Allah Tak Hanya Milik Umat Islam

20 December 2008 § 7 Comments


Masih ingat, Malaysia yang melarang ‘Allah’ untuk media Kristen, setahun lalu, dengan alasan, penggunaan ‘Allah’ di media non Islam dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak di negara yang mayoritas (sekitar 60 persen atau 27 juta) penduduknya beragama Islam ini? Sebagai urusan dalam negeri Malaysia, tentu kita tak berhak ikut campur, tapi bolehlah minimal menyungging sinis sambil bergumam, “Ah, Malaysia, iseng amat sih!”

Bolehlah, kita tidak berhak ikut campur dari sisi konstitusi negara kecil tetangga kita itu, tapi, sebagai umat Islam, di mana pun berada di pojok-pojok dunia ini, dari ujung kulon sampai ujung wetan, dari sabrang lor sampai sabrang kidul, kita berhak saja ikut berwacana soal ‘Allah’ ini. Atau, siapa pun kita yang mengganggap ‘Allah’ sebagai bagian dari kehidupan. Sebab, ‘Allah’ tidak hanya milik Malaysia.

Dalam tata bahasa Arab, ‘Allah’ disebut sebagai a’raf al-ma’arif (isim ma’rifat paling ma’rifat, paling spesifik, sehingga ketika disebut, dengan segera dipahami maksudnya). Namun, pada kenyataannya, ‘Allah’ justeru menjadi kata yang paling abstrak, paling tidak spesifik, sehingga memerlukan kata-kata lain untuk menjelaskannya, memperkenalkan siapa Dia. Kita (kalau Anda tidak keberatan saya wakili), akan lebih bisa memahami secara spesifik kata al-rahim (yang kita terjemahkan dengan “Maha Pengasih), ketimbang ‘Allah’. Kita akan lebih bisa memahami ‘Maha Pengasih’, dengan fokus pada kata ‘pengasih’ atau ‘kasih’, ketimbang ‘Allah’ atau ‘Tuhan’. Kita akan lebih memahami ‘Allah’ secara spesifik, paling tidak, setelah menelaah arti apa yang kita kenal dengan al-asma al-husna, atau pun segenap sifat-sifat lain yang ‘layak’ bagi-Nya, yang dirumuskan untuk mengidentifikasi esensi yang dibahasakan dengan ‘Allah’ itu.

Yang a’raf al-ma’arif, yang al-rahman, yang al-rahim, yang laisa kamitslihi syaiun, yang wahdaniyah, yang qudrah, yang iradah dan seterusnya dan sebagainya, yang umat Islam rumuskan untuk mengidentifikasikan satu esensi ‘Yang Maha’, yang dikenal dengan ‘Allah’ itu, tentu ini hanya ada dalam nomenklatur keislaman, untuk kemudian menyatakan bahwa ‘Allah’ yang demikian hanya milik umat Islam. Yang demikianlah ‘Allah’ dalam asumsi umat Islam. Dengan kata lain, umat Islam terikat oleh ‘Allah’ dengan definisi dan penjabaran yang Alquran identifikasikan, dan tidak bisa melepaskan diri dari ikatan itu. (Meski sesungguhnya Allah terlalu ‘maha’ jika semata terbungkus kata ‘Allah’ atau definisi dan identitas lainnya).

Sungguh pun demikin, marilah kita memahami preseden sejarah, bahwa ternyata ‘Allah’ tidak hanya eksklusif milik lisan umat Islam saja. Kafir dan musyrik Quraisy pada masa Nabi Muhammad juga menyebut ‘Allah’, dan bukan hanya itu, bahkan mereka mengakui ‘Allah’ sebagai pencipta, terlepas asumsi ‘Allah’ mereka sama persis atau bahkan sama sekali beda dengan ‘Allah’ seperti dalam asumsi umat Islam. Ini soal lain. Yang jelas, ‘Allah’ tidak kelu di lidah orang kafir/musyrik Quraisy. Lihatlah pengakuan mereka ini, “walain saaltahum, man khalaqa al-samawat wa al-ardh? Layaqulunna Allah”… “Jika kamu tanya mereka, ‘siapa pencipta langit dan bumi?’, mereka akan menjawab, ‘Allah’.” (lihat juga; Al-Ankabut: 61, Luqman: 25, Al-Zumar: 38, Al-Zuhruf: 87). Atau, ketika mereka, para penyembah berhala itu, ditanya, “Apa arti penyembahan kalian terhadap berhala-berhala itu?” Mereka menjawab, “ma na’buduhum illa liyuqarribuna ilallah zulfa”… “Kami menyembah mereka semata agar mereka mendekatkan kami kepada ‘Allah’ dengan sedekat-dekatnya”. (Al-Zumar: 3).

Dan, bukankah ‘Allah’ telah akrab menjadi tatanama orang-orang Arab pra-Islam. Sebelum Islam datang, ‘abdullah’ adalah nama yang tidak asing bagi mereka. Bahkan, barangkali bangsa Arab pra-Islam telah lebih dulu akrab dengan ‘Allah’, sampai kemudian Islam datang, memperkenalkan ‘Allah’ yang berbeda, revisioner dan revolusioner secara substantif.

Tentu saja, preseden ini paling tidak bisa menjadi acuan untuk tak melarang siapa pun, dari agama dan kepercayaan mana pun, termasuk Kristen, untuk mengucapkan ‘Allah’, terlepas kemudian asumsi tentang-Nya ternyata berbeda. Pada dirinya, ‘Allah’ tidak memiliki pengikat definisi. ‘Allah’ bebas nilai. Yang mempunyai tali pengikat adalah agama, yang menjadi instrumen perumus, pengidentifikasi, pemberi definisi tentang ‘Allah’. Maka muncullah ‘wahdaniyah’, ‘Yang Maha Esa’, yang ‘a’raful ma’arif’, dan sebagainya dan seterusnya, untuk mengidentifikasi ‘Allah’ dalam Islam, yang mengikat umat Islam agar tak sampai pada ‘Allah’ yang salah, yang tidak sesuai dengan definisi dan identifikasi Islam. Sebagaimana (barangkali) Kristen mengikat umatnya tentang ‘Allah’ mereka, agar tak sampai pada ‘Allah’ yang keliru, yang tidak sesuai dengan definisi dan identifikasi Kristen. Setiap agama, saya pikir memiliki ikatan demikian.

Teman muslimku, apakah keimananmu terganggu, jika ‘Allah’ yang Kau imani diucapkan, ditulis, oleh orang yang berbeda keyakinan? Jika ya, sepertinya Malaysia adalah sangkar emas yang aman untukmu.

O, ya?

Merebut Allah, Merebut Bayangan

8 December 2008 § 3 Comments


al-rahman ‘ala al-arsy istawa…

Tuhan adalah “sosok” yang tak pernah terbatas, rampung, final, dan komprehensif. Maka, berkahlah bagi manusia, Tuhan membahasakan diri, membatasi diri dengan bahasa yang manusiawi, dengan kata-kata, untuk diketahui manusia sehingga mereka dapat berkata-berkata tentang-Nya, meski dengan piranti nalar yang terbatas, bisa rampung dan final. Sebab itu, manusia mampu berbicara dan berkata-kata tentang Tuhan hanya pada batas-batas yang mampu dikatakannya.

Namun, bahasa selalu tak memadai untuk sepenuhnya mendeskripsikan, menjelaskan, dan dengan itu pula membubuhkan nilai dan merumuskan makna. Ribuan kalimat tersusun merangkai yang Tuhan firmankan tentang diri-Nya, bukanlah batas paling maksimal dan esensial tentang-Nya. Maka, bahasa sebenarnya hanya menangkap jejak, memotret bayangan dari “tongkat” yang tak pernah rampung dan final itu.

Bahasa, yang Tuhan gunakan untuk menjelaskan diri-Nya kepada manusia, adalah sebuah simbol: sebuah isyarat untuk mengungkapkan sesuatu dan pada saat yang sama menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar dan tak terdeteksi indera tapi bisa dibahasakan, maka bahasa itulah simbol, jejak, bayangan dari esensi sesuatu itu. Kau bisa membaca, menafsirkan sebuah bahasa, tapi barangkali tak layak menyatakan diri telah sampai pada batas paling esensial, final, dan absolut. Selalu mungkin ada yang tersembunyi dari sebuah bahasa, yang luput dari sekedar pembacaan atasnya.

Selanjutnya, hal itu mengantarkan pada konskuensi wajar: bahasa tersaji terbuka untuk ditentukan oleh maksud pembaca. Tuhan membahasakan diri lewat bahasa simbol yang – dengan segenap misteri tersembunyi – merangsang manusia, sebagai pembaca, untuk mengurai, menelaah, menalar, sampai akhirnya memecahkan dan menentukan misteri yang tersembunyi dari balik simbol itu, sekali lagi, pada batas-batas yang mampu dikatakannya. Dan Tuhan, sebagai penulis kisah, bahkan pelaku cerita dari sebuah teks bahasa, dan paling mengerti maksud esensial bahasa itu, tak lagi hadir sebagai pengarah, “lepas tangan”, memberikan kewenangan kepada manusia untuk melakukan elaborasi.

Kita sadari atau tidak, itulah takdir bahasa.

Sepenggal firman yang saya nukil di atas, adalah (salah satu) contoh di mana Tuhan – esensi yang tak terjangkau nalar dan tak terdeteksi indera – membahasakan diri pada batas bahasa dan kata yang paling reduktif, tapi dengan itu manusia bisa berinteraksi. Firman itu kita terjemahkan dengan: “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam pada Arsy”.

Dari pengalaman empirik, kita bisa meraba-raba sepenggal firman itu, aktifitas “bersemayam” melibatkan dua unsur: “yang bersemayam” dan “yang disemayami”, dengan sederet persoalan di belakangnya, misalnya, bagaimana posisi “yang bersemayam” pada “yang disemayami”. Seperti apakah bentuk “yang disemayami” itu, apakah lebih besar dari “yang bersemayam”, jadi, katakanlah “yang disemayami” itu seperti rumah, atau lebih kecil, maka katakanlah “yang disemayami” itu sepeti kursi. Jika “yang disemayami” disepertikan rumah atau kursi, ke arah manakah ia menghadap.

Tentu, ada kemungkinan lain, misalnya, kita setuju dengan arti reduktif itu, hanya saja, karena ini menyangkut Allah, Tuhan Yang Maha Suci, maka tak perlulah ditanyakan, “bagaimana” dan “seperti apa” Ia bersemayam, yang pertanyaan itu hanya layak disandarkan kepada manusia. Bersikap al-tanzih saja. Yang jelas, bahasa Tuhan tentang diri-Nya adalah bahasa kebenaran. Sekilas, ini seperti pasrah menyerah pada bahasa, tapi sesungguhnya adalah sebuah sikap pilihan.

Atau sebuah kemungkinan lain: kita harus lari dari teks bahasa reduktif itu untuk menemukan makna, agar tidak terjebak pada pertanyaan-pertanyaan tak elok dan tak bakal selesai, atau terperangkap pada kesan pasrah menyerah pada bahasa. Makna lain itu, misalnya, sepenggal firman di atas adalah bahasa Tuhan untuk menyimbolkan ke-Maha-Perkasa-annya. Bagi Tuhan, cuma ada dua hal: diri-Nya dan bukan diri-Nya yang lahir dari diri-Nya. Dan yang bukan diri-Nya itu berada dalam lingkaran kuasa dan pengawasan-Nya. (Atau, sesungguhnya cuma ada diri-Nya, dan yang lain hanyalah manifes dari-Nya).

Atau, kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lain di mana Kau sampai pada batas kenyamanan dan ketentraman hati.

Kau juga bisa mencari kemungkinan pemaknaan, misalkan, pada “wahuwa ma’akum anama kuntum” (Tuhan selalu menyertai di mana pun kalian berada), pada “yadullah fauqa aidihim” (Tangan Tuhan ada di atas tangan mereka), pada “qalb al-mu’min baina ishbain min ashabi’ al-rahman” (Kalbu orang beriman ada dalam genggaman jemari Tuhan), atau juga pada “…jannaat tajri min tahtiha al-anhar” (…surga yang di bawahnya melintas aliran sungai) …

Selalu ada kemungkinan yang bisa Kau temukan dari sebuah teks bahasa. Bila Kitab Suci punya pengantar dan tamat, teks bahasa Kitab Suci adalah sebuah hamparan pemaknaan yang meruah, membentang, jalin menjalin, terus menerus, tak punya awal, tak kunjung final. Dan, ketika kemungkinan sedemikian meruah, pilihanmu pada salah satu kemungkinan di antara yang meruah itu, sesungguhnya bukan lagi semata berdasar pada kebenaran nalar, tapi pada kenyamanan dan ketentraman hati.

Jelas, Allah, Ilahi, Rabbi, Tuhan, Gusti, Pangeran, God… hanya simbol, jejak, bayangan, sebuah batas bahasa di mana kita bisa berkata-kata, berdiskusi, berdebat tentang esensi yang supernatural, tak terjangkau nalar, tak terdeteksi indera, di mana sebuah esensi itu transenden, Yang Maha. Namun, bahasa akan bernasib “selalu tak memadai untuk sepenuhnya mendeskripsikan, menjelaskan”. Allah (sebagai bahasa) terlalu sempit, tidak akan sepenuhnya memadai untuk mendeskripsikan, menjelaskan Allah sebagai esensi yang supernatural, transenden, Yang Maha.

Telah lebih dari setahun, Malaysia memberlakukan larangan kata “Allah” digunakan media non-Islam. Hanya terjadi di Malaysia, kata “Allah” diklaim sebagai hak eksklusif umat Islam untuk menggunakannya. Alasannya: penggunaan kata “Allah” di media non-Islam ditakutkan akan menimbulkan gejolak di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Alasan yang cenderung naif.

Pertama, ini sama sekali sepele, tidak esensial dan tidak mencerdaskan. Kedua, cukup untuk menggambarkan “hidup yang didominasi oleh kuantifikasi, sebuah hidup yang memusuhi perbedaan kualitatif”. Ketiga, menunjukkan kepongahan mayoritas, dan pada saat yang sama inferioritas mayoritas, mayoritas yang kurang percaya diri, yang rapuh, sehingga membutuhkan kekuatan (pemerintah sekalipun) untuk menopangnya. Ini penyakit.[]

Selamat Hari Raya Idul Adha

6 December 2008 § 1 Comment


1791830ztqffn6hux

WARUNG NALAR mengucapkan, selamat hari raya idul adha…

Semoga semakin menyadarkan kita, arti penting berbagi untuk sesama…

Tentang Wanita Untuk Lelaki

9 August 2008 § 3 Comments


Di bawah ini adalah beberapa quotasi yang saya “pungut” dari sumber-sumber terserak, tentang “nilai unik” yang ada pada diri seorang wanita. Sebagian penilaian datang dari laki-laki dan ditujukan kepada laki-laki, dan sebagian ditujukan kepada semua orang. Karena datang dari manusia dengan keniscayaan subyektifitasnya, tentu saja quotasi itu tidak bisa disebut mutlak kebenarannya, sebagaimana tidak bisa disebut mutlak kekeliruannya.

Untuk sementara, hanya sekianlah quotasi yang ada, dan bisa saja bertambah dari waktu ke waktu, tergantung hasil “pungutan” saya…

“Jika Anda merasa lebih utama dari Maryam, Aisyah, atau Fatimah, hanya karena engkau lelaki dan mereka wanita, maka orang yang mengatakan hal itu pantas disebut orang bodoh.” (Ibnu Hazm al-Zhahiri)

“Banyak orang mengatakan, mencintai wanita merupakan puncak bencana. Puncak bencana sesungguhnya bukanlah mencintai wanita, melainkan berdekatan dengan orang yang tak kaucintai.” (Imam Syafii)

“Tidak diketahui sesuatu yang begitu diperhatikan dan mantap pada diri seorang wanita melebihi cinta.” (Ibnu Hazm al-Zhahiri)

“Tidak dapat dipungkiri bahwa mengabaikan wanita berarti mengabaikan setengah potensi masyarakat, dan melecehkannya berarti melecehkan seluruh manusia, karena tidak seorang manusia pun – kecuali Adam dan Hawa – yang tidak lahir melalui seorang perempuan.” (M. Quraish Shihab)

“Mencintai seorang wanita mencukupi seorang lelaki, tapi untuk memahaminya, seribu lelaki pun belum cukup.” (Entah Siapa)

“Jika Engkau mencintai wanita dengan mengabaikan tuntutan dan komitmen moral, maka cinta itu menjadi mudah dan murah.” (Entah Siapa)

Menjaga Hati

6 August 2008 § Leave a comment


Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setan dan malaikat selalu membisiki hati manusia. Jika seseorang terbisik dalam dirinya untuk melakukan kejahatan dan mengingkari kebenaran, maka itu adalah bisikan setan. Dan jika terbisik untuk melakukan kebaikan dan membenarkan yang benar, maka itu adalah bisikan malaikat.”

Nabi melanjutkan, “Jika seseorang merasakan dalam hatinya bisikan kebaikan, maka pujilah Allah. Jika merasakan bisikan kejahatan, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

Pendek kata, hadis tersebut menjelaskan bahwa hati adalah pintu masuk yang terbuka bagi perbuatan baik dan buruk.

Dalam hadis yang lain, Nabi menjelaskan bahwa hati menjadi semacam pemimpin bagi jasad secara kesuluruhan dan menjadi tolak ukur darinya. Beliau bersbada, “Di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuh manusia. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati (­al-qalb).” (HR Bukhari).

Penjelasan Nabi tersebut menjadi peringatan bahwa hati memiliki pengaruh luar biasa dalam membentuk perilaku manusia. Baik atau buruk perilaku seorang manusia sangat bergantung dari bagaimana ia menjaga hati. Oleh karena itu, Allah mengajarkan manusia agar selalu menenteramkan hati dengan memusatkan kesadaran akan Allah. Dinyatakan dalam Alquran, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28).

Sebab, ketika hati tenteram saja, bisikan kebaikan mudah masuk. Dan akan mudah dirasuki oleh bisikan kejahatan, pada saat ia sedang gundah dan kosong dari kesadaran akan Allah.

Hati memiliki karakter yang mudah terombang ambing. Terkadang merasa lapang, terkadang sempit. Terkadang menerima, terkadang menolak. Terkadang condong kepada kebaikan, terkadang kepada kejahatan. Maka tidak berlebihan jika doa yang paling sering dibaca oleh Nabi adalah, “Wahai Dzat yang membolak-balikan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu.”

Salah seorang sahabatnya bertanya, “Wahai Nabi Allah, kenapa engkau begitu sering memanjatkan doa itu?” Nabi menjawab, “Wahai Sahabat, tidak ada seorang pun kecuali hatinya ada dalam genggaman Allah. Jika berkehendak, dia bisa saja meneguhkan hatimu pada agamamu atau memalingkannya.” (HR Tirmizi).

Sisi Biologis & Teologis Perempuan

3 August 2008 § Leave a comment


Pada masa pra-Islam (periode jahiliyah), beribu tahun silam, perempuan dipandang tidak memiliki sisi kemanusiaan utuh. Ia dianggap sebagai menusia kelas dua (the second sex) hanya soal ia tidak setangguh laki-laki. Ia dianggap tidak berguna dan membawa sial, sehingga tak pantas hidup, kemudian harus tiada dengan dikubur hidup-hidup. Saat itu, perempuan juga diperlakukan sebagai barang warisan. Pihak keluarga mendiang suami berhak atas diri perempuan itu, apakah mau dikawini oleh salah satu anggota keluarga mendiang suami, atau harus menebus kepada keluarga mendiang suami agar bisa kawin dengan orang lain. Islam datang, secara bertahap mengembalikan hak-hak perempuan sebagai manusia. Pada beberapa tempat di dalam Alquran, eksistensinya sebagai manusia di kehadirat Tuhan tidak dibedakan dengan laki-laki. Yang membedakan antara kedua jenis mahluk ini adalah kualitas takwanya. Dan perbedaan jasmani, sifat, karakter serta kecenderungan-kecenderungan yang ada di antara keduanya, tak lebih dari sekedar instrumen untuk menuju kualitas takwa tersebut.

Dari sisi karakter, perempuan cenderung lebih lemah lembut dari laki-laki. Secara umum, ia memiliki sifat malu dan rasa kasih sayang yang lebih besar. Nabi Muhammad memberikan gambaran metaforis tentang karakter perempuan, “Berpesanlah kalian untuk selalu berbuat baik kepada perempuan. Karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.” (HR. Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam al-Tirmizi).

Hadis ini tidak berbicara tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan laki-laki. Sebab, tidak ada satu petunjuk pasti dari Alquran dan hadis yang memberikan pemahaman bahwa tulang rusuk (dhil’un) yang dimaksud oleh hadis tersebut adalah tulang rusuk dalam maknanya yang hakiki. Namun, hadis ini bermaksud untuk memperingatkan para laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki, yang bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk berperilaku tidak wajar. Siapapun tidak akan mampu mengubah kodrat, termasuk kodrat perempuan. Kalau ada yang memaksakan perubahan itu, akibatnya akan fatal, sama fatalnya dengan meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Ini jangan dipahami, bahwa kata “bengkok” di sini melecehkan perempuan. Itu hanya ilustrasi yang diberikan Nabi terhadap persepsi yang keliru dari sementara laki-laki menyangkut sifat perempuan, sehingga para lelaki itu memakasa untuk meluruskannya. Memahami hadis di atas dengan makna seperti ini justru mengakui kepribadian perempuan yang menjadi kodratnya sejak lahir.

Pakar psikologi Mesir, Zakaria Ibrahim, seperti dinukil oleh M. Quraish Shihab dalam Perempuan, dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru, menulis, “Perempuan memiliki kecenderungan masokhisme atau mencintai diri sendiri yang berkaitan dengan kecenderungan berkorban demi kelanjutan keturunan. Kecintaan kepada dirinya yang disertai dengan kecenderungan itu menjadikan perempuan kuasa mengatasi kesulitan dan rasa sakit yang memang telah menjadi kodratnya – khusunya ketika haid, mengandung dan membesarkan anak. Karena adanya rasa sakit itu pula, maka Allah menganugerahinya kenikmatan bukan saja dalam hubungan seks – sebagaimana halnya laki-laki – tetapi juga kenikmatan dalam memeilihara anak-anaknya.”

Perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan memang tidak dapat dipungkiri adanya. Maka sudah sepatutunya mejadikan laki-laki tetap laki-laki, perempuan tetap perempuan, dan dalam saat yang sama kedua jenis kelamin itu diberi kesemptan berekspresi secara proporsional, sesuai dengan potensi dan karakter yang dimiliki masing-masing. Upaya untuk menyama-ratakan secara ektrem justeru menjadikan keduanya dapat tercabut dari akar kodratinya. Dan, perbedaan itu, hanya karena “kelaki-lakian” dan “keperempuanan”, tidak lantas menjadikan yang satu unggul atas yang lain. Perbedaan itu tidak harus menjadikan keduanya dibeda-bedakan. Ibnu Hazm al-Zhahiri mengecam, “Jika Anda merasa lebih utama dari Maryam, Aisyah, atau Fatimah, hanya karena engkau laki-laki dan mereka perempuan, maka orang yang mengatakan hal itu pantas disebut orang bodoh.”

Oleh karena itulah, atas dasar adanya perbedaan (kodrati), lahir tuntutan dan ketetapan hukum yang disesuaikan dengan kodrat, jati diri, fungsi serta peranan yang diharapkan darinya – baik laki-laki maupun perempuan, dan itu semua demi mencapai kemaslahatan bersama dunia dan akhirat. Di sisi lain, pada saat yang sama, keduanya mendapat tuntutan dan ketetapan hukum yang sama, kaitannya dalam hal persamaan di antara mereka.

Perempuan di Kehadirat Tuhan

Dalam sebuah sinetron di televisi, terkisahkan sebuah keluarga kaya raya, yang dengannya, materi duniawi yang diinginkannya dapat terpenuhi. Suatu ketika, anggota keluarga tersebut menyadari bahwa mereka telah terlalaikan oleh materi duniawi dan melupakan ajaran agama. Kesadaran itu menghantarkan mereka untuk mempelajari ajaran agama kepada seorang ustad

Suatu saat, sang ibu dari keluarga kaya itu tiba-tiba ingin berhenti mengaji dari ustad tersebut, dan menggantinya dengan ustad yang lain. Apa pasal? Ternyata, ketika ajaran-ajaran dasar belum tersampaikan dengan baik, sang ustad sudah menyampaikan informasi tentang surga dan neraka. Sang ustad tersebut menjelaskan, dengan berdasar sebuah hadis, bahwa mayoritas penduduk neraka kelak adalah perempuan. Kontan, sang ibu tadi merinding mendengar penjelasan sang ustad. Ini, tentu saja karena sang ibu itu adalah perempuan. Informasi itu terus menghantui pikiran sang ibu. Fatalnya, sang ustad tidak memberikan penjelasan secara komprehensif.

hadis yang dimaksud oleh sang ustad adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Suatu ketika Nabi pernah berwasiat kepada para perempuan, “Wahai para perempuan! bersedakahlah dan perbanyaklah istighfar. Karena aku melihat kalianlah yang akan banyak menghuni neraka.” Mendengar pernyataan “seram” ini, salah seorang dari mereka merasa perlu bertanya, “Mengapa harus kami yang banyak menghuni neraka, wahai Rasul?”

“Kalian terlalu banyak mengeluarkan kata-kata bernada laknat (tuktsirna al-li’an), dan sering mengingkari (hak-hak yang diberikan) suami-suami kalian (takfurna al-‘asyir),” demikian jawab Nabi.

Benarkah penghuni neraka, kelak, mayoritas adalah perempuan? Dengan kata lain, apakah berarti laki-laki menjadi mayoritas penduduk surga?

Alquran, juga hadis, dalam menyampaikan pesan-pesan moral, tak jarang menggunakan makna-makna literal dan simbolis. Sehingga, ketika teks Alquran atau hadis yang literal dan simbolis tersebut bersarang dan terolah oleh otak manusia, akan menghasilkan pemahaman beragam. Ragam pemahaman itu mucul, bisa karena perbedaan tingkat intelektualitas atau pengaruh sosio-kultural dan sosio-historis orang yang memahaminya. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap arif bijaksan dan ketelitian dalam membaca teks-teks kegamaan, termasuk teks-teks keagamaan yang berbicara tentang perempuan atau relasi laki-laki dan perempuan.

hadis di atas, bila dipahami, bahwa perempuan adalah mayoritas penghuni neraka, hanya karena mereka berjenis kelamin perempuan, maka ini kontradiktif (ta’arudl) dengan semangat Alquran yang tidak menganut paham the second sex, yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu. Sebab, Alquran telah memberikan kesempatan yang sama kepada manusia, tanpa memandang jenis kelamin tertentu, untuk menjadi menjadi sosok terbaik di hadapan Allah, yang pantas mendapatkan surga-Nya. Sebagaimana, neraka-Nya telah disediakan bagi manusia pendosa, tanpa memandang jenis kelamin tertentu

Sekedar menyebut contoh, lihat saja, misalnya, QS. Al-ahzab/33:35: “Laki-laki dan perempuan yang berserah diri kepada Allah, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan tulus, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang takut kepada Allah, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menutup aurat mereka, laki-laki dan perempuan yang berzikir kepada Allah, untuk mereka, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar.”

Namun, dengan upaya sungguh-sungguh dalam memahami sebuah teks (Alquran atau hadis), dibarengi dengan sikap arif bijaksana, kesan kontradiktif pada teks-teks keagamaan dapat dihindari, termasuk antara hadis dan ayat di atas.

Dawuh Nabi di atas sesungguhnya pun telah jelas, yang menyebabkan mereka masuk neraka adalah karena perbuatan dosa yang mereka kerjakan, yaitu mengingkari hak-hak yang telah mereka dapat dari suami-suami mereka (takfurna al’asyir) dan terlalu banyak mengeluarkan kata bernada laknat (tuktsirna al-li’an), bukan karena keperempuanan mereka.

Yang perlu dipahami, pertama, bahwa dua perbuatan dosa tersebut merupakan perbuatan manusiawi yang lahir dari sifat dasar manusia (emosi), karenanya bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk laki-laki (suami). Keduanya bisa saja mengungkit-ungkit hak dan kewajiban, ketika keduanya terlibat pertengkaran yang kerap terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Karena relasi suami isteri adalah relasi antara hak dan kewajiban. Sehingga, walaupun audiens hadis tersebut adalah perempuan (isteri), namun ketetapan hukumnya berlaku bagi laki-laki (suami) dan perempuan (isteri).

Kedua, bisa saja mukhatab (audiens) yang dihadapi Nabi, saat itu, adalah para perempuan yang memang kerap melakukan dua dosa tersebut, tanpa mereka ketahui bahwa perbuatan itu merupakan sebuah dosa, sehingga Kanjeng Rasul, sesuai dengan tugasnya menyampaikan kebenaran, merasa harus mengingatkan mereka. Maka, konteks hadis tersebut terbatas hanya pada para perempuan yang melakukan dua dosa tersebut dan bukan perempuan secara keseluruhan.

Maka, hanya satu kata kunci yang menjadi pembeda antara manusia satu dengan yang lainnya, di hadapan Tuhan-Nya, yaitu ketakwaan, bukan keutamaan nasab, bukan jenis kelamin, bukan pula kemulian suku. Betapa “demokratis”nya Allah. Renungkanlah pernyataan-Nya, “Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian, di kehadirat Allah, adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat/49:13).

Kata kunci itulah yang akan menjadi pembuka pintu surga-Nya. Siapa saja yang memegang kunci tersebut, maka dialah yang berhak membuka pintu surga itu. Wallahu a’lam bis-shawab.

Pahala Berkurban

30 July 2008 § 4 Comments


Oleh Juman Rofarif

Kolom “Hikmah” Republika, Senin, 2 Februari 2004

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu sebuah sungai di surga (al-kautsar). Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus. (al-Kautsar: 1-3).

Dalam satu riwayatnya, Imam Ahmad meriwayatkan perihal turunnya ayat di atas, shahabat Anas bin Malik telah berkata: Suatu ketika Rasul sedang berbaring istirahat. Tiba-tiba beliau terbangun dan tersenyum. Melihat tingkah Rasul demikian, para shahabat yang pada saat itu berada di sekelilingnya bertanya, “Mengapa engkau tersenyum, wahai Rasulullah?” Rasul kemudian menjawab, “Baru saja, Allah telah menurunkan sebuah surat kepadaku.”

Rasulpun membacakan surat yang dimaksud hingga selesai. “Apakah kalian mengerti apa yang disebut dengan al-kautsar itu?” kata Rasul memberikan pertanyaan kepada para shahabat yang hadir pada saat itu. “Allah dan Rasulnya yang lebih tahu,” jawab para shahabat. Rasul menjelaskan, “Al-Kautsar adalah sebuah sungai di surga yang memiliki banyak kebaikan, dan telah Allah berikan kepadaku.”

Dalam riwayat lain, Rasul juga mengilustrasikan al-kautsar sebagai “sungai di surga yang tepiannya dikelilingi oleh emas, airnya mengalir di atas permata. Air sungai itu lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dan Ibnu Majah.

Makna ‘al-kautsar’ menurut sebagian ahli tafsir adalah sebuah simbol dari sebuah kebaikan dan kenikmatan yang berlimpah yang akan Allah berikan pada kepada hambanya, baik di dunia maupun di akhirat. Nikmat itu akan diberikan kepada hamba-Nya yang mau beribadah dengan ikhlas, menjalankan shalat lima waktu beserta sunnat rawatibnya, mau berkurban hanya untuk Allah, dan tidak menyekutukan-Nya.

Itulah kemudian, mengapa Allah Ta’ala melanjutkan ayat ‘Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu sebuah sungai di surga’ dengan ayat ‘maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah’. Ayat pertama pada surat di atas merupakan konpensasi dari ayat kedua dan memiliki hubungan timbal balik.

Allah akan memberikan balasan yang setimpal kepada siapa saja yang beribadah dan menjalakan perintah serta menajauhi larangan-Nya. Atas segala nikmat yang telah Allah limpahkan, seseorang harus bersyukur. Syukur yaitu menggunakan nikmat yang telah Allah limpahkan sesuai dengan jalan yang Ia kehendaki, yang semuanya berujung pada satu titik yaitu, ibadah.

Kurban, seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam ayat di atas, hendaknya tidak hanya sebagai ritual simbolis, tetapi memiliki makna yang lebih luas, yaitu jiwa berkorban, kesalehan sosial, serta menajamkan mata hati kita untuk jeli melihat saudara-saudara kita yang di bawah kita.

Dalam satu Hadisnya, Rasulullah menggambarkan balasan orang yang berkurban, “Tidak ada perbuatan yang paling disukai Allah pada hari raya haji selain berkurban. Sesungguhnya orang yang berkurban akan datang pada hari kiyamat dengan membawa tanduk, bulu, dan kuku binatang kurban itu. Dan sesungguhnya darah kurban yang mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada Allah dari pada (darah itu) jatuh ke bumi. Maka sucikanlah dirimu dengan berkurban.” (HR. al-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Allah A’lam

Permohonan Hidup “Miskin” Nabi

26 July 2008 § 5 Comments


Dalam kitab Sunan-nya, Imam Tirmizi meriwayatkan hadis dari sahabat Anas yang berisi doa Nabi,

اللهم أحييني مسكينا وأمتني مسكينا واحشرني في زمرة المساكين

Ya Allah, hidup dan matikanlah Aku dalam keadaan miskin (miskinan). Dan masukanlah Aku dalam kelompok orang-orang miskin pada hari kiamat kelak.

Ada juga hadis lain,

الفقر بالمؤمن أحسن من العذار الحسن على خد الفرس

Bagi seorang mukmin, kefakiran (al-faqru) itu lebih baik daripada tali kendali kuda yang bagus.

Kedua hadis di atas menyuratkan seakan-akan hidup dalam keadaan miskin adalah harapan dan bagus. Namun, dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, Nabi pernah berdoa meminta kekayaan,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ غِنَايَ وَغِنَى مَوْلَايَ

Ya, Allah, Aku memohon kepada-Mu kekayaan.

Ada juga hadis yang menyatakan bahwa Nabi berlindung dari kefakiran.

أنه تعوذ بالله من الفقر

Seolah-olah ada pertentangan makna di antara hadis-hadis di atas.

Namun, tidak demikian menurut Ibnu Qutaibah.

Menurut Ibnu Qutaibah, kata “miskinan” (مسكينا)  di hadis pertama berarti tawadlu’ dan ikhbat atau “merendahkan diri di hadapan Allah”, bukan miskin dalam arti tidak memiliki harta benda. Dalam contoh تمسكن الرجل (tamaskana al-rajul), kata “tamaskana” di sini berarti لان (lana atau lemah lembut), تواضع (tawadla’a atau tawaduk), خشع (khasya’a atau khusuk), خضع (khadla’a atau rendah hati). Dalam sabda Nabi untuk orang-orang yang mengerjakan shalat disebutkan,

الصَّلَاةُ مَثْنَى مَثْنَى أَنْ تَشَهَّدَ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَأَنْ تَبَاءَسَ وَتَمَسْكَنَ وَتُقْنِعَ بِيَدَيْكَ

Shalat itu dua rakaat-dua rakaat. Bertasyahud (duduk tahiyat) pada setiap dua rakaat. Tampakkanlah “penderitaan” (kefakiran) di hadapan-Nya, rendahkanlah dirimu (tamaskana) di hadapan-Nya, dan angkatlah kedua tangan ketika berdoa (sesudah shalat).

“Tamaskana” di sini berarti “takhasysya’a” (menampakkan kekhusyukan) dan “tawadla’a” (tawaduk) di kehadirat Allah.

Begitu juga dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Haitsami dalam kitabnya, Majma’ al-Zawaid. Suatu ketika Nabi menyapa perempuan bernama Qailah,

يا مسكينة

Ya “Miskinah”

Nabi menyebut sahabat Qailah dengan “Miskinah” bukan berarti Qailah orang miskin (fakir), tapi untuk menyebut “al-dla’fu” (renta).

Dari keterangan-keterangan di atas, Ibnu Qutaibah hendak menjelaskan, dalam bahasa Arab, istilah yang digunakan untuk mengungkapkan arti “tidak berpunya” atau “miskin” adalah kata الفقر atau “al-faqr”. الفقير atau “faqir” berarti orang yang tidak berpunya. Sehingga, menurutnya, “maskanah” yang diminta Nabi dalam hadis di atas (hidup dan matikanlah Aku dalam keadaan miskin) bukan dalam arti “al-faqru” (kefakiran), tapi “maskanah” dalam arti “tawadla’a” (rendah hati), sebagai lawan kata “takabbur” (sombong).

Sehingga, makna doa Nabi di atas adalah: “Ya Allah, hidup dan matikanlah Aku dalam keadaan rendah hati dan tawaduk di hadapan-Mu, tidak sombong di hadapan-Mu. Dan masukanlah Aku dalam golongan orang-orang yang rendah hati dan tidak sombong di hari kiamat kelak.”

Demikian pendapat Ibnu Qutaibah dalam mengomentari hadis pertama.

Selanjutnya, Ibnu Qutaibah mengomentari hadis kedua (Bagi orang mukmin, fakir itu lebih baik dari tali kendali kuda yang bagus). Hadis ini mengibaratkan balasan yang akan diterima oleh orang fakir (miskin dalam arti “tidak berpunya”) jika mampu menyikapi kefakirannya dengan benar. Hadis tersebut tidak bermaksud mendukung hidup dalam kefakiran, bukan pula menghendaki seorang mukmin hidup dalam kefakiran.

Kefakiran merupakan varian ujian dalam dinamika kehidupan dunia. Sikap orang-orang yang ditimpa dengan ujian ini pun bervariasi. Tidak semua orang mau menerima dan sabar menghadapi hidup dalam belitan kemiskinan. Namun, banyak juga yang mampu menanggung ujian itu dan mampu menyikapinya dengan sabar. Sikap terakhir inilah yang dikehendaki oleh hadis tersebut.

Sehingga hadis di atas itu memiliki arti, “Bagi orang mukmin, kemiskinan yang disikapi dengan sabar itu lebih baik daripada tali kendali kuda yang bagus”. (Tali kendali pada masa Nabi adalah simbol prestise). Sebab, tidak semua orang mampu bersabar hidup dalam kemiskinan. Hanya orang fakir yang sabar dan ikhlas saja yang akan mendapatkan balasan yang layak di akhirat kelak.

Sehingga, kunci dari semua itu adalah sabar dan ikhlas. Orang fakir yang sabar dan ikhlas lebih baik (di hadapan Allah) ketimbang orang fakir yang tidak sabar dengan kefakirannya. Namun, yang ideal adalah orang kaya yang bersyukur dan ikhlas.

Ibnu Qutaibah menukil perkataan Mutharrif, “Aku diberi kesehatan kemudian bersyukur lebih aku sukai ketimbang aku harus diuji dengan musibah kemudian bersabar.”

Wallahu a’lam.

(Disarikan dari kitab Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits karya Ibnu Qutaibah)

Makan Dalam Posisi Berdiri

26 July 2008 § Leave a comment


Di dalam kitab Sunan-nya, Imam Tirmizi meriwayatkan hadis yang melarang minum dengan posisi berdiri,

Dari shahabat Anas, Nabi shallallu’alihi wasallam melarang seseorang minum dalam posisi berdiri (qaiman). Kemudian ditanyakan kepadanya: “Bagaimana dengan makan?” Nabi menjawab, “Lebih-lebih makan.”

Literal hadis ini dengan gamblang melarang minum dengan posisi berdiri. Namun dalam hadis lain, yang juga diriwayatkan oleh Imam al-Tirmizi, disebutkan,

Dari Ibnu Umar, “Rasulullah shallallu’alihi wasallam pernah minum dalam posisi berdiri.”

Jelas sekali, dalam hadis pertama, Rasul melarang minum dengan posisi berdiri, namun Nabi sendiri justeru pernah melakukannya, seperti tersurat pada hadis kedua. Apakah dua hadis itu kontradiktif?

Tidak demikian pendapat Ibnu Qutaibah. Menurutnya kedua tersebut tidak bertentangan.

Kata qama (dan berbagai macam derifasinya; yaqumu, qaim, qum) dalam bahasa Arab sering digunakan untuk arti “melaksanakan”, tidak hanya berarti “berdiri”. Contohnya, qum fi hajatina. Kata qum di sini bukan hanya berarti “berdirilah”, tapi berdiri, berjalan, dan laksanakanlah/usahakanlah. Qum fi hajatina berarti “usahakanlah kebutuhan kami”. Contoh lain dalam ayat al-Quran surat Alu Imran ayat 57,

Dan di antara mereka ada yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya (qaiman).

Kata qaiman (secara kebahasaan berari “orang yang berdiri”) dalam ayat di atas tidak (hanya) artikan “berdiri”, tapi adalah al-muthalabah dan al-iqtidla (menagih). Tentu, ketika menagih, tidak cukup hanya dilakukan dengan berdiri, tapi berdiri, berjalan, datangi orang yang dituju, dan laksanakan kegiatan menagih tersebut.

Begitu juga dengan kata “qaiman” dalam hadis Nabi yang pertama tadi. Arti “qaiman” di situ bukan berarti “berdiri”, tidak hanya makan dan minum sambil berdiri, tapi makan dan minum sambil berjalan atau berlari (karena tergesa-gesa). Itulah yang dilarang oleh Nabi, yaitu makan dan minum sambil berjalan, apalagi berlari, karena akan menyebabkan ketidaknyamanan. Sehingga larangan makan atau minum sambil berdiri lebih sebagai tindak preventif dari berbagai resiko yang mungkin terjadi. Seperti itulah kata “qaim” dalam hadis pertama di atas, yang pahami oleh Ibnu Qutaibah.

Oleh karena itu, menurut Ibnu Qutaibah, makan atau minum sambil berdiri (dalam arti yang sebenarnya) diperbolehkan (la ba’sa bi zalik) selama dalam kondisi tidak berresiko. Dengan demikian, makan atau minum dalam posisi berdiri dan tenang sama halnya seperti dalam posisi duduk. Seperti inilah pemahaman Ibnu Qutaibah ketika membaca hadis Nabi yang kedua. Yaitu berdiri dengan tenang, dan tidak sambil jalan.

Namun bagi saya, jika makan sambil jalan pun tidak ada resiko, tidak ada masalah dan boleh-boleh saja.

Musibah & Derita

24 July 2008 § Leave a comment


Tulisan ini bermaksud menyentuh sisi terdalam seorang manusia ketika harus menghadapi musibah.

Musibah dan Derita

Musibah adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan dunia. Keniscayaan ini dijadikan oleh Tuhan sebagai instrumen penguji bagi sifat kehambaan dan keimanan seseorang kepada-Nya, sebagaimana halnya sebuah kenikmatan. Tuhan tidak saja menguji hamba-Nya dengan limpahan nikmat, untuk mengetahui kadar syukur yang dimilikinya, tapi juga dengan musibah untuk mengetahui kadar kesabarannya. Syukur dan sabar itulah hasil ujian yang dituntut oleh Tuhan.

Musibah dan penderitaan memiliki kaitan yang erat, walaupun pada dasarnya adalah dua hal yang tidak selalu identik.

Musibah (juga anugerah) adalah suatu keniscayaan dalam hidup dan muncul di luar kendali manusia, seperti yang Tuhan contohkan dalam Alquran, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita bahagia kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155). Ketika Tuhan telah mentakdirkan musibah kepada hambanya, maka tidak ada yang dapat menampiknya.

Sedangkan penderitan (juga kebahagian) adalah sebuah pilihan dan muncul dari subyektifitas jiwa, karenanya ia ada dalam kendali manusia. Rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, kematian dan musibah-musibah lainnya, bagi sebagian orang dapat menjadi derita, tapi boleh jadi tidak demikian bagi sebagian yang lain. Sebaliknya, keberlimangan harta, kehidupan yang sejahtera, popularitas, bagi sebagian orang dapat mendatangkan kepuasan, tapi boleh jadi tidak bagi yang lain. Sebab, kebahagiaan dan penderitaan bukan terletak pada suatu materi dan tubuh, namun pada jiwa. Di jiwa kitalah bahagia dan derita dikendalikan.

Lanjut ayat di atas, “ (orang-orang yang sabar) yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka akan berucap innalillahi wa inna ilahi raji’un (sesungguhnya kita milik Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali).” (QS. Al-Baqarah: 156).

Pada ayat ini sesungguhnya Tuhan telah memberikan kunci untuk membuka kebahagian jiwa, hatta saat ditimpa musibah sekalipun. Kunci itu adalah pengakuan dan kesadaran bahwa kita dan apa yang ada pada diri kita seutuhnya adalah hak Tuhan. Kunci itu akan membimbing kita dalam keadaan apapun, yaitu bersabar ketika ketika ditimpa musibah dan bersyukur ketika mendapat nikmat. Bagi orang-orang seperti ini (bersabar), musibah tidak akan menjadi derita.

Penderitaan atas musibah dan masalah hanya dirasakan oleh orang-orang yang tidak memiliki kesabaran. Dengan kata lain, orang yang tidak bersabar sesungguhnya telah memilih penderitaannya.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik dalam Shahih-nya, suatu ketika Rasul sedang jalan-jalan, dan menjumpai seorang perempuan sedang menangis di samping gundukan tanah kuburan, larut dalam kesedihan karena kehilangan orang yang dicintainya. Melihat kemalangan yang menimpa perempuan tersebut, Rasul mendekat dan menasihatinya, “Bertakwalah kepada Tuhan dan bersabarlah!”

Bukannya menuruti nasihat Rasul, perempuan itu justeru marah dan menyuruh Rasul pergi. “Pergilah menjauh dariku! Kau tidak merasakan deritaku!” Rasul pun pergi meninggalkan perempuan malang itu. Si perempuan tidak tahu jika yang menasihatinya adalah Rasulullah. Setelah tahu bahwa yang menasihatinya adalah Rasul, perempuan tersebut segera mendatangi rumah Rasul. “Aku tidak tahu kalau waktu itu adalah Engkau,” kata perempuan itu kepada Rasul.

Kemudian beliau bersabda, “Sabar yang sempurna adalah sesegera mungkin setelah tertimpah musibah.”

Kesabaran adalah modal mental untuk menyelesaikan masalah. Jika kesabaran tidak menyelesaikan masalah, maka ketidaksabaran akan menghancurkannya menjadi puing-puing derita. Frustrasi!

Orang yang bersabar akan menjumpai dalam dirinya ketenangan jiwa, dan itulah yang menyebabkannya selalu merasa bahagia. Pun, walau tetap merasakan kesedihan, ia tidak akan dibuatnya menderita. Sungguh, satu kedalaman rasa yang tidak mudah, bukan!

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with muslimah at Warung Nalar.

%d bloggers like this: