadah.

Juga terhadap hadis Nabi, “Aku akan selalu bersama orang yang selalu ingat kepada-Ku. Jika orang itu melangkah kepadaku hanya sejarak satu jengkal, Aku akan melangkah kepadanya sejarak satu tangan. Jika orang itu melangkah kepadaku sejarak satu tangan, Aku akan melangkah kepada-Nya sejarak dua tangan. Jika orang itu mendekat kepadaku dengan berjalan, aku akan menyusulnya dengan berlari.” (HR Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah)

Arti termungkin dari hadis itu adalah, sesungguhnya rahmat dan karunia yang telah diberikan Tuhan dan telah dinikmati manusia, lebih besar dan lebih banyak ketimbang amal ibadah dan pengabdian manusia kepada-Nya.

Tuhan dan Simbol

Jika diperhatikan, beberapa teks Alquran (dan hadis), terutama yang berbicara tentang pribadi (dzat) Tuhan, lebih banyak berbentuk simbol, dalam arti tidak bisa langsung dipahami begitu saja apa adanya. Dikatakan simbol, sebab Dia menyampaikan titah-titah itu menggunakan “bahasa manusia”, tapi tidak layak disebut telah melakukan “aktifitas manusiawi”. Karena, jika Dia menggunakan “bahasa manusia” dan diklaim telah melakukan “aktifitas manusiawi”, maka Dia pun berhak diklaim sebagai mahluk, sebagimana manusia.

Barangkali itu bisa dipahami. Sebab, manusia tidak akan pernah tahu tentang “jati diri” Tuhan yang sebenarnya. Bahkan tahu, untuk sekedar terkelibat di pikiran atau terbesit di hati saja, Tuhan tidak akan pernah seperti yang diketahui, terpikirkan atau terbesit oleh manusia. Di dalam Alquran, disebutkan, “Tidak ada apapun yang serupa dengan-Nya. Dia yang Maha Mendengar dan Melihat.” (As-Syura: 11). Dan benarlah adagium “Jangan pernah berpikir tentang pribadi Tuhan, tapi berpikirlah tentang ciptaan Tuhan”. Adagium itu bukan soal larangan berpikir tentang Tuhan, tapi bicara tentang ke-Maha-an Tuhan yang tak tersentuh oleh pikiran manusia, sehebat apapun itu. Pikiran manusia hanya mampu menalar sebatas ciptaan-Nya.

Sebab itu, saat Tuhan hendak menjelaskan diri-Nya kepada manusia, Dia menggunakan “bahasa manusia”, agar mudah dipahami oleh manusia sendiri, namun tidak dengan “pemahaman manusiawi”. Ketika Tuhan menjelaskan diri-Nya “bersemayam”, “turun”, “melangkah” dan sebagainya, bahasa-bahasa itu tak layak dipahami sebagaimana memahami jika manusia yang melakukan itu. Dan bahasa takwil merupakan salah satu cara yang mungkin untuk memahaminya.

Takwil menjadi cara yang absah untuk memahami teks-teks agama, dan Tuhan sendiri yang mengabsahkannya. Perhatikan hadis qudsi di bawah ini…

Pada hari kiamat kelak, dikisahkan Tuhan berdialog dengan hamba-Nya. “Hai manusia, aku pernah sakit, kenapa Kau tidak menjenguk-Ku? Aku pernah kelaparan, kenapa Kau tidak memberi-Ku makanan? Aku pernah kehausan, kenapa Kau tidak memberi-Ku minuman?”

Dengan bingung, hamba tersebut berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa menemui-Mu dan menjenguk-Mu, memberi-Mu makanan dan minuman, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?!”

Lalu Tuhan menjawab, “Wahai manusia, tidakkah Kau tahu, hambaku si Fulan pernah sakit?! Tidakkah Kau tahu, hambaku si Fulan pernah kelaparan dan kehausan?! Aku tahu, Kau mengetahui semua kenyataan itu, hanya saja Kau tidak mau peduli. Padahal jika Kau mau peduli kepada mereka, niscara Kau akan menjumpai-Ku di sisi mereka.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Tuhan Dalam Bingkai Teks

4 June 2008 § Leave a comment


Di Mana Tuhan?

Beberapa teks literal Alquran dan hadis menyebut posisi Tuhan yang berdiam pada suatu tempat. Sebut saja teks yang barangkali sudah sangat populer dalam teologi Islam seperti di bawah ini,

“Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (Thaha: 5).

Rasul pernah mengajukan pertanyaan menguji kepada salah seorang sahabat, “Di mana Allah?” Sahabat itu menjawab, “Dia ada di langit”. Jawaban itu dibenarkan oleh Rasul. (HR Muslim, Nasa’i, dan Abu Daud dari Muawiyah bin Hakam).

Dan pada suatu waktu, Dia beranjak dari kediaman-Nya menuju ke tempat yang lain untuk suatu “keperluan”,

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.” (Al-Baqarah: 29).

Setelah itu, Dia kembali ke “peraduan-Nya”,

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy.” (Al-A’raf: 54. Ayat ini juga menjadi penggalan ayat dalam surat Yunus: 3).

“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kalian lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy.” (Ar-Ra’d: 2).

Dia bukan “sosok rumahan” yang hanya senang berdiam diri asyik di “dunia atas”, tapi kerap turun ke “dunia bawah”, sebagaimana penuturan Rasul,

“Tuhan kita selalu turun ke “langit dunia” pada tiga paruh malam terakhir, dan memberikan tiga penawaran; pertama, siapa saja yang mau berdoa kepada-Nya, akan Ia kabulkan. Kedua, siapa saja yang meminta kepada-Nya, akan ia berikan. Dan yang ketiga, siapa saja yang meminta ampun kepada-Nya, akan Ia kabulkan.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Dia juga selalu berjalan beriringan dengan kita, manusia, kapan pun dan di mana pun,

“Dia bersama kalian di mana pun kalian berada.” (Al-Hadid: 4).

Bukan hanya itu, Dia juga “bergaul” erat dengan kita. Sikap baik kita kepada-Nya, akan berbalas kebaikan melebihi kebaikan yang kita berikan,

“Aku akan selalu bersama orang yang selalu ingat kepada-Ku. Jika orang itu melangkah kepadaku hanya sejarak satu jengkal, Aku akan melangkah kepadanya sejarak satu tangan. Jika orang itu melangkah kepadaku sejarak satu tangan, Aku akan melangkah kepada-Nya sejarak dua tangan. Jika orang itu mendekat kepadaku dengan berjalan, aku akan menyusulnya dengan berlari.” (HR Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah).

Saking erat, tanpa kita sadari, Dia telah menyatu dengan jasad kita,

“Aku lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya sendiri.” (Qaf: 16).

Jadi, di mana Tuhan?

Tuhan bersemayam di Arsy… Tuhan melayang di langit… Tuhan ada di “langit dunia”… Tuhan berada dekat lebih erat ketimbang urat leher kita… Tuhan ada dalam ingatan kita… Tuhan ada di mana kita berada… Kita berada di mana Tuhan ada… Tuhan ada di mana-mana… Tuhan ada dalam lintasan teks…

*Tulisan ini akan dilanjutkan dengan versi urai pada posting selanjutnya dengan judul “Mengurai Teks Yang Membelenggu Tuhan”.

Makmum Fardu, Imam Sunnah. Makmum Sunnah, Imam Fardu.

29 May 2008 § 1 Comment


Saat masih di pesantren dulu, saya termasuk rajin shalat di masjid pesantren, walaupun tidak selalu ikut jamaah. Sebab, sering telat. Saat sudah sampai di masjid, jamaah sudah bubaran. Jika sudah begitu, saya mesti cari orang yang masih berdiri melaksanakan shalat, lalu menepuk pelan pundaknya, sebagai tanda saya bermakmum kepadanya. Namun, ada yang, sesaat setelah saya tepuk pelan pundaknya, si orang yang dimaksud mengangkat tangan kanannya. Saya berpikir, dia melakukan itu barangkali sebagai isyarat yang dilakukannya bukan shalat fardu, tapi shalat rawatib ba’diyah, sehingga tak sah untuk dimakmumi. Ya sudah, saya tidak jadi shalat berjamaah. Walaupun tidak menganggapnya benar, namun pada saat yang sama saya juga tidak punya argumen untuk menyatakan salah.

Saat kuliah, barulah tahu, bahwa kasus seperti itu adalah persoalan khilafiyah.

Mazhab Maliki dan Hanafi menganggap tidak sah shalat sang makmum yang berbeda jenis dengan shalat sang imam. Tidak sah shalat fardu seseorang yang bermakmum kepada imam yang shalat sunnah. Juga sebaliknya. Atau, misalkan, meng-qadla shalat dzuhur dengan bermakmum kepada orang yang shalat ashar. Makmum yang ada dalam shalat-shalat tersebut, menurut dua mazhab tersebut, tidak dianggap sah shalatnya. Bagi mereka, jelas, disebut imam karena harus diikuti oleh makmum, tidak hanya perilaku shalat, tapi juga niatnya (jenis shalat). Dalam shalat jamaah, jenis dan perilaku shalat antara imam dan makmum harus selaras.

Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan Anas bin Malik yang disebutkan,

“Seseorang dijadikan imam karena memang untuk diikuti. Jika dia bertakbir, maka kalian juga harus bertakbir. Jika ruku’, kalian pun harus ikut ruku’. Jika duduk (tahiyyat), kalian juga harus ikut duduk. Pun, ketika sang imam shalat dalam posisi berdiri, kalian juga harus bermakmum dalam posisi berdiri.”[1] (HR Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Daud, dan Ibnu Majah).

(Dalam riwayat lain disebutkan “jika imam shalat dalam posisi duduk, maka kalian juga bermakmum dalam posisi duduk”)

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,

“Seseorang dijadikan imam karena memang untuk ikuti. Maka, kalian jangan sampai berbeda dengannya.”[2]

Bagi Mazhab Maliki dan Hanafi, kedua hadis tersebut sudah cukup untuk menjelaskan keharusan persamaan shalat antara imam dan makmum, baik jenis maupun perilaku shalatnya.

Namun tidak demikian dengan Mazhab Syafi’i. Menurutnya, shalat sang makmum tetap sah, walaupun berbeda jenis dengan shalat si imam. Imam Syafi’i memberikan pandangan yang berbeda dengan Imam Malik dan Abu Hanifah terhadap kedua hadis di atas.

Manurutnya, maksud “Seseorang dijadikan imam karena memang untuk ikuti” dalam hadis tersebut adalah hanya diikuti perilaku lahiriah shalatnya, bukan niatnya. Penyebutan “Jika dia (imam) bertakbir, maka kalian juga harus bertakbir…” menguatkan maksud tersebut.

Dan maksud “kalian jangan sampai berbeda dengannya” adalah “berbeda perilaku lahiriah shalat antara imam dan makmum”. Maksdunya, ketika imam ruku, makmum juga ikut ruku’, tidak boleh melakukan gerakan lain yang berbeda dengan imam. Dan dalam hadis tersebut juga tidak disebutkan imam dan makmum harus sama dalam niat shalat masing-masing.

Maka, bagi Mazhab Syafi’i, sah-sah saja kita bermakmum kepada imam yang berbeda shalat, baik dari sisi waktu (fardu dengan fardu) atau jenis shalat (antara fardu dengan sunnah). Misalkan, shalat isya kita bermakmum kepada orang yang shalat sunnah ba’diyah isya atau shalat tarawih. Atau, kita shalat sunnah dengan bermakmum kepada imam yang shalat fardu. Atau, kita meng-qadla shalat dzuhur dengan bermakmum kepada orang yang shalat ashar. Shalat kita pada kondisi-kondisi demikian tetap sah dan tetap mendapat pahala berjamaah.

Dari dua pendapat di atas saya sendiri lebih condong kepada pendapat yang diajukan Imam Syafi’i, yang memperbolehkan shalat fardu bermakmum kepada imam yang shalat sunnah, atau sebaliknya. Hal ini dikuatkan dengan kisah sahabat Mu’az bin Jabal yang diceritakan oleh Jabir bin Abdillah dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam karyanya Shahih Muslim.

Suatu hari, Mu’az bin Jabal shalat isya berjamaah bersama Rasulullah shallallah ‘alaihi wasallam. Setelah selesai, Mu’az pergi mendatangi masyarakatnya (Bani Salamah), dan kebetulan saat itu masyarakat Bani Salamah masih menjalankan shalat isya berjamaah, kemudian Mu’az langsung masuk dalam shaf shalat tersebut. Dalam riwayat Imam Daruquthni disebutkan bahwa yang dilakukan oleh Mu’az adalah shalat sunnah. Atau mungkin saja, Mu’az masuk ke shaf kembali untuk melaksanakan shalat isya. Keikutsertaan kita dalam shalat yang sama yang sudah kita kerjakan (seperti yang dilakukan oleh Mu’az), maka hukum shalat itu adalah sunnah.

Jika yang dilakukan Mu’az adalah shalat isya, maka itu adalah salah satu contoh perpaduan shalat fardu dengan shalat sunnah. Dan itu sah, dalam mazhab Imam Syafi’i. wallahu a’lam bis shawab.

___________________________________________________________________________________

[1] إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا

[2] إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ

Perempuan Haid Boleh Memegang Mushaf dan Membaca Alquran

28 May 2008 § 2 Comments


Saat perempuan haid, sebagian kita meyakini bahwa ia tidak boleh memegang mushaf dan membaca Alquran. Bagaimana, jika perempuan itu adalah penghafal Alquran pemula, yang masih setiap saat harus berinteraksi (menghafal atau mengulangi hafalan) dengan Alquran?

Tentang Wanita Haid Membaca Alquran

Apa diyakini tentang larangan wanita haid (juga orang junub) membaca Alquran itu, sesungguhnya adalah masalah khilafiyah. Khilafiyah itu muncul sebab perbedaan sikap para ulama terhadap hadis-hadis yang menyatakan larangan tersebut, yaitu hadis riwayat Imam Tirmizi dan Ibnu Majah dari sahabat Ibnu Umar, hadis riwayat Imam Tirmizi dari sahabat Ali, serta atsar riwayat Imam Tirmizi dari sahabat Jabir. Berikut hadis-hadis tersebut,

Riwayat Imam Tirmizi dan Ibnu Majah,

Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Wanita haid dan orang yang junub tidak boleh membaca (walaupun satu ayat) Alquran.”[1] — (silsilah periwayat: Ibnu Hujr & al-Hasan bin Arafah dari Ismail bin Ayyash dari Musa bin Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu Umar)

Riwayat Imam Tirmizi

Ali ia berkata, “Dalam keadaan apapun, selain junub, Rasul shallallah ‘alaihi wasallam selalu membacakan Alquran kepada kita.[2]

Riwayat Imam Tirmizi,

Jabir berkata, “Wanita haid dan nifas serta orang junub tidak boleh membaca Alquran.”[3]

Demikian hadis-hadis, dengan matan (teks hadis) yang berbeda, yang menunjukkan larangan wanita haid dan orang junub membaca Alquran. Namun, hadis-hadis di atas tidak ada yang shahih (valid) satu pun. Semuanya dla’if (lemah). Titik lemah hadis riwayat Imam Tirmizi dan Ibnu Majah pada Ismail bin Ayyash.

Imam Bukhari menyatakan, riwayat Ismail bin Ayyash bisa shahih, bisa juga dlaif, tergantung dari mana ia meriwayatkannya. Riwayatnya shahih, bila ia menerima hadis itu dari Ahl al-Syam (ulama Syam). Dan dlaif, bila ia menerimanya dari Ahl al-Hijaz (ulama Hijaz). Hadis Ibnu Umar di atas, Ismail bin Ayyash meriwayatkannya dari Musa bin Uqbah, orang dari Hijaz. Oleh karenanya, hadis Ibnu Umar di atas dlaif dan tidak bisa dijadikan hujjah (dalil).

Dan titik lemah riwayat Imam Tirmizi selanjutnya adalah pada salah seorang periwayatnya, yaitu Abdullah bin Salamah (al-Muradi al-Kufi). Imam Bukhari menyatakan, la yutaba’ haditsuh (hadis Abdullah bin Salamah tidak patut diikuti). Sedangkan titik lemah riwayat Imam Tirmizi pada salah satu periwayatnya, yaitu Yahya (Yahya bin Abi Anisah). Imam Bukhari, dalam karyanya, al-Tarikh al-Kabir, menyebutnya laisa bi dzaka (“laisa bi dzaka” adalah salah satu bentuk redaksi jarh – penialaian minus), yang mengindikasikan riwayatnya dla’if.

Perbedaan sikap dan pandangan para ulama terhadap hadis-hadis dlaif di atas itulah yang menyebabkan mereka berbeda pendapat (juga) mengenai kandungannya. Imam Bukhari, seperti dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam karyanya, Fath al-Bari (kitab ulasan Shahih Bukhari), memandang hadis-hadis di atas tetap saja tidak shahih, tidak bisa dipakai untuk dalil. Maka, ia termasuk ulama yang memperbolehkan wanita haid dan orang Junub membaca Alquran. Pendapatnya diperkuat dengan dengan hadis Aisyah.

Suatu ketika, Aisyah pergi haji bersama Rasul. Di tengah-tengah pelaksanaan haji itu, Aisyah haid. Hal ini membuatnya menangis sedih. Sebab, merasa hajinya pada tahun itu batal. Melihat Aisyah menangis, Rasul berkata kepadanya,

“Itu (haid) sudah menjadi ketentuan Allah untuk perempuan. Tetap lakukan saja, apa yang dilakukan oleh para jamaah haji yang lain, selain thawaf, kecuali setelah kamu suci dari haid itu.”[4]

Atas dasar hadis ini Imam Bukhari berkesimpulan, bahwa wanita haid (juga orang junub) boleh membaca Alquran. Argumentasinya, ibadah haji memuat ragam zikir dan doa. Dan itu tidak dilarang oleh Rasul bagi wanita haid dan orang junub, kecuali thawaf, seperti disebut oleh hadis di atas. Larangan thawaf ini semata karena ia adalah shalah makhshushah (ibadah tersendiri), yang disyaratkan harus suci dari hadas. Selain thawaf, semua ritual haji, yang berupa zikir dan doa itu, boleh dilakukan oleh wanita haid dan orang junub. Dan membaca Alquran jika ia adalah sebagai “zikir”, maka diperbolehkan bagi wanita haid dan orang junub, sebagaimana Rasul memperbolehkan ritual-ritual haji (selain thawaf) bagi Aisyah yang sedang haid.

Dan membaca Alquran, jika ia adalah “ibadah tersendiri” yang disyaratkan suci dari hadas besar saat melakukannya, maka harus ada dalil yang menunjukkan hal itu. Dan dalilnya memang ada, namun tidak ada yang shahih satu pun, seperti telah dijelaskan di atas.

Imam Bukhari juga melandaskan pembolehan itu dengan hadis lain, yang juga diriwayatkannya sendiri (juga diriwayatkan oleh Imam Muslim),

Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallah ‘alaihi wasallam selalu berzikir kepada Allah setiap saat.”[5]

Menurutnya, zikir Rasul tersebut bersifat umum, baik dengan Alquran atau zikir-zikir lainnya. Dan dilakukan setiap saat, termasuk saat beliau dalam keadaan junub.

Di kalangan shahabat yang berpendapat bahwa orang junub boleh membaca Alquran adalah Ibnu Abas. Imam Bukhari juga menukil ucapan Ibrahim bin Yazid bin Qais al-Nakha’i, seorang ulama generasi tabi’in, yang mengatakan bahwa wanita Haid boleh membaca Alquran (ini juga diriwayatkan oleh Imam Darimi). Dengan menukil ucapan Ibrahim al-Nakha’i ini, Imam Bukhari hendak menjelaskan bahwa larangan wanita haid membaca Alquran tidak mujma’ ‘alaih (bukan kesepakatan para ulama).

Termasuk dari generasi tabi’in lain yang membolehkan orang junub membaca Alquran adalah Ibnu Musayyab dan Ikrimah. Ulama lain yang memperbolehkan wanita haid dan orang junub membaca Alquran adalah Imam Thabari.

Dalam catatan Ibnu Hajar, Imam Malik mengatakan, bahwa wanita haid boleh membaca Alquran, tapi tidak dengan orang junub. Dengan alasan maslahah, yaitu untuk menjaga hafalan Alquran. Sebab, masa haid bagi perempuan yang relatif panjang, jika larangan itu diberlakukan, akan mengganggu hafalan Alquran-nya. Sebab, menghafal Alquran adalah hal yang tidak mudah, dan lebih tidak mudah lagi menjaga dan mempertahankan hafalan itu. Berbeda dengan orang junub, yang tidak perlu menunggu berhari-hari untuk suci.

Berbeda dengan sikap Imam Bukhari dalam menyikapi hadis-hadis (dlaif) di atas, walaupun hadis yang menunjukkan larangan wanita haid dan orang junub membaca Alquran semuanya berstatuf dlaif, namun tetap bisa dijadikan dalil (yashluh an yutamassak bih). Walaupun semua berstatus dlaif – dan sebagian hadis kadar ke-dlaif-annya tidak parah – tapi masing-masing saling menguatkan (atau dalam ilmu hadis disebut dengan hadis hasan lighairih/hadis dlaif berubah status menjadi hadis hasan karena faktor eksternal). Sehingga, larangan wanita haid dan orang junub membaca Alquran tetap berlaku. Termasuk ulama yang berpendapat demikian, adalah Sufyan al-Tsauri, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ishak.

Namun, Imam al-Nawawi, yang mengulas kitab Shahih Muslim karya Imam Muslim, membedakan antara “membaca Alquran” dan “zikir dengan ayat Alquran”. Dan yang dilarang, menurutnya, adalah “membaca Alquran”. Sehingga, sekedar membaca alhamdulillah atau bismillahirahmanirrahim dengan niat “membaca Alquran”, bagi wanita haid dan orang junub tetap tidak boleh, karena ia bagian dari Alquran. Dan bila hanya niat “zikir”, maka tidak ada larangan.

Tentang Memegang Mushaf.

Imam Malik, dalam karyanya al-Muwaththa, meriwayatkan hadis,

Dari Imam Malik, dari Abdillah bin Abi Bakr bin Hazm, dia berkata bahwa di dalam surat Rasul yang beliau kirim untuk Umar bin Hazm tertulis, “Tidak boleh menyentuh mushaf Alquran kecuali orang suci dari hadas.”[6]

Hadis riwayat Imam Malik ini mursal (tanpa melalui sahabat), sebab Abdillah bin Abi Bakr bin Hazm adalah seorang tabi’in. Namun, hadis ini masyhur dan bisa dijadikan dalil larangan memegang mushaf bagi yang tidak suci dari hadas. Ulama-ulama yang berpendapat demikian, dari golongan sahabat antara lain, Ali bin Abi Tahlib, Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, Sa’id bin Zaid.

Dari ahli fikih, antara lain Imam Malik dan Imam Syafi’i. Namun, menurut Imam Malik yang diriwayatkan oleh Ibnu Qasim, boleh memegang mushaf Alquran tanpa bersuci, dengan catatan dalam keadaan darurat, yang tidak memungkinkan untuk bersuci dari hadas, sedangkan kebutuhan untuk memegang mushaf atau membaca Alquran dengan harus memegang mushaf tidak bisa dielakkan. Dalam kehidupan sehari-hari, contoh keadaan darurat, kaitannnya dengan mushaf Alquran, tentu banyak.

Sedangkan dari Mazhab Hanafi, terdapat riwayat dari Abu Hanifah sendiri yang masih diperselisihkan. Satu riwayat menyebutkan, bahwa boleh memegang mushaf bagi orang yang berhadas. Ini juga menjadi pendapat beberapa ulama, dari golongan sahabat antara lain Ibnu Abas. Dan dari golongan tabi’in antara lain Imam Sya’bi. Riwayat yang lain, meyebutkan, boleh memegang mushaf, namun terbatas pada cover-nya, tepi mushaf, dan bagian mushaf yang tidak ada tulisan ayatnya. Sedangkan untuk tulisannya sendiri, harus suci dari hadas. Jadi memegang mushaf Alquran yang lazim kita punya, dalam keadaan hadas tidak mengapa.

Sedangkan ayat Alquran dalam surat al-Waq’iah ayat 79 (la yamussuhu illa al-muthahharun/tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan) bukan dalil larangan menyentuh Alquran bagi yang tidak suci. Al-muthahharun (hamba-hamba yang disucikan) yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah para malaikat, seperti yang dijelaskan pada surat ‘Abasa ayat 13-16 (Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan. Yang ditinggikan lagi disucikan. Di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti). Demikian, penjelasan Imam Malik, dalam kitabnya, al-Muwaththa.

Kesimpulan

Agama Islam dan sikap keberagamaan dalam Islam adalah mudah tidak ada kesulitan di dalamnya, dengan catatan, untuk bisa meraih kemudahan itu tentu saja harus dengan pemahaman tentangnya secara komprehensif atas dasar yang dapat dipertanggung-jawabkan. Ia mudah, namun bukan untuk dimudah-mudahkan tanpa tanggung jawab. Ber-Islam tanpa memahaminya secara komprehensif, akan menimbulkan dua ekses yang sama-sama tidak baik, yaitu pertama, sikap mempersulit dari diri sendiri. Kedua, sikap menggampangkan permasalahan tanpa dasar yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Pendapat Imam Bukhari dan ulama yang sependapat dengannya, tentang kebolehan wanita haid membaca Alquran, dan pendapat jumhur yang menyatakan larangannnya, masing-masing ada penjelasan ilmiahnya. Namun, dalam tradisi fikih, bila ada perbedaan pendapat semacam ini, selalu ada al-qaul al-rajih (pendapat yang unggul, namun tidak menafikan yang lain), dan itu terjadi setelah dilakukan analisis perbandingan antara dua pendapat yang berbeda itu.

Namun, khusus untuk masalah darurat seperti yang dilukiskan di atas, dalam pandangan penulis itu adalah sebuah contoh kasus “darurat” (yaitu ada tuntutan sangat kuat untuk menjaga hafalan Alquran yang telah dihafal, dan khawatir rusak jika tidak di-takrir), yang tidak bisa disentuh dengan pendekatan dalil-dalil di atas. Pendekatan yang bisa dilakukan adalah pendekatan “darurat”. Dalam Islam, keadaan darurat memiliki signifikansi tertentu dalam pembentukan sebuah hukum. Pada masalah ini, dalam fikih dikenal sebuah kaidah al-dlarurat tubihu al-mahdzurat/Dalam keadaan darurat, hal-hal yang sebenarnya dilarang menjadi boleh dilakukan. Wallahu a’lam bish shawab.


[1] عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَقْرَأْ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآن.

[2] عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ عَلَى كُلِّ حَالٍ مَا لَمْ يَكُنْ جُنُبًا.

[3] عَنْ جَابِرٍ قَالَ: لَا يَقْرَأْ الحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ وَلَا النُّفَسَاءِ الْقُرْآنَ.

[4] فَإِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ، فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي.

[5] عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

[6] عَنْ مَالِك عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ أَنَّ فِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with artikel islami at Warung Nalar.

%d bloggers like this: