Tentang Perempuan; Mayoritas Tapi Minoritas

25 May 2008 § 1 Comment


ADA pertanyaan terlontar perihal perempuan, “Mengapa dalam dominasi kuantitasnya, perempuan (secara umum) minoritas dalam kualitas (peranan), ketimbang laki-laki?”

Ini realita, terjadi dalam berbagai hal, dalam ranah struktural maupun kultural, dari tingkat kelurahan sampai parlemen. Dalam komunitas yang terbuka untuk laki-laki dan perempuan, hampir peran laki-laki selalu mendominasi. Kalaupun ada peran perempuan yang dominan, itu sedikit dan terjadi dalam komunitasnya sendiri dan dalam masalah ‘kewanitaan’.

Data Inter-Parliametary Union 2002 menunjukan rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia. Angkanya baru sekitar sembilan persen. Sesuai dengan prinsip keterwakilan dalam demokrasi, maka bila jumlah perempuan di Indonesia lebih dari 50 persen, tidak layak bila hanya diwakili oleh kurang dari 10 persen.

Dalam Pemilu 2004 lalu, kuota untuk perempuan di parlemen ditambah menjadi 30 persen. Namun, tetap saja angka itu adalah kecil bila ketimbang jumlah perempuan Indonesia. Bandingkan dengan kuota untuk laki-laki di parlemen. Dengan jumlah laki-laki yang kurang dari 50 persen (dari jumlah penduduk keseluruhan), mereka mendapat kuota 70 persen! Dan ironisnya, walaupun kuota untuk perempuan dalam parlemen ditambah menjadi 30 persen, tapi seolah-olah tidak ada kesungguhan untuk benar-benar menambah jumlah kursi untuk perempuan dalam parlemen. Sebab, ternyata caleg-caleg perempuan ditempatkan di nomor sepatu, bukan nomor jadi.

Itu baru satu contoh yang paling kongkrit. Dalam institusi pendidikan, misalnya, berapa jumlah dosen perempuan (menunjukan kualitas intelektual). Berapa persen jumlah mahasiswi di dalam ruang kelas (menunjukan minat perempuan dalam intelektualitas). Dalam instistusi pemerintahan, pendidikan, perusahaan, atau badan struktural lainnya, hampir seluruhnya laki-laki-lah yang memegang posisi strategis.

Secara umum, sebenarnya jawaban dari persoalan di atas mudah; minoritasnya SDM perempuan. Di samping kendala kultural dan struktural, memang ada beberapa faktor ‘alamiah’ dan kodrati yang ‘menuntut’ perempuan untuk tidak bisa bergerak dan berperan seleluasa laki-laki. Untuk yang terakhir bisa dimaklumi dan wajar. Tapi, hal tersebut sebenarnya tidak menjadi soal. Terbukti dengan adanya sosok-sosok perempuan yang menasional. Tapi, sekali lagi, yang seperti mereka hanya sedikit.

Keluar dari faktor-faktor kodrati, sesungguhnya (ini perlu disadari) ada faktor ‘kesengajaan’ yang menghambat peran kualitas intelektual perempuan. Faktor kesengajaan itu adalah di mana perempuan-perempuan telah di-setting agar tidak berperan dan cenderung dijadikan ‘objek’. Perempuan ditempatkan sebagai objek untuk dieksploitasi secara seksual. Perempuan dinobatkan sebagai bidadari jelita yang dipertontonkan, dipersembahkan, dan diperebutkan untuk semua orang, dengan keindahan fisik yang dimilikinya. Kita seharusnya tersinggung dan marah dengan hal itu, ketika yang dihargai dari perempuan adalah bibirnya, dadanya, pahanya, pinggulnya, bokongnya, rambutnya, bodynya. Kita seharusnya marah, kenapa bukan otaknya yang dihargai. Ini penghinaan! Tidak manusiawi!

Siapakah yang paling berperan dalam ‘pengobjekkan’ perempuan? Media massa. Perkembangan media massa beserta segala perangkat komunikasi saat ini memang menjalankan proses ‘pengobjekkan perempuan’. Selain media massa, (sebetulnya) jangan-jangan perempuan-perempuan itu sendiri, secara bawah sadar merelakan pengobjekkan itu, dan dengan sendirinya ia telah berperan dalam pengobjekkan dirinya sendiri, karena merasa pengobjekkan tersebut memberikan keuntungan bagi dirinya. Atau, jangan-jangan, tanpa disadari, kita pun melakukan pengobjekan tersebut, dan diam-diam menikmatinya.

Pengobjekkan adalah penghinaan, bukan hanya bagi perempuan sendiri, tapi bagi kemanusiaan secara keseluruhan. Sebagai mahluk yang dikaruniai otak dan akal yang membedakan dengan mahluk lainnya, tidak sepatutnya manusia menjadi objek. Otak (akal) yang merupakan karunia paling istimewa untuk manusia dan tidak dimiliki mahluk lain, tapi juteru banyak yang tidak merasa istimewa dengannya. Dan akan merasa istimewa dan terpandang oleh selainnya, merasa istimewa oleh kulit mulus, bibir seksi, dada menggunung, pinggul menggitar, yang notabene organ-organ tersebut juga dimilki oleh mahluk selain manusia. Mengistimewakan organ tubuh manusia tidaklah manusiawi. Yang manusiawi adalah mengistimewakan yang hanya dimiliki oleh manusia, dan tidak dimiliki oleh mahluk lain, yaitu otak alias akal. Karena di situlah hakekat kemanusiaan manusia (hayawan natiq).

Inilah tantangan bagi aktivis emansipan, aktivis perempuan dan aktivis gender untuk mengembalikan perempuan (dan kemanusiaan secara keseluruhan) ke dalam ‘habitat’ asalnya sebagai mahluk berotak dan berakal, sebagai mahluk yang dihargai karena akalnya, sebagai mahluk yang diperebutkan karena SDM-nya, bukan karena bodynya. Itulah seharusnya, sebelum mereka berteriak keras tentang emansipasi (di segala bidang). Bukan berteriak-teriak emansipasi tanpa melihat kualitas yang diperjuangkan (perempuan itu sendiri), sehingga yang terjadi adalah memaksakan emansipasi dan akhirnya menghasilkan emansipasi yang tak berkualitas.

Emansipasi peran laki-laki dan perempuan akan berjalan secara kultural, jika intelektualitas, yang merupakan jembatan ke arah itu, menjadi ukuran dan dihargai. Pengobjekkan perempuan akan sirna, jika yang dihargai adalah otaknya.

Jadi, mengapa terjadi minoritas peran perempuan?

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with opini at Warung Nalar.