Mimpi Bertemu Nabi
14 August 2012 § 35 Comments
Orang yang melihatku dalam mimpi sesungguhnya benar-benar telah melihatku. Sebab, setan tak mampu menyerupaiku. Demikian sabda populer Nabi yang diriwayatkan oleh para imam hadis, di antaranya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Jika yang bermimpi melihat Nabi adalah para sahabat maka dipastikan mereka benar-benar melihat Nabi. Mereka hidup sezaman dengan Nabi dan tentu saja mengenali betul ciri-ciri fisik Nabi. Begitu juga mungkin dengan tabiin, generasi yang hidup semasa dengan sahabat tapi tak sempat melihat Nabi. Mimpi mereka bisa diverifikasikan kepada para sahabat. Yang sulit diverifikasi adalah jika yang bermimpi itu generasi setelah tabiin, generasi sesudahnya, generasi berikutnya, terus, terus, terus sampai generasi kita, generasi sesudah kita, terus, dan seterusnya. Generasi yang tak punya referensi empiris tentang sosok Nabi.
Satu-satunya referensi tentang sosok Nabi bagi generasi tersebut adalah riwayat-riwayat yang mendeskripsikannya. Dalam beberapa riw « Read the rest of this entry »
Tuhan dan Setan
18 July 2012 § Leave a comment
Tuhan berkata bahwa diri-Nya lebih dekat kepada manusia dibanding urat leher manusia sendiri.1
Nabi berkata bahwa aliran darah adalah tempat berkeliaran setan dalam diri manusia.2
Oh, betapa Tuhan dan setan begitu dekat melekat pada diri kita, sampai-sampai, jangan-jangan perbuatan baik kita ter « Read the rest of this entry »
Lalu Lahirlah Ilmu
24 January 2011 § Leave a comment
Saya pandangi dengan bangga. Rak-rak itu telah tersusun sempurna, dan buku-buku baru saja tertata. Di sisi kanan adalah buku-buku berbahasa Arab, kebanyakan literatur ilmu keislaman pokok berisi teori-teori rumit. Di antara berjilid-jilid literatur itu, satu mushaf-Al-Quran kecil nyempil. Sebentar saya termenung, kemudian segera teringat kisah Umar ibn Khathab …
Pada suatu malam yang serius, seseorang mengetuk pintu rumah Umar. “Apakah Umar sudah tidur?” tanya orang itu kepada si pembuka pintu. Si pembuka pintu belum sempat menjawab ketika Umar menuju pintu dengan segera dan bertanya kepada orang itu, “Ada apa? Kau ingin mengabarkan kedatangan pasukan Ghassan?” « Read the rest of this entry »
Kidung Malam Jumat
10 May 2009 § 1 Comment
Iqamah sembayang Maghrib di langgar yang hanya berjarak satu rumah di depan, biasa dilangsungkan sepuluh sampai lima belas menit setelah azan dikumandangkan. Pada jeda itu, muazin akan menembangkan kidung-kidung. Para jamaah yang telah hadir sebagian melakukan sembayang qabliyah, sebagian yang lain duduk bersila ikut menembangkan kidung, puji-pujian.
Pada Maghrib malam Jumat, kidung yang ditembangkan adalah tentang anjuran mendoakan sanak keluarga yang telah bersemayam di alam lain. Tak pernah diketahui siapa penggubahnya, yang jelas kidung itu telah ditembangkan turun temurun dan hampir semua warga kampung menghafalnya, dari tiyang sepah (orang tua) sampai anak-anak madrasah. Tapi, apa pentingnya kidung semacam itu bagi anak-anak madrasah ingusan yang belum memiliki penghayatan itu kecuali sebagai ajang teriak-teriakan, lalu para orang tua akan menyentak mereka karena hanya mengumbar suara cempreng tak teratur.
Allahumma shalli ‘ala muhammad…
malem jumah ahli kubur tilik umah
nyuwun pandunga ayat quran sakalimah
anak putu ora pada ngaji
ngelus dada mbrebes mili
balik ning kuburan
awan bengi tangis-tangisan…
Setiap malam Jumat, ahli kubur, sanak keluarga yang telah di kubur akan menyambangi keluarganya yang masih hidup, mengharap doa dari mereka meski hanya satu ayat Alquran. Tapi sayang, mereka tidak ada yang mau membacanya. Ahli kubur sedih mengusap dada melihat mereka demikian. Ia kembali ke kubur membawa kekecewaan. Di sana, siang malam ia menangis, meratap…
Selepas sembayang jamaah di Maghrib malam Jumat itu, para orang tua akan mengurung anak-anak mereka di rumah. Tidak boleh ada aktifitas selain membaca Alquran untuk menjamu para ahli kubur yang sedang sambang. Setelah itu, para orang tua akan membebaskan anaknya bermain sepuasnya di luar atau menonton televisi (bagi yang punya televisi, zaman itu), sebab keesokan harinya mereka tidak belajar. Jumat adalah hari libur madrasah.
Para warga, khususnya yang berprofesi tukang ojek, paling takut jika menabrak kucing, apalagi jika si korban tewas seketika di lokasi kejadian. Pelaku penabrakan akan melakukan penguburan sebaik-baiknya pada korban tewas itu. Mereka punya keyakinan, jika kucing itu tak dikubur dengan baik, apalagi dibuang begitu saja, bakal membawa celaka. Sebab, kucing adalah hewan kesayangan salah seorang sahabat Kanjeng Rasul, Abu Hurairah.
Benarkah demikian? Apakah benar, sanak keluarga yang telah meninggal bakal menyambangi rumahnya di dunia? Apakah perlu dibenarkan orang yang punya keyakinan bahwa seekor kucing yang mati tertabrak bakal membawa celaka bagi pelakunya?
Ah, tentu saja tidak. Semua itu hanya bahasa simbol, cara untuk menyampaikan esensi sebuah pesan kearifan. Begitulah “wong ndeso”. Di balik kehidupannya yang bersahaja dengan pola pikir sederhana, mereka menyimpan kearifan mendalam yang telah mengakar, turun temurun menjadi pegangan. Dan, mereka memiliki cara unik beraroma mistik untuk menyampaikan kearifan itu.
Warga kampung barangkali akan takut jika diweden-wedeni bahwa kucing mati tertabrak yang tidak dikubur dengan baik akan membawa celaka pelakunya. Mereka lebih paham dan patuh dengan ancaman semacam itu ketimbang memahami sebuah esensi: agar bangkai kucing tak menimbulkan bau tengik yang akan mengganggu para pejalan kaki. Warga lebih bersedia dan bersemangat membaca Yasin di malam Jumat, mendoakan mbah-nya yang telah meninggal dengan diweden-wedeni bahwa si mbah sedang menjenguk, ketimbang karena kesadaran akan nilai kesalehan. Cara-cara seperti itu memang terkadang lebih mengena dan efektif mendorong seseorang untuk melaksanakan perintah atau anjuran.
Tak pernah diketahui dari mana warga menggali sumber kearifan itu dan memiliki cara unik menyampaikannya. Apakah hal itu memiliki keterkaitan dengan cara agama yang juga tak sedikit menggunakan bahasa simbol dalam menyampaikan esensi pesan, anjuran, perintah (melaksanakan atau meninggalkan), kemudian memengaruhi cara berpikir mereka? Mungkin saja. Sebab, agama—Kitab Suci dan Sabda Nabi—adalah pengajar terbaik ungkapan simbolis, terutama terkait dengan Tuhan dan ketuhanan. Tuhan yang sama sekali tak terjangkau pikiran manusia kerap hadir dalam bahasa manusiawi dengan tujuan membuka jalan agar manusia mampu menyentuh Tuhan dengan pikirannya, menjamah Tuhan dengan penghayatannya. Tuhan hadir dalam bahasa yang bisa dimengerti manusia. Dan tentu saja, bahasa tentang Tuhan hanyalah bayang-bayang Tuhan dan bukan esensi Tuhan itu sendiri.
Kita tahu, misal, Nabi yang pernah mengatakan bahwa pada sepertiga malam Tuhan selalu bertandang ke “langit dunia”, menyeru para penduduk bumi, “man yad’uni, fa astajibu lahu. Man yastaghfiruni, fa aghfiru lahu.” “Siapa yang berdoa, akan Kukabulkan. Siapa yang meminta ampunan, akan Kuberi.”
Tentu kita tidak akan memahami sabda itu bahwa Tuhan benar-benar hadir mengawang-awang di angkasa secara kasat mata, menyeru manusia dengan suara yang memecah keheningan sepertiga malam. Tak masuk akal (mustahil aqli) manusia dan tak layak bagi karakter ketuhanan, jika Tuhan melakukan itu. Dan nyatanya pada sepertiga malam tak pernah terdengar suara seruan kecuali tawa mengakak para insomniak, atau suara kipas dari mainboard komputer yang casing-nya telah rusak, atau hanya suara putaran jarum jam yang berdetak.
Sesuatu yang tak masuk akal, gaib, mistik, yang hadir dalam simbol-simbol, jika tak dipahami esensinya maka ia akan berhenti sekedar menjadi mitos—yang justru kerap menjadi daya dorong cukup kuat untuk melakukan perintah melakukan atau meninggalkan. Terdorong karena sebuah waktu dan tempat, atau karena iming-iming pahala atau weden-weden siksa, serangkai ritual barangkali pernah dilakukan. Pada saat seperti itu, penghambaan terhadap simbol sedang digelar. Mungkin karena sebuah esensi yang terlalu jauh.[jr]
Pada Ketenangan Jiwa
25 March 2009 § 2 Comments
Harta adalah harta. Pada dirinya, ia tidak mulia atau hina, baik atau buruk. Ia mati dan manusia menghidupkannya, untuk kemudian berada dalam kendali dan memberi arti atau justru menjadi tuan penguasa diri. Dengan harta, mampukah manusia menjadi hamba yang baik di hadapan Sang Pemilik, atau justru menjadi hamba harta dan mengabdi kepadanya.
Tutur kata Kitab Suci, “innama amwalukum wa auladakum fitnah. Wallahu ‘indahu ajr adzim.” “Harta dan anak-anakmu hanyalah materi ujian bagimu. Hanya di sisi Tuhan pahala yang besar”.
Begitulah hakikat harta dan segala pesona dunia. Sebagai ujian, ia ditimpakan kepada siapa saja, lintas strata, dan tanpa pandang bulu: cendekiawan, pejabat, agamawan, dan siapa pun yang tak terdefinisikan dalam titel dan sebutan. Masing-masing diuji dengan apa yang ada pada mereka. Yang kaya diuji dengan kekayaannya. Yang miskin diuji dengan kemiskinannya. Kekayaan dan kemiskinan bukanlah sesuatu apa. Keduanya hanya instrumen ujian, berada di garis yang sama dengan perbedaan semu.
Tutur Suci di atas tak hanya memastikan harta adalah ujian, namun juga menunjukkan, sesungguhnya harta – juga jenis kenikmatan duniawi lainnya – seberapa pun banyaknya, tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan Tuhan. Sebanyak apa pun harta yang dimiliki seseorang, ia tetap kecil di hadapan-Nya dan tidak kekal. Yang bernilai adalah apa yang ada di sisi Tuhan, yaitu ketika harta itu difungsikan dengan tepat, sesuai hak dan kewajiban yang diamanatkan pada harta itu, ketika sebagai intstumen ujian, seorang manusia berhasil lulus dengan baik.
Kesadaran memahami kehidupan dunia sebagai ujian semacam di atas perlu dibangun agar tak ada fitrah kemanusiaan yang tercerabut. Kitab Suci menyebutkan, “Ya ayuhalladzina amanu la tulhikum amwalukum wa auladukum ‘an dzikrillah. Waman yaf’al dzalik, faualaika hum al-khasirun.” ”Wahai orang-orang beriman, jangan sampai harta dan anak-anak yang Kau miliki melalaikanmu dari Tuhan. Siapa yang terlalaikan, itulah orang yang rugi.”
Karena itu, sikap terbaik dalam menjalani hidup adalah zuhud, asketis. Zuhud adalah sikap di mana harta dan kenikamatan duniwai tak menyilaukan mata dan membutakan hati. Sebaliknya, juga tak menjejakkan duka merana ketika segala kenikmatan tersebut dicabut dan tiada.
“Likaila ta’sau ‘ala ma fatakum, wala tafrahu bima atakum,” begitu tersebut dalam Kitab Suci. “Supaya Kau tak berduka pada apa yang telah luput darimu, dan tak terlampau gembira pada apa yang Ia beri untukmu.”
Sikap zuhud mengontrol manusia dari dalam jiwa. Yang hilang tak akan membuatnya meradang. Yang datang tak akan menjadikannya senang bukan kepalang. Sikap zuhud menemani manusia menjalani hidup dengan tenang bersama yang ada, bahkan dengan yang tiada.
“Kekayaan adalah ketenangan jiwa.” Yakni, tenang dengan apa, bagaimana, dan berapa pun yang ada, bahkan tenang ketika yang ada adalah ketiadaan.
Dipertemukan dengan suami yang gagah sekali atau tak gagah sama sekali, dijodohkan dengan istri yang ayu sekali atau tak ayu sama sekali, dikaruniai anak berbakat luar biasa atau biasa saja atau bahkan di luar kebiasaan, dianugerahi kekasih yang menawan sekali atau tak menawan sama sekali, diberi harta banyak sekali atau sedikit sekali, dan sebagainya dan seterusnya, atau bahkan tak dikarunia satu pun di antara semua itu, tetap saja pada akhirnya ada yang lebih ingin dicari dan dimiliki di balik semuanya: ketenangan jiwa.
Sebab, pada ketenangan jiwa, seseorang merasa cukup dan berhenti melakukan pencarian. Meski tak mudah.[jr]
Meretas Jalan Surga Dalam Buku
7 March 2009 § 1 Comment
Ada fakta menarik dalam literatur keislaman: puja puji para pakar terhadap bidang keilmuan yang ditekuninya – biasa disampaikan pada setiap mukadimah sebuah karya – bahwa bidang keilmuannya adalah yang terbaik, berada di atas pada skala prioritas.
Nahwu (Gramatikal Arab)
Jamaluddin bin Hisyam al-Anshari, penulis Mughni al-Labib – sebuah karya tingkat lanjut bidang nawhu atau gramatikal Arab yang ditulis lebih dari enam ratus lima puluh tahun silam – membuka kitabnya itu dengan mukadimah berhias aliterasi apik, berisi pujian terhadap gramatikal Arab yang menjadi kepakarannya. Perhatikan,
Fainna aula ma taqtarikhuhu al-qaraih
Wa a’la ma tanajjaha ila tahshilihi al-jawanih
Ma yatayassara bihi fahm kitabillah al-munazzal
Wayattadhihu bihi ma’na haditsi nabiyyih al-mursal
Fainnahuma al-wasilah ila al-sa’adah al-abadaiyah
Wa al-dzari’ah ila tahshil al-mashalih al-diniyah wa al-dunyawiyyah
Wa ashl dzalik ‘ilm al-i’rab
Al-hadi ila shaub al-shawab
Mukkadimah apik dengan aliterasi ciamik itu – ciri umum yang mudah dijumpai dalam banyak karya (utamanya klasik) berbahasa arab, sekaligus menjadi keunggulannya – tentu saja tak akan dibiarkan terkoyak oleh terjemahan yang tak memperhatikan aliterasi. Maka terjemahan bebas mesti dilakukan – dengan tak mengacu pada arti tekstual mukadimah itu, tapi melihat pada karya penjelas (hamisy) yang berada di sampingnya (hasyiyah). Berikut,
Apa yang paling mendorong nalar dan hati
Itulah ilmu yang memiliki kekuatan akurasi dan presisi
Sehingga memahami Alquran menjadi mudah
Dan memaknai hadis jadi tak payah
Di mana keduanya adalah jembatan menuju bahagia abadi
Jalan meraih maslahat duniawi dan ukhrawi
Itulah “ilmu i’rab” di mana kepadanya semua berpangkal
Ilmu petunjuk arah kebenaran tak tersangkal
Dan “ilmu i’rab” yang dimaksud adalah nawhu. Dari mukadimah itu, bisa dimengerti, memahami nahwu atau gramatikal Arab adalah dasar mutlak bagi para penekun Alquran dan hadis, dua hal yang kata Rasul, “lan tadhillu ma tamassaktum bihima”, “kalian takkan tersesat sepanjang berpedoman kepada keduanya”, karena di sanalah terhampar petunjuk meraih ketentraman alam dunia, di sanalah pedoman menuju alam selanjutnya tersedia.
Alquran dan hadis adalah dunia kalimat dan kata. Untuk mendalami keduanya, terlebih dahulu seseorang mesti memahami dunia kalimat dan kata itu, menekuni “ilmu i’rab“: satu instrumen keilmuan yang mampu membedah sampai pada setiap detil huruf, bahkan harakat (baris/bunyi huruf Arab) dengan tingkat akurasi dan presisi yang tinggi. Sebab, perbedaan bunyi harakat dalam bahasa Arab akan berpengaruh pada pemakanaan. Maka, bergulat dengan Alquran dan hadis, memiliki pisau bedah bernama “ilmu i’rab” adalah mutlak, untuk menghindari kesalahan dalam pemaknaan terhadap keduanya, mengingat ia adalah mata air hukum dan sumber legitimasi.
Pada konteks seperti itu, tentu nahwu adalah yang terbaik, “di mana kepadanya semua berpangkal”.
Ilmu Kalam (Teologi)
Kita tuju, selanjutnya, bidang keilmuan teologi atau akidah atau ilmu kalam. Kita tengok, misalnya, mukadimah sebuah kitab al-Husun al-Hamidiyah karya Sayid Husain Afandi. Di sana tertulis puja puji ini,
“…wahuwa ashl al-‘ulum al-diniyyah wa afdhaluha, likaunih muta’alliq bidzatillah ta’ala wadzati rusulihi ‘alaihim al-shalah wa al-salam. Wasyaraf al-‘ulum bisyaraf al-ma’lum.”
Kata penulisnya, “…ia (ilmu kalam) adalah pokok dan paling prioritas dari semua kajian keagamaan. Sebab, obyek kajian ilmu ini adalah entitas penuh kemuliaan: Tuhan dan para utusan-Nya. Dan, derajat kemuliaan sebuah ilmu ditentukan oleh obyek kajiannya.”
Mengkaji ilmu ini, para pencari ilmu akan memahami bahwa segala yang wujud pasti ada yang mencipta, mengerti bahwa Tuhan mengutus Rasul ke alam dunia untuk menyampaikan risalah ketuhanan.
Namun, ada hal kontras mengesankan diutarakan Imam al-Ghazali terkait bidang ini. Dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad, karyanya sendiri dalam bidang ini, ia menyatakan, ilmu ini tak wajib bagi setiap orang, bukan fardhu a’in, tapi sekedar fardhu kifayah, diharuskan ada sebagian orang yang tetap mendalami ilmu ini. Bahkan, menurutnya, ada orang-orang yang justeru tak dianjurkan mempelajarinya, tak diperkenankan ilmu itu diperkenalkan kepada mereka. Di antaranya adalah orang-orang yang cukup baginya percaya akan Tuhan dan Rasul, mengerjakan ritual-ritual keagamaan, tanpa paham namun bukan berarti ragu, kenapa semua itu mesti dilakukan.
Barangkali bisa dijadikan contoh adalah orang tua, nenek, atau kakek sebagian kita yang kepercayaannya atas Tuhan dan Rasul, serta ritual, misalkan, shalatnya, berdasarkan “pokoknya percaya Tuhan itu ada dan Muhammad adalah Rasul-Nya”, “pokoknya shalat itu wajib”, tanpa mampu menjelaskan dasar kenapa harus demikian. Jika dengan kondisi seperti itu mereka telah bisa merasa nyaman berislam dan beriman, maka tak dianjurkan ilmu kalam diperkenalkan kepada mereka, tak dianjurkan diajukan pertanyaan kepada mereka, kenapa Tuhan itu ada, kenapa Tuhan mesti mengutus rasul, dan sebagainya dan seterusnya, jika kemudian pertanyaan teologis semacam itu justeru membuat bingung mereka. Saya sendiri memiliki seorang embah putri yang sama sekali tak bisa baca Alquran, hanya hapal beberapa surat Alquran untuk kepentingan shalat, hapal bacaan shalat dan wirid rutin yang dibaca selepas shalat, tanpa sama sekali paham terjemahan apa yang dibacanya, apalagi memahaminya. Embah putri saya tak paham semua itu. Yang ia tahu cuma, Tuhan itu ada, Tuhan mewajibkan shalat, maka ia lakukan kewajiban itu dengan konsisten tanpa keraguan. Tak lebih dari itu.
Kepada orang seperti itulah, ilmu kalam yang sarat perdebatan, tak bijak disampaikan. Maka, dalam analogi Imam al-Ghazali, ilmu kalam hanya ibarat obat yang semata dibutuhkan bagi orang sakit. Ilmu kalam dibutuhkan hanya bagi orang yang keberislaman dan keberimananya terbelunggu ragu.
Fikih
Puja dan puji dalam bidang fikih, bisa dijumpai dalam satu mukadimah Kifayah al-Akhyar buah karya Taqiyuddin Abu Bakr al-Husaini.
Disebutkan, “faidza kana al-fiqh bihadza al-martabah al-syarifah wa al-mazaya al-munifah, kana al-ihtimam bihi fi al-darajah al-ula. Wa sharf al-auqat al-nafsiyyah bal kull al-‘umr fihi aula. Lianna sabilahu sabil al-jannah.”
“Karena memiliki martabat mulia dan keunggulan yang luhur ini, maka menekuni ilmu fikih menjadi prioritas utama. Bahkan akan lebih baik jika seseorang menekuninya sepanjang hayat. Sebab, menekuni fikih adalah meretas jalan surga.”
Barangkali tak bisa disangkal, hanya dalam literatur fikih terpapar kajian lebih dalam dan detil tentang berbagai ritual keislaman, seperti shalat, zakat, puasa, perkawinan dan sebagainya dan seterusnya. Dalam konteks ini, tentu saja fikih lebih unggul dan bermartabat. Maka, bukan hal janggal jika kemudian puja dan puji di sampaikan kepadanya.
Hadis, Ilmu Hadis, Dan Tafsir
Untuk bidang ini, saya nukilkan mukadimah Bulugh al-Maram – kitab yang memuat hadis-hadis dasar hukum fikih buah pena Ibn Hajar al-Asqalani – yang disampaikan oleh Muhammad Hamid,
“Inna khaira ma tansharif ilaih himam al-mu’minin al-shadiqin, watatawajjah ilaih ‘inayah al-muwahhidin al-mukhlishin, kalam sayyid al-khalq ajma’in”.
“Obyek kajian terbaik di mana orang beriman mencurahkan kesungguhannya, di mana penganut tauhid mengarahkan perhatiannya, itulah tutur penghulu segenap mahluk.”
“Tutur penghulu segenap mahluk” yang dimaksud adalah hadis-hadis Rasul Muhammad.
Hadis menjadi obyek kajian terbaik, berada di atas pada skala prioritas untuk merinci apa yang global dalam Alquran, menjadi petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana dari Alquran. Tuhan perlu mengutus seorang Rasul untuk menjelaskan teknik pelaksanaan shalat, zakat, haji, dan sebagainya dan seterusnya, dalam tutur dan tindakannya, karena di dalam Alquran Tuhan hanya memerintahkan shalat, zakat, haji, tanpa menjelaskan bagaimana teknik semua kewajiban itu mesti dilaksanakan. Untuk konteks ini, hadis adalah yang terbaik.
Sedangkan dalam bidang ilmu hadis, eloklah saya nukil di sini puja puji Ibnu Shalah yang ia sampaikan dalam karyanya atas nama Muqaddimah Ibn Shalah fi Ulum al-hadits, “Inna ‘ulum al-hadits min afdhal al-‘ulum al-fadhilah wa anfa’ al-funun al-nafi’ah… Wahuwa min aktsar al-‘ulum tawallujan fi fununiha, la siyama al-fiqh…”
Katanya, “Ilmu hadis adalah bagian dari keilmuan yang memiliki prioritas paling utama, bagian dari bidang keilmuan yang paling bermanfaat… Ia menjadi bidang keilmuan yang paling banyak masuk menjadi obyek kajian dalam bidang keilmuan yang lain, terutama fikih…”
Tafsir juga tak lepas dari puja puji semacam di atas. Lihat saja apa yang ada dalam mukadimah kitab tafsir karya Muhammad Ali al-Shabuni, Rawaih al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Quran, “Inna khaira ma shurifat fihi aljuhud, wa isytaghala bihi al-‘ulama ta’liman wa tafsiran wa tafahhuman wa dirasatan wa istinbathan, kitabullah…“
“Kajian terbaik untuk dicurahkan segala kesungguhan, di mana para ulama menyibukkan waktu untuk mengajarkannya, menafsirkannya, memahaminya, mendarasnya, dan menggali hukum darinya, maka itulah Kitab Tuhan…”
Dengan kepakaran dan ketekunan mendalam terhadap bidang keilmuan yang diselaminya, para pakar telah mampu meretas jalan surga dan jalan kedekatan menuju Tuhan. Apakah hanya dalam bidang keilmuan keagamaan jalan itu bisa diretas? Apakah hal itu tak membuat iri para pakar astronomi, ahli biologi, para saintis, dan sebagainya dan seterusnya, yang dengan kepakaran dan ketekunannya pula pada kajiannya, pada sepojok hatinya ia berguman tentang entitas yang tak pernah disinggung dalam bidang kajiannya, namun dapat ia rasakan “Oh, siapakah Kau yang mencipta semua ini? Ciptaan-Mu begitu luar biasa dan sempurna. Maka, pastilah betapa Kau lebih sempurna dari kesempurnaan ciptaanmu.”
Lalu, kita (jika sampean tak kebeberatan saya wakili), yang bukan pakar dalam bidang apa pun, yang tak mampu mencipta satu pun karya, apalagi yang luar biasa, dengan jalan apakah kita meretas surga?
Tak apa, kita retas surga dengan kaidah fikih ini: al-tabi’ tabi’, pengikut mengikut kemana yang diikuti pergi. Jika para pakar keilmuan di atas kelak masuk surga, kita yang hanya bisa membaca, menelaah karyanya, juga akan masuk surga, kecipratan berkahnya. Maka, tak berlebihan jika para kyai dan ustad di pesantren yang mengajarkan kitab tertentu, mengawalinya dengan permulaan ini: “Qala al-mushannif rahimahullah ta’ala, wanafa’ana bi ‘ulumihi fi al-darain…”.
“Penulis kitab ini – semoga Allah merahmatinya, dan memberikan manfaat bagi kita di dunia dan akhirat, karena ilmu-ilmunya – mengatakan…”. Setelah itu, baru dimualilah pengajian: al-kalamu huwa al-lafdzu…
~
Dalam Rasa
15 February 2009 § 3 Comments
Simbol diwujudkan sebagai ekspresi atas esensi yang asli dan sejati, yang tak terjangkau obyektifikasi inderawi, yang misteri – yang sebab itu selalu dirindui. Simbol bukan esensi yang asli dan sejati. Namun, terkadang memberi pemuasan diri. Simbol kemudian layak dihayati. Sebab rindu, simbol menjadi penting.
Masyarakat pagan jaman jahiliyah adalah adalah para perindu, orang-orang yang kangen akan “Yang Asli” dan “Yang Sejati”, satu esensi yang kehadirannya hanya mewujud dalam wajah yang bersembunyi, dalam bunyi yang sunyi. Patung-patung dibuat sebagai ekspresi kerinduan, sebagai penghubung untuk menjangkau “Yang Jauh”, yang tak terjangkau obyektifikasi inderawi. Ma na’buduhum illa liyuqarribuna ilallah zulfa, seperti dikisahkan Kitab Suci. “Kami sembah patung-patung itu semata agar mendekatkan kami kepada Tuhan sedekat mungkin.”
Takdir Tuhan sejatinya adalah “wajah yang bersembunyi”, “bunyi yang sunyi”. Ia sama sekali tak berkehendak diri-Nya menjelma atau dijelmakan dengan sosok yang terang oleh mata dan telinga. Lau aradallah an yattakhidza walad, lashthafa mimma yakhluqu ma yasya. Subhanah. Sekiranya Tuhan hendak menjadikan anak, tentu Ia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah ada. Maha Suci Tuhan.
Biarkan Ia tak terpandang oleh mata, tak terdengar oleh telinga, selalu dan selamanya. Pandangan mata dan pendengaran telinga adalah ilusi. Mata dan telinga manusia yang relatif tak pernah bisa adil dalam melihat dan mendengar Tuhan yang absolut, atau bahkan sekedar “anak”nya – jika saja Ia benar-benar mewujud diri terbuka oleh mata. Menjelmakan Tuhan pada patung-patung, atau mewujudkan patung-patung, atau simbol-simbol apa pun – di mana inderawi adalah pemeran utama – sebagai perantara mendapatkan kedekatan, sesungguhnya adalah ilusi yang reduktif tentang-Nya.
Tuhan menunjukkan kebijaksanaan-Nya yang luar biasa, ketika menolak Musa yang berhasrat agar Ia hadir dalam wajah yang terang, wajah yang terjangkau mata. Tuhan menolak kehadiran diri yang terjamah inderawi.
Sungguh tak terbayang, jika saat itu Tuhan benar-benar kalah oleh hasrat Musa. Kemudian Musa merekam dalam memorinya, wajah Tuhan yang pernah ia lihat. Lalu, dari tutur Musa tersebarlah informasi sketsa wajah Tuhan kepada umatnya, kemudian turun temurun kepada umat selanjutnya, selanjutnya, dan selajutnya hingga masa ini. Atau, katakanlah, pada setiap masa, kepada setiap rasul-Nya, Tuhan menampakkan diri. Tuhan mematok diri pada sebuah simbol yang pasti.
Tuhan Maha Suci dari semua itu. Tuhan mewujud dalam abstraksi di mana realita bersifat fisik tak lagi jadi acuan, hadir dalam bayang-bayang ketak-pastian, melintas-batasi inderawi, melampaui sekat-sekat nalar, tak terpatok kaku pada sebuah simbol yang pasti, memungkinkan siapa pun untuk menghayati-Nya sampai pada batas di mana ia merasakan kenyamanan jiwa.
“Siapa yang menduga ketersingkapan Tuhan terhampar dalam kalimat dan kata, terdampar dalam nalar dan dialektika, maka ia sedang membatasi rahmat Tuhan yang tak terbatas,” kata Imam al-Ghazali dalam al-Munqidz Min al-Dhalal (Pengentas Kesesatan).
Karena Tuhan hadir dalam rasa, di luar kekuasaan indera, di atas kelemahan kalimat dan kata. Dalam rasa, penghayatan tentang Tuhan adalah sesuatu yang sangat personal. Sedangkan kalimat dan kata hanya merupakan percobaan untuk mengulanginya dan menyusunnya. Rekonstruksi dari sebuah rasa.[jr]
Hukum Musik
28 January 2009 § 3 Comments
Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dikisahkan, pada suatu hari lebaran (entah Idul Fitri atau Idul Adha), Aisyah mendendangkan lagu-lagu dan mungkin dengan tetabuhan seadanya. Rasulullah mendampingi. Abu Bakar kemudian datang. Ia rupanya tak berkenan Aisyah bernyanyi. Tak pasti kenapa. Mungkin karena Abu Bakar termasuk orang yang tak memiliki selera dengan tembang-tembang dan tetabuhan. “Bunyi-bunyian setan di sini?!” katanya, unjuk rasa tidak sukanya. Ia mengatakan itu dua kali. Atau mungkin karena Abu Bakar melihat ada Rasulullah di situ sehingga dianggap tak sopan jika Aisyah asyik bernyanyi. Tapi, justru…
“Biarkan saja, Abu Bakar. Setiap kaum memiliki hari raya. Dan saat ini adalah hari raya kita,” kata Rasul.
Pun tak terang pasti, kenapa Rasul melarang Abu Bakar untuk melarang Aisyah dan dua kawannya mendendangkan tembang-tembang dan memainkan tetabuhan. Mungkin hanya soal momentum, karena hari itu adalah saat lebaran saat kegembiraan layak diekspresikan dan dirayakan. Atau, sejatinya lagu-lagu dan tetabuhan adalah sesuatu yang tak bisa dihukum. Namun, yang jelas, Aisyah menyuakinya.
Di antara orang yang menyukai dan dapat menikmati tembang-tembang dan musik adalah Imam al-Ghazali. Ia memiliki kesan tersendiri tentangnya. “Siapa yang tidak tergetar hatinya mendengar kemerduan musik dan keindahan pemandangan,” katanya, “maka dia telah mengidap penyakit yang sulit diobati.”
Tentu Imam al-Ghazali tak sepenuhnya adil soal pernyataannya itu, apalagi jika dihadapkan pada era ini, ketika penyanyi dan grup musik baru cepat bermunculan dengan beragam aliran, secepat mereka tenggelam untuk digantikan oleh pendatang yang lebih baru. Ketika keadaan demikian, apa yang disebutnya “tidak tergetar hatinya mendengar kemerduan musik” adalah bukan soal musik, tapi soal momentum hati untuk berinteraksi dengan musik.
Pada akhirnya, menikmati musik (tertentu) yang membuat hati bergetar atau bahkan membencinya sehingga pantas disebut “tetabuhan setan”, adalah soal rasa dan selera jiwa, tentang suasana hati, masalah mood. Musik, pada dirinya, ia tak memiliki hukum.
Ambiguitas Tuhan
26 January 2009 § 3 Comments
Tuhan adalah sosok yang tak terjangkau, berada di tempat yang teramat jauh. “Ia ada di langit,” kata seorang perempuan, suatu ketika, kepada Rasul. “Perempuan itu telah beriman,” ujar Rasul menilai-benarkan apa yang perempuan tersebut tahu dan hayati tentang Tuhannya.
Langit, jika mungkin ia suatu tempat, maka pastilah tak terhingga jauhnya, tak ada alat ukur untuk menjangkaunya, kecuali hanya sebatas kata. Mungkin, begitu juga dengan al-‘arsy: tempat asing nun jauh di alam antah berantah yang tak terpindai pikiran manusia, di mana Tuhan singgah setelah mencipta semesta. Langit dan al-arsy, sejatinya mungkin sesuatu yang ada, namun yang pasti tak terkira.
Agaknya Tuhan pun tahu akan hal itu, sadar diri-Nya adalah sosok yang jauh, di mana manusia tak bisa hadir untuk menjangkau-Nya. Maka, Ia selalu hadir pada dini hari, pada suatu waktu yang hening, menyambangi setiap manusia yang rindu, mempersilakan diri-Nya dipeluk dan dijamah dengan segenap penghayatan. Bagi sebagian orang, Tuhan yang gaib mungkin bisa “nyata” di gelap malam yang hening, di sebuah “rumah Tuhan” di mana manusia bisa menjumpai-Nya.
Tuhan yang tak terjangkau, yang jauh di langit, yang singgah gagah di al-‘arsy, mungkin lebih disadari dan dimengerti. Sebab, barangkali, dengan semua itu, sosok Tuhan dapat dibanggakan, seolah ke-maha-an-Nya lebih tampak.
Dan ketika Tuhan hadir dalam sosok yang tersisihkan dan terpinggirkan di pojok-pojok bumi, yang hanya terlintas sekilas oleh pandangan mata, yang cuma menempati pojok kecil di ruang pikiran, atau bahkan tak pernah terpikirkan, maka hal itu mengherankan dan tak bisa dimengerti.
Serangkai cerita kecil datang dari Rasul. Dikisahkan, Tuhan berdialog dengan manusia, di akhirat.
“Aku pernah sakit, kenapa kau tak menjenguk? Aku pernah kelaparan dan kehausan, kenapa kau tak peduli?” tanya Tuhan kepada manusia.
Dengan ketak-mengertian mendalam, manusia tersebut berkata, “Tuhan, bagaimana aku bisa menjenguk-Mu, mengantarkan makanan dan minuman untuk-Mu, sedangkan Kau adalah Tuhan semesta alam?!”
Tuhan menjawab, “Tidakkah kau tahu, hambaku si Fulan pernah sakit?! Tidakkah kau tahu, hambaku si Fulan pernah kelaparan dan kehausan?! Aku tahu, kau tahu semua itu, hanya saja kau tak mau peduli. Padahal jika kau mau mendekati mereka, niscaya kau akan menjumpaiku di sisi mereka.”
Tuhan hadir dalam ambiguitas yang mengesankan. Ia mengawang di langit jauh, singgah gagah di singgasana al-‘arsy, dan sekaligus senantiasa bersama manusia di bumi, bahkan lebih banyak bersama manusia-manusia tersisih yang tak menyita perhatian mata.
Ambiguitas ini menyiratkan pemaknaan dan penghayatan yang luas tak terbatas tentang Tuhan. Karenanya, setiap hati memiliki kemandirian dan kebebasan mencari pemaknaan dan penghayatan itu sampai pada pilihan di mana ia merasakan kenyamanan.[jr]