Kimya Kaymiasada

25 November 2011 § 1 Comment


Anakku, kelak, jika dewasa, kamu perlu membaca ini.

Ini hanya tentang namamu.

Nama depanmu Kimya. Menurut bahasa Swahili (bahasa yang digunakan di sepanjang 1.500 km garis pantai Afrika Timur), Kimya berarti hening. Dan hening lebih dekat kepada malam. Maka, tepatlah nama itu untukmu; kamu lahir lima menit menjelang tengah malam saat satu belahan dunia berselimut gelap dan kebanyakan orang tengah terlelap.

Tapi, itu hanya kebetulan. Bukan karena lahir menjelang tengah malam yang hening lalu kamu diberi nama Kimya. Ilham sesungguhnya nama itu dari tokoh utama di novel berjudul « Read the rest of this entry »

Bakar

5 January 2011 § 1 Comment


Kemenangan adalah anak dari banyak orangtua yang masing-masing akan bertepuk dan menepuk dada, kata penyair Goenawan Mohamad. Sebagian bertepuk dan menepuk dada karena hanya itu yang bisa dilakukan untuk mengekspresikan kesenangan. Spontan. Kepentingannya hanya karena mereka senang dengan kemenangan tersebut. Sebagian yang lain, selain senang karena kemenangan, juga karena berkepentingan memanfaatkan efek kemenangan itu: ketenaran. Dan Timnas hanya hampir di puncak kemenangan—yang pada akhirnya pun hanya hampir—saat ketenarannya di AFF CUP 2010 lalu dimanfaatkan oleh mereka yang punya kuasa dan harta (sampai mereka yang merasa punya kekuatan doa), seakan tahu jika Timnas tidak akan sampai di puncak kemenangan. Maka, segera saja. Mumpung. « Read the rest of this entry »

Kejutan 2009 Yang Membuatku Lemas Mendadak

2 January 2009 § 3 Comments


Tahun 2009 yang masih tercium aroma barunya ini, memancarkan bahagianya untukku, namun seketika menjadi kejutan yang membuatku lemas mendadak.

Berawal dari sebuah Eksotopi (Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas)-nya Goenawan Mohamad, buku yang aku dapatkan dengan segenap keluguan dan kenaifan mahasiswa semester pertama, di tahun 2002. Biarlah tak dapat menaksir kira-kira tentang apa isinya, pula belum tahu siapa itu Goenawan Mohamad, tetap dibelilah saja buku itu, di sebuah bazar di kampus. Benar saja, jangankan mengira isinya, bahkan ketika berusaha membacanya, waktu itu, terbesit penyesalan telah membelinya. Aku biarkan reaksi spontan itu mengalir, kemudian menguap, dan akhirnya hilang sama sekali. Eksotopi lalu aku tempatkan di sudut paling sulit dijangkau, di sebuah rak buku, mengisyaratkan keengganan untuk menyentuhnya.

Saat ini, enam tahun kemudian, aku sadari, gengsiku untuk membeli Eksotopi dengan penuh keluguan, waktu itu, hanyalah penempatan waktu yang kurang tepat, di mana nalar dan pengetahuan belum mampu mengimbangi keluar-biasaan, kenjlimetan, kedalaman buku kumpulan esai sastra itu. Ia bukanlah bacaan ringan untuk seorang mahasiswa baru yang lugu, meski tak bepretensi untuk mengatakan, saat ini pun aku telah dengan mudah begitu saja melahapnya. Eksotopi masih tetap terpandang njlimet dan tak ringan, hanya saja aku telah memiliki ke-pede-an untuk melahapnya, meski harus dengan mengunyahnya berulang-ulang berkali-kali, pelan-pelan. Dan setelah itu pun, pada satu esai (Eksotopi terdiri dari sebelas esai, yang masing-masing berisi lebih dari sepuluh halaman. Eksotopi sendiri salah satu judul tulisan yang kemudian dipilih menjadi judul buku), misalnya, hanya sekian kalimat yang nyangkol, saking dalam substansi yang disampaikannya, dengan kalimat yang njlimet penuh kiasan.

Justeru, kenjlimetan – dalam kamus pribadiku, “njlimet” artinya kalimat indah yang tak sekali lirik langsung dimengerti – itulah yang membuatku terpesona pada setiap tulisan Goenawan Mohammad. Aku semakin tertarik untuk mengakhiri setiap esai di Eksotopi, kemudian bersegara melanjutkan pada esai selanjutnya. Dan, “Caping” alias “Catatan Pinggir” yang menjadi trademark Goenawan Mohamad alias GM, adalah halaman paling akhir Tempo yang paling awal aku tuju, jika kebetulan membacanya. Sama, seperti jika mambaca Eksotopi-nya, biar pun tak mampu memahami sepenuh substansinya, paling tidak aku bisa menikmati – sekaligus belajar – bagaimana GM memilih diksi kemudian merangkaikannya, menjadi “kalimat indah yang tak sekali lirik langsung dimengerti”.

Di tengah aku betekun ria dengan Eksotopi, aku seolah diingatkan, pada tahun 2007, GM merilis buku terbarunya berjudul “Tuhan & Hal-Hal Yang Tak Selesai”, berisi “99 esai amat pendek yang ditulis di masa yang seperti kita alami sekarang, ketika Tuhan tak bisa ditolak dan agama terus bertambah penting dalam hidup orang banyak, memberi kekuatan, menerangi jalan, tapi juga membingungkan dan menakutkan”, begitu deskrpisi singkat tertulis tentang buku itu di sampul belakangnya. Sebelum menekuni Eksotopi, “Tuhan” belum menjadi apa-apa bagiku. Hanya sebatas tahu, itulah buku terbaru GM. Cukup. Tak terbesit secuil pun untuk memilikinya. Namun, pesona GM dalam Eksotopi yang sedang aku tekuni, menggodaku untuk segera memiliki “99 esai amat pendek”-nya itu, kemudian segera menikmatinya.

Maka, sejak pertengahan November (2008) silam, aku memulai perburuan 99 esai amat pendek itu, bolak-balik ke Plaza Bintaro dan Pondok Indah Mall di mana Gramedia (terdekat) berada. Namun, sesering aku mondar-mandir ke dua tempat itu, sesering itu pula aku harus kecewa. Sekali aku datang, buku itu telah habis. Selanjutnya, aku kembali datang seraya berharap buku itu sudah ada. Tapi ternyata tidak. Dan seperti itu selalu, selanjutnya. Harapan datang, ditumbangkan oleh kekecewaan.

Sampai akhirnya, 2009 menjelang, merilis hari pertamanya, 1 Januari yang jatuh di hari Kamis. Ketika sebagian kawan memilih bertamasya ke tempat-tempat hiburan yang tentu akan sangat menyenangkan hati, untuk membunuh hari libur itu, aku lebih asyik ke Gramedia saja. Di Gramedia, bukan hanya hati saja yang senang, tapi nalar pun ikut senang, sebab dimanjakan oleh buku-buku dengan ragam tema yang bisa pilih sesuai kecenderungan, dan dibaca di tempat. Nah, kebahagiaan di tahun baru itu, memancar dari pojok sastra Gramedia Pondok Indah Mall. Tak disangka, ternyata “Tuhan & Hal-Hal Yang Tak Selesai”, yang selama ini aku nantikan keberadaanya, telah berderet rapi di antara buku-buku sastra. Seketika aku raih buku itu, kemudian menuju kasir untuk kutukar dengan lembar-lembar rupiah.

Itulah kebahagiaan yang dipancarkan tahun baru untukku. Seolah, “Tuhan & Hal-Hal Yang Tak Selesai” memang menjadi takdirku, hadir dengan cara yang mengejutkan, dengan memilih hari perdana di tahun 2009, agar ada efek momentum di sana. Kepada kawan, aku sempat merayakan momentum itu, dengan mengirim sms, “Ngalkamdulillah wacukurilah, “Tuhan & Hal-Hal Yang Tak Selesai”-nya Goenawan Mohamad ada juga.”

Adapun kejutan yang membuatku lemas mendadak, yang menjadi tema coretan ini, terjadi saat aku sudah sampai di rumah, yaitu “Tuhan & Hal-Hal Yang Tak Selesai” yang baru aku dapatkan itu ternyata edisi bahasa Inggris! Seketika aku mengekspresikan keterkejutanku itu dengan mengucapkan kalimah thayibah: Astaghfirullah! Innalillah!, yang kemudian dilanjutkan dengan ekspresi keterkejutan lokal: Asem! Jangkrik! Kurang ajar! Sialan! Entah kepada siapa ekspresi itu aku tujukan.

Masalahnya, semesta alam, dari ujung kulon sampai ujung wetan, dari sabrang kidul sampai sabrang lor, dari ujung langit sampai dasar bumi, dari kolong dunia sampai pojok akhirat juga paham, jika aku tidak pandai bahasa Inggris. Memahami tulisan Goenawan Mohamad yang berbahasa ibu saja mesti dengan segenap daya dan mringis-mringis, apalagi yang berbahasa Inggris! Dulu sekali, aku memang pernah kursus bahasa itu. Dipikir sepertinya itu bukan duniaku, aku cuma bertahan tiga bulan. Cabut.

Tapi, sebagaimana aku dulu mendapatkan Eksotopi, mungkin “Tuhan & Hal-Hal Yang Tak Selesai” edisi Inggris itu “hanyalah penempatan waktu yang kurang tepat”. Maka, untuk sementara buku itu akan aku “tempatkan di sudut paling sulit dijangkau, di sebuah rak buku, mengisyaratkan keengganan untuk menyentuhnya”, seraya memburu edisi Indonesianya.

Ah, betapa naifnya aku. Dan, silakan tertawa untuk kenaifanku itu.[jr]

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with goenawan mohamad at Warung Nalar.

%d bloggers like this: