Kidung Malam Jumat

10 May 2009 § 1 Comment


Iqamah sembayang Maghrib di langgar yang hanya berjarak satu rumah di depan, biasa dilangsungkan sepuluh sampai lima belas menit setelah azan dikumandangkan. Pada jeda itu, muazin akan menembangkan kidung-kidung. Para jamaah yang telah hadir sebagian melakukan sembayang qabliyah, sebagian yang lain duduk bersila ikut menembangkan kidung, puji-pujian.

Pada Maghrib malam Jumat, kidung yang ditembangkan adalah tentang anjuran mendoakan sanak keluarga yang telah bersemayam di alam lain. Tak pernah diketahui siapa penggubahnya, yang jelas kidung itu telah ditembangkan turun temurun dan hampir semua warga kampung menghafalnya, dari tiyang sepah (orang tua) sampai anak-anak madrasah. Tapi, apa pentingnya kidung semacam itu bagi anak-anak madrasah ingusan yang belum memiliki penghayatan itu kecuali sebagai ajang teriak-teriakan, lalu para orang tua akan menyentak mereka karena hanya mengumbar suara cempreng tak teratur.

Allahumma shalli ‘ala muhammad…

malem jumah ahli kubur tilik umah
nyuwun pandunga ayat quran sakalimah

anak putu ora pada ngaji
ngelus dada mbrebes mili

balik ning kuburan
awan bengi tangis-tangisan…

Setiap malam Jumat, ahli kubur, sanak keluarga yang telah di kubur akan menyambangi keluarganya yang masih hidup, mengharap doa dari mereka meski hanya satu ayat Alquran. Tapi sayang, mereka tidak ada yang mau membacanya. Ahli kubur sedih mengusap dada melihat mereka demikian. Ia kembali ke kubur membawa kekecewaan. Di sana, siang malam ia menangis, meratap…

Selepas sembayang jamaah di Maghrib malam Jumat itu, para orang tua akan mengurung anak-anak mereka di rumah. Tidak boleh ada aktifitas selain membaca Alquran untuk menjamu para ahli kubur yang sedang sambang. Setelah itu, para orang tua akan membebaskan anaknya bermain sepuasnya di luar atau menonton televisi (bagi yang punya televisi, zaman itu), sebab keesokan harinya mereka tidak belajar. Jumat adalah hari libur madrasah.

Para warga, khususnya yang berprofesi tukang ojek, paling takut jika menabrak kucing, apalagi jika si korban tewas seketika di lokasi kejadian. Pelaku penabrakan akan melakukan penguburan sebaik-baiknya pada korban tewas itu. Mereka punya keyakinan, jika kucing itu tak dikubur dengan baik, apalagi dibuang begitu saja, bakal membawa celaka. Sebab, kucing adalah hewan kesayangan salah seorang sahabat Kanjeng Rasul, Abu Hurairah.

Benarkah demikian? Apakah benar, sanak keluarga yang telah meninggal bakal menyambangi rumahnya di dunia? Apakah perlu dibenarkan orang yang punya keyakinan bahwa seekor kucing yang mati tertabrak bakal membawa celaka bagi pelakunya?

Ah, tentu saja tidak. Semua itu hanya bahasa simbol, cara untuk menyampaikan esensi sebuah pesan kearifan. Begitulah “wong ndeso”. Di balik kehidupannya yang bersahaja dengan pola pikir sederhana, mereka menyimpan kearifan mendalam yang telah mengakar, turun temurun menjadi pegangan. Dan, mereka memiliki cara unik beraroma mistik untuk menyampaikan kearifan itu.

Warga kampung barangkali akan takut jika diweden-wedeni bahwa kucing mati tertabrak yang tidak dikubur dengan baik akan membawa celaka pelakunya. Mereka lebih paham dan patuh dengan ancaman semacam itu ketimbang memahami sebuah esensi: agar bangkai kucing tak menimbulkan bau tengik yang akan mengganggu para pejalan kaki. Warga lebih bersedia dan bersemangat membaca Yasin di malam Jumat, mendoakan mbah-nya yang telah meninggal dengan diweden-wedeni bahwa si mbah sedang menjenguk, ketimbang karena kesadaran akan nilai kesalehan. Cara-cara seperti itu memang terkadang lebih mengena dan efektif mendorong seseorang untuk melaksanakan perintah atau anjuran.

Tak pernah diketahui dari mana warga menggali sumber kearifan itu dan memiliki cara unik menyampaikannya. Apakah hal itu memiliki keterkaitan dengan cara agama yang juga tak sedikit menggunakan bahasa simbol dalam menyampaikan esensi pesan, anjuran, perintah (melaksanakan atau meninggalkan), kemudian memengaruhi cara berpikir mereka? Mungkin saja. Sebab, agama—Kitab Suci dan Sabda Nabi—adalah pengajar terbaik ungkapan simbolis, terutama terkait dengan Tuhan dan ketuhanan. Tuhan yang sama sekali tak terjangkau pikiran manusia kerap hadir dalam bahasa manusiawi dengan tujuan membuka jalan agar manusia mampu menyentuh Tuhan dengan pikirannya, menjamah Tuhan dengan penghayatannya. Tuhan hadir dalam bahasa yang bisa dimengerti manusia. Dan tentu saja, bahasa tentang Tuhan hanyalah bayang-bayang Tuhan dan bukan esensi Tuhan itu sendiri.

Kita tahu, misal, Nabi yang pernah mengatakan bahwa pada sepertiga malam Tuhan selalu bertandang ke “langit dunia”, menyeru para penduduk bumi, “man yad’uni, fa astajibu lahu. Man yastaghfiruni, fa aghfiru lahu.” “Siapa yang berdoa, akan Kukabulkan. Siapa yang meminta ampunan, akan Kuberi.”

Tentu kita tidak akan memahami sabda itu bahwa Tuhan benar-benar hadir mengawang-awang di angkasa secara kasat mata, menyeru manusia dengan suara yang memecah keheningan sepertiga malam. Tak masuk akal (mustahil aqli) manusia dan tak layak bagi karakter ketuhanan, jika Tuhan melakukan itu. Dan nyatanya pada sepertiga malam tak pernah terdengar suara seruan kecuali tawa mengakak para insomniak, atau suara kipas dari mainboard komputer yang casing-nya telah rusak, atau hanya suara putaran jarum jam yang berdetak.

Sesuatu yang tak masuk akal, gaib, mistik, yang hadir dalam simbol-simbol, jika tak dipahami esensinya maka ia akan berhenti sekedar menjadi mitos—yang justru kerap menjadi daya dorong cukup kuat untuk melakukan perintah melakukan atau meninggalkan. Terdorong karena sebuah waktu dan tempat, atau karena iming-iming pahala atau weden-weden siksa, serangkai ritual barangkali pernah dilakukan. Pada saat seperti itu, penghambaan terhadap simbol sedang digelar. Mungkin karena sebuah esensi yang terlalu jauh.[jr]

Dalam Rasa

15 February 2009 § 3 Comments


Simbol diwujudkan sebagai ekspresi atas esensi yang asli dan sejati, yang tak terjangkau obyektifikasi inderawi, yang misteri – yang sebab itu selalu dirindui. Simbol bukan esensi yang asli dan sejati. Namun, terkadang memberi pemuasan diri. Simbol kemudian layak dihayati. Sebab rindu, simbol menjadi penting.

Masyarakat pagan jaman jahiliyah adalah adalah para perindu, orang-orang yang kangen akan “Yang Asli” dan “Yang Sejati”, satu esensi yang kehadirannya hanya mewujud dalam wajah yang bersembunyi, dalam bunyi yang sunyi. Patung-patung dibuat sebagai ekspresi kerinduan, sebagai penghubung untuk menjangkau “Yang Jauh”, yang tak terjangkau obyektifikasi inderawi. Ma na’buduhum illa liyuqarribuna ilallah zulfa, seperti dikisahkan Kitab Suci.Kami sembah patung-patung itu semata agar mendekatkan kami kepada Tuhan sedekat mungkin.”

Takdir Tuhan sejatinya adalah “wajah yang bersembunyi”, “bunyi yang sunyi”. Ia sama sekali tak berkehendak diri-Nya menjelma atau dijelmakan dengan sosok yang terang oleh mata dan telinga. Lau aradallah an yattakhidza walad, lashthafa mimma yakhluqu ma yasya. Subhanah. Sekiranya Tuhan hendak menjadikan anak, tentu Ia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah ada. Maha Suci Tuhan.

Biarkan Ia tak terpandang oleh mata, tak terdengar oleh telinga, selalu dan selamanya. Pandangan mata dan pendengaran telinga adalah ilusi. Mata dan telinga manusia yang relatif tak pernah bisa adil dalam melihat dan mendengar Tuhan yang absolut, atau bahkan sekedar “anak”nya – jika saja Ia benar-benar mewujud diri terbuka oleh mata. Menjelmakan Tuhan pada patung-patung, atau mewujudkan patung-patung, atau simbol-simbol apa pun – di mana inderawi adalah pemeran utama – sebagai perantara mendapatkan kedekatan, sesungguhnya adalah ilusi yang reduktif tentang-Nya.

Tuhan menunjukkan kebijaksanaan-Nya yang luar biasa, ketika menolak Musa yang berhasrat agar Ia hadir dalam wajah yang terang, wajah yang terjangkau mata. Tuhan menolak kehadiran diri yang terjamah inderawi.

Sungguh tak terbayang, jika saat itu Tuhan benar-benar kalah oleh hasrat Musa. Kemudian Musa merekam dalam memorinya, wajah Tuhan yang pernah ia lihat. Lalu, dari tutur Musa tersebarlah informasi sketsa wajah Tuhan kepada umatnya, kemudian turun temurun kepada umat selanjutnya, selanjutnya, dan selajutnya hingga masa ini. Atau, katakanlah, pada setiap masa, kepada setiap rasul-Nya, Tuhan menampakkan diri. Tuhan mematok diri pada sebuah simbol yang pasti.

Tuhan Maha Suci dari semua itu. Tuhan mewujud dalam abstraksi di mana realita bersifat fisik tak lagi jadi acuan, hadir dalam bayang-bayang ketak-pastian, melintas-batasi inderawi, melampaui sekat-sekat nalar, tak terpatok kaku pada sebuah simbol yang pasti, memungkinkan siapa pun untuk menghayati-Nya sampai pada batas di mana ia merasakan kenyamanan jiwa.

“Siapa yang menduga ketersingkapan Tuhan terhampar dalam kalimat dan kata, terdampar dalam nalar dan dialektika, maka ia sedang membatasi rahmat Tuhan yang tak terbatas,” kata Imam al-Ghazali dalam al-Munqidz Min al-Dhalal (Pengentas Kesesatan).

Karena Tuhan hadir dalam rasa, di luar kekuasaan indera, di atas kelemahan kalimat dan kata. Dalam rasa, penghayatan tentang Tuhan adalah sesuatu yang sangat personal. Sedangkan kalimat dan kata hanya merupakan percobaan untuk mengulanginya dan menyusunnya. Rekonstruksi dari sebuah rasa.[jr]

Ambiguitas Tuhan

26 January 2009 § 3 Comments


Tuhan adalah sosok yang tak terjangkau, berada di tempat yang teramat jauh. “Ia ada di langit,” kata seorang perempuan, suatu ketika, kepada Rasul. “Perempuan itu telah beriman,” ujar Rasul menilai-benarkan apa yang perempuan tersebut tahu dan hayati tentang Tuhannya.

Langit, jika mungkin ia suatu tempat, maka pastilah tak terhingga jauhnya, tak ada alat ukur untuk menjangkaunya, kecuali hanya sebatas kata. Mungkin, begitu juga dengan al-‘arsy: tempat asing nun jauh di alam antah berantah yang tak terpindai pikiran manusia, di mana Tuhan singgah setelah mencipta semesta. Langit dan al-arsy, sejatinya mungkin sesuatu yang ada, namun yang pasti tak terkira.

Agaknya Tuhan pun tahu akan hal itu, sadar diri-Nya adalah sosok yang jauh, di mana manusia tak bisa hadir untuk menjangkau-Nya. Maka, Ia selalu hadir pada dini hari, pada suatu waktu yang hening, menyambangi setiap manusia yang rindu, mempersilakan diri-Nya dipeluk dan dijamah dengan segenap penghayatan. Bagi sebagian orang, Tuhan yang gaib mungkin bisa “nyata” di gelap malam yang hening, di sebuah “rumah Tuhan” di mana manusia bisa menjumpai-Nya.

Tuhan yang tak terjangkau, yang jauh di langit, yang singgah gagah di al-‘arsy, mungkin lebih disadari dan dimengerti. Sebab, barangkali, dengan semua itu, sosok Tuhan dapat dibanggakan, seolah ke-maha-an-Nya lebih tampak.

Dan ketika Tuhan hadir dalam sosok yang tersisihkan dan terpinggirkan di pojok-pojok bumi, yang hanya terlintas sekilas oleh pandangan mata, yang cuma menempati pojok kecil di ruang pikiran, atau bahkan tak pernah terpikirkan, maka hal itu mengherankan dan tak bisa dimengerti.

Serangkai cerita kecil datang dari Rasul. Dikisahkan, Tuhan berdialog dengan manusia, di akhirat.

“Aku pernah sakit, kenapa kau tak menjenguk? Aku pernah kelaparan dan kehausan, kenapa kau tak peduli?” tanya Tuhan kepada manusia.

Dengan ketak-mengertian mendalam, manusia tersebut berkata, “Tuhan, bagaimana aku bisa menjenguk-Mu, mengantarkan makanan dan minuman untuk-Mu, sedangkan Kau adalah Tuhan semesta alam?!”

Tuhan menjawab, “Tidakkah kau tahu, hambaku si Fulan pernah sakit?! Tidakkah kau tahu, hambaku si Fulan pernah kelaparan dan kehausan?! Aku tahu, kau tahu semua itu, hanya saja kau tak mau peduli. Padahal jika kau mau mendekati mereka, niscaya kau akan menjumpaiku di sisi mereka.”

Tuhan hadir dalam ambiguitas yang mengesankan. Ia mengawang di langit jauh, singgah gagah di singgasana al-‘arsy, dan sekaligus senantiasa bersama manusia di bumi, bahkan lebih banyak bersama manusia-manusia tersisih yang tak menyita perhatian mata.

Ambiguitas ini menyiratkan pemaknaan dan penghayatan yang luas tak terbatas tentang Tuhan. Karenanya, setiap hati memiliki kemandirian dan kebebasan mencari pemaknaan dan penghayatan itu sampai pada pilihan di mana ia merasakan kenyamanan.[jr]

Merebut Allah, Merebut Bayangan

8 December 2008 § 3 Comments


al-rahman ‘ala al-arsy istawa…

Tuhan adalah “sosok” yang tak pernah terbatas, rampung, final, dan komprehensif. Maka, berkahlah bagi manusia, Tuhan membahasakan diri, membatasi diri dengan bahasa yang manusiawi, dengan kata-kata, untuk diketahui manusia sehingga mereka dapat berkata-berkata tentang-Nya, meski dengan piranti nalar yang terbatas, bisa rampung dan final. Sebab itu, manusia mampu berbicara dan berkata-kata tentang Tuhan hanya pada batas-batas yang mampu dikatakannya.

Namun, bahasa selalu tak memadai untuk sepenuhnya mendeskripsikan, menjelaskan, dan dengan itu pula membubuhkan nilai dan merumuskan makna. Ribuan kalimat tersusun merangkai yang Tuhan firmankan tentang diri-Nya, bukanlah batas paling maksimal dan esensial tentang-Nya. Maka, bahasa sebenarnya hanya menangkap jejak, memotret bayangan dari “tongkat” yang tak pernah rampung dan final itu.

Bahasa, yang Tuhan gunakan untuk menjelaskan diri-Nya kepada manusia, adalah sebuah simbol: sebuah isyarat untuk mengungkapkan sesuatu dan pada saat yang sama menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar dan tak terdeteksi indera tapi bisa dibahasakan, maka bahasa itulah simbol, jejak, bayangan dari esensi sesuatu itu. Kau bisa membaca, menafsirkan sebuah bahasa, tapi barangkali tak layak menyatakan diri telah sampai pada batas paling esensial, final, dan absolut. Selalu mungkin ada yang tersembunyi dari sebuah bahasa, yang luput dari sekedar pembacaan atasnya.

Selanjutnya, hal itu mengantarkan pada konskuensi wajar: bahasa tersaji terbuka untuk ditentukan oleh maksud pembaca. Tuhan membahasakan diri lewat bahasa simbol yang – dengan segenap misteri tersembunyi – merangsang manusia, sebagai pembaca, untuk mengurai, menelaah, menalar, sampai akhirnya memecahkan dan menentukan misteri yang tersembunyi dari balik simbol itu, sekali lagi, pada batas-batas yang mampu dikatakannya. Dan Tuhan, sebagai penulis kisah, bahkan pelaku cerita dari sebuah teks bahasa, dan paling mengerti maksud esensial bahasa itu, tak lagi hadir sebagai pengarah, “lepas tangan”, memberikan kewenangan kepada manusia untuk melakukan elaborasi.

Kita sadari atau tidak, itulah takdir bahasa.

Sepenggal firman yang saya nukil di atas, adalah (salah satu) contoh di mana Tuhan – esensi yang tak terjangkau nalar dan tak terdeteksi indera – membahasakan diri pada batas bahasa dan kata yang paling reduktif, tapi dengan itu manusia bisa berinteraksi. Firman itu kita terjemahkan dengan: “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam pada Arsy”.

Dari pengalaman empirik, kita bisa meraba-raba sepenggal firman itu, aktifitas “bersemayam” melibatkan dua unsur: “yang bersemayam” dan “yang disemayami”, dengan sederet persoalan di belakangnya, misalnya, bagaimana posisi “yang bersemayam” pada “yang disemayami”. Seperti apakah bentuk “yang disemayami” itu, apakah lebih besar dari “yang bersemayam”, jadi, katakanlah “yang disemayami” itu seperti rumah, atau lebih kecil, maka katakanlah “yang disemayami” itu sepeti kursi. Jika “yang disemayami” disepertikan rumah atau kursi, ke arah manakah ia menghadap.

Tentu, ada kemungkinan lain, misalnya, kita setuju dengan arti reduktif itu, hanya saja, karena ini menyangkut Allah, Tuhan Yang Maha Suci, maka tak perlulah ditanyakan, “bagaimana” dan “seperti apa” Ia bersemayam, yang pertanyaan itu hanya layak disandarkan kepada manusia. Bersikap al-tanzih saja. Yang jelas, bahasa Tuhan tentang diri-Nya adalah bahasa kebenaran. Sekilas, ini seperti pasrah menyerah pada bahasa, tapi sesungguhnya adalah sebuah sikap pilihan.

Atau sebuah kemungkinan lain: kita harus lari dari teks bahasa reduktif itu untuk menemukan makna, agar tidak terjebak pada pertanyaan-pertanyaan tak elok dan tak bakal selesai, atau terperangkap pada kesan pasrah menyerah pada bahasa. Makna lain itu, misalnya, sepenggal firman di atas adalah bahasa Tuhan untuk menyimbolkan ke-Maha-Perkasa-annya. Bagi Tuhan, cuma ada dua hal: diri-Nya dan bukan diri-Nya yang lahir dari diri-Nya. Dan yang bukan diri-Nya itu berada dalam lingkaran kuasa dan pengawasan-Nya. (Atau, sesungguhnya cuma ada diri-Nya, dan yang lain hanyalah manifes dari-Nya).

Atau, kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lain di mana Kau sampai pada batas kenyamanan dan ketentraman hati.

Kau juga bisa mencari kemungkinan pemaknaan, misalkan, pada “wahuwa ma’akum anama kuntum” (Tuhan selalu menyertai di mana pun kalian berada), pada “yadullah fauqa aidihim” (Tangan Tuhan ada di atas tangan mereka), pada “qalb al-mu’min baina ishbain min ashabi’ al-rahman” (Kalbu orang beriman ada dalam genggaman jemari Tuhan), atau juga pada “…jannaat tajri min tahtiha al-anhar” (…surga yang di bawahnya melintas aliran sungai) …

Selalu ada kemungkinan yang bisa Kau temukan dari sebuah teks bahasa. Bila Kitab Suci punya pengantar dan tamat, teks bahasa Kitab Suci adalah sebuah hamparan pemaknaan yang meruah, membentang, jalin menjalin, terus menerus, tak punya awal, tak kunjung final. Dan, ketika kemungkinan sedemikian meruah, pilihanmu pada salah satu kemungkinan di antara yang meruah itu, sesungguhnya bukan lagi semata berdasar pada kebenaran nalar, tapi pada kenyamanan dan ketentraman hati.

Jelas, Allah, Ilahi, Rabbi, Tuhan, Gusti, Pangeran, God… hanya simbol, jejak, bayangan, sebuah batas bahasa di mana kita bisa berkata-kata, berdiskusi, berdebat tentang esensi yang supernatural, tak terjangkau nalar, tak terdeteksi indera, di mana sebuah esensi itu transenden, Yang Maha. Namun, bahasa akan bernasib “selalu tak memadai untuk sepenuhnya mendeskripsikan, menjelaskan”. Allah (sebagai bahasa) terlalu sempit, tidak akan sepenuhnya memadai untuk mendeskripsikan, menjelaskan Allah sebagai esensi yang supernatural, transenden, Yang Maha.

Telah lebih dari setahun, Malaysia memberlakukan larangan kata “Allah” digunakan media non-Islam. Hanya terjadi di Malaysia, kata “Allah” diklaim sebagai hak eksklusif umat Islam untuk menggunakannya. Alasannya: penggunaan kata “Allah” di media non-Islam ditakutkan akan menimbulkan gejolak di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Alasan yang cenderung naif.

Pertama, ini sama sekali sepele, tidak esensial dan tidak mencerdaskan. Kedua, cukup untuk menggambarkan “hidup yang didominasi oleh kuantifikasi, sebuah hidup yang memusuhi perbedaan kualitatif”. Ketiga, menunjukkan kepongahan mayoritas, dan pada saat yang sama inferioritas mayoritas, mayoritas yang kurang percaya diri, yang rapuh, sehingga membutuhkan kekuatan (pemerintah sekalipun) untuk menopangnya. Ini penyakit.[]

Yoga

2 December 2008 § 2 Comments


Sepenggal firman tersurat: fas aluu ahl al-dzikr in kuntum la ta’lamuun. “Jika tidak tahu, sampaikanlah pertanyaan kalian kepada ahli zikir”. Dua kali Tuhan menyuratkannya pada dua surat yang berbeda.

Secara spesifik, sepenggal firman itu merupakan bagian dari rangkaian kisah dialektikal Nabi dengan sebagian kalangan Arab waktu itu yang didera keraguan, mempertanyakan kerasulan Muhammad, sebab menimbang dirinya hanyalah manusia. Mungkin mereka juga bakal meragukan siapapun, seandainya ada manusia lain yang memproklamirkan diri menjadi rasul. Keyakinan mereka terhadap transendental Tuhan, memunculkan sikap penyucian terhadap-Nya (al-tanzih). Tuhan mesti dijauhkan dari dunia empiris, tidak layak bersentuhan dengan hal-hal profan, dari hal-hal yang berbau tanah bumi, beraroma keringat manusia. Maka, yang pantas menjadi rasul, menurut mereka, adalah para malaikat, mahluk langit.

Allah a’dzam min an yakuna rasuluhu basyar,” kata orang-orang itu. “Mosok iya, Tuhan dengan segenap keagungannya mau menjadikan rasul-Nya dari kelas manusia?! Itu akan menggerogoti transendental Tuhan!”

Ini persoalan kelas berat, yang nalar Nabi sendiri barangkali tak dapat memberikan jawaban meyakinkan kepada mereka. Maka, Tuhan sendiri yang menjawabnya.

Akana li al-nas ‘ajaban an auhaina ilaa rajulin minhum,” kata Tuhan.”Memangnya kenapa, jika yang menjadi rasul adalah manusia?! Herankah Kalian dan merasa aneh, jika Aku berikan titah kepada seorang laki-laki di antara Kalian?!”

Wama arsalna min qablika illa rijalan nuhi ilaihim,” Kata Tuhan lagi.”Pada masa lalu, yang Aku jadikan rasul pengantar wahyu juga manusia, lebih spesifiknya para lelaki.”

“Jadi, why not?!”

Agaknya mereka yang didera keraguan itu hanyalah orang-orang yang pandangan hidupnya membentur dinding tebal masa di mana mereka hidup, eksklusif dengan pemikiran, pengetahuan, dan informasi yang beredar pada masanya atau kalangannya saja, tanpa menyadari atau mungkin juga tak mau tahu jika di balik dinding tebal masanya ada masa lalu yang menghamparkan pemandangan luas. Mereka tidak memiliki jargon mulia seperti dalam tradisi NU: al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih, wal-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Menggali, menemukan, dan merawat warisan masa lalu, menengok preseden masa silam yang dapat memberikan pengayaan wacana, sekaligus mengikuti, mengamati, bahkan melibatkan diri pada perkembangan wacana masa kini yang juga dapat memberikan pengayaan, agar pengetahuan menjadi komperhensif dan lebih kaya.

Mungkin juga, karena tidak atau belum memiliki keimanan, mereka tidak atau belum memahami adagium bijak nan bajik, “al-hikmah dhallah al-mu’minin” atau “kebijaksanaan adalah barang hilang orang-orang beriman”. Karena lokasi hilangnya tidak jelas betul, maka di mana pun dan pada apa pun kebijaksanaan itu dijumpai, pungut saja.

Maka, jadilah mereka katak dalam tempurung. Eksklusif. Mereka melihat dirinya digdaya, tapi sebenarnya adalah kedunguan.

Mereka tidak tahu, perihal rasul dan risalah telah merayap sejak zaman purba, telah ada presedennya, dan yang terjadi dengan Muhammad hanyalah mata rantai. Dengan muatan kombinasi kemulian tradisi NU dan kebajikan adagium di atas, Allah menyarankan lawan dialektikal Rasul agar banyak belajar kepada siapa saja, termasuk kepada orang paling alimnya kelompok Nasrani, paling ahlinya kalangan Yahudi, para pakar Taurat, para pakar Injil, jika memang informasi dari Islam dianggap kurang kuat dan komprehensif. “Fas aluu ahl al-dzikr in kuntum la ta’lamuun”.

Ahl al-dzikr, ahli zikir bukanlah orang-orang yang zikirnya khusyuk dengan deraian air mata diiringi isak tangis sebagai latar sendu. Ahli zikir adalah para pakar intelektual. Kepada merekalah, lawan dialektikal Rasul disuruh menghadap membawa kebodohannya.

“Jika kalian tidak yakin, coba tanyakan, diskusikan dengan para intelektulal dari kalangan mana pun, Islam, Nasrani, Yahudi, atau para pakar mana pun yang menguasai kitab-kitab samawi, kalian akan menemukan satu jawaban, bahwa para rasul yang telah diterjunkan ke bumi, semuanya adalah manusia, tidak ada satu pun dari jenis malaikat. Dan itu tidak ada kaitanya dengan transendental atau profan. Sebab, bagaimana pun, Aku akan tetap menjadi diriku sendiri. Jangankan sekedar mengutus rasul dari kelas manusia, keagunganku tak akan dekaden secuil pun, meski umat seluruh dunia mengutukku. Atau, seandainya umat seluruh dunia memujiku, itu sama sekali tak akan menambah derajat kemualianku,” begitu kira-kira jawaban Tuhan untuk lawan dialektikal Rasul.

Saya kira, ada saat di mana Rasul selalu bersandar pada wahyu untuk memberikan jawaban atau menyelesaikan persoalan masyarakatnya, dalam hal yang relatif berat, seperti hal dan informasi gaib. Biasanya, kemudian, jawabanya saklek dari Tuhan, sebut saja, misal, “wa idza saalaka ‘ibadi ‘anni fa inni qarib”, “Muhammad, jika ada yang bertanya soal Aku kepadamu,” (jawab saja), “Aku cukup dekat kok.” Atau, “Yasaluka al-nas ‘an al-sa’ah, qul innama ‘ilmuha ‘inda Allah”, “Orang-orang bertanya kepadamu soal kiyamat. Jawab saja, cuma Allah yang tahu.” Termasuk persoalan di atas.

Ada saatnya juga Rasul menerima persoalan remeh temeh. Remeh temeh itu bisa diartikan dengan hal-hal sepele atau yang muncul dari kemanjaan dan kemalasan berpikir untuk berusaha mencari jawabannya sendiri. Untuk hal-hal semacam ini, barangkali Rasul tidak perlu menunggu wahyu untuk menanggapinya, apalagi melakukan investigasi. Atau mungkin juga, tidak perlu dijawab secara eksplisit.

Suatu ketika, ada salah seorang sahabat bernama Wabishah, bertanya kepada Rasul tentang definisi “kebaikan” dan “dosa”, syukur-syukur sekalian dengan contoh-contoh kongkritnya. Jawab Rasul,

“Istafti qalbak, ya wabishah!” Rasul sampai perlu mengulanginya tiga kali, menandakan penekanan, “al-birru ma ithmaannat ilaihi al-nafsu, wa al-itsmu ma haka fi al-nafsi.”

“Tanyakan pada hatimu! Mintalah fatwa pada kalbumu! Mintalah pertimbangan sukmamu! Jika hatimu merasa nyaman, adem, ayem, maka yang kamu lakukan itu berarti baik. Tapi kalau malah bikin resah, gelisah, berarti itu tidak baik, sehingga kamu merasa berdosa melakukanya.”

Saya, kok, jadi berkhayal, Kanjeng Rasul rawuh ke Indonesia, kemudian seseorang menghadapnya, bertanya soal yoga. Kira-kira, akan seperti apa respon Rasul?

Insya Allah

27 October 2008 § 1 Comment


Dalam komunikasi sehari-hari, sudah lumrah kita mendengar “insya Allah”. Allah SWT sangat menekankan menyebut kata ini bagi siapa pun yang berjanji melakukan sesuatu, baik untuk orang lain atau dirinya sendiri.

Nabi Muhammad SAW pernah mendapatkan teguran dari Allah SWT terkait kata ini. Suatu hari, Nabi SAW pernah menjanjikan kepada sahabatnya, jawaban atas pertanyaan tentang kisah Ashab al-Kahf yang diajukan kepadanya. Beliau baru bisa memberikan janji, sebab pada saat itu belum mengetahui kisah tersebut. Kepada sahabatnya itu, dengan tanpa menyertakan kata “insya Allah”, beliau mengatakan, “Besok pagi aku akan menjawab pertanyaan itu,” seperti yakin, sebelum matahari esok pagi bersinar, Allah SWT akan telah menurunkan wahyu kepadanya, menceritakan kisah tersebut.

Namun, tepat pada saat di mana Nabi SAW akan memenuhi janjinya, wahyu yang dinantikan ternyata tak kunjung turun, juga pada hari berikutnya, bahkan ketika hari telah berlalu satu pekan dari hari yang dijanjikan. Kondisi ini membuat Nabi SAW rindu bercampur gusar. Dan akhirnya, wahyu itu baru Allah SWT turunkan pada hari kelima belas atau dua pekan dari hari di mana Nabi SAW berjanji.

Atas apa yang dilakukan Nabi SAW itu, Allah SWT kemudian menurunkan ayat sebagai teguran kepadanya, “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu (rencana): “Sesungguhnya aku akan mengerjakannya besok pagi.”, kecuali (dengan menyertakan kata) “Insya Allah”.” (Al-Kahf: 23-24).

Secara bahasa, idiom berbahasa Arab “Insya Allah” berarti “jika Allah menghendaki”. Kata itu Allah SWT ajarkan kepada manusia sebagai etika dalam berjanji, berrencana atau ber’azam melakukan sesuatu untuk orang lain atau bagi kepentingan diri sendiri. Dalam kata itu tersyirat makna tauhid, bahwa hanya Allah SWT semata yang memiliki kuasa dan pengetahuan mutlak apa dan bagaimana yang akan dan tidak terjadi pada esok hari.

Sedangkan bagi manusia, rencana, pengetahuan, teknis, dan bahkan kekuasaan untuk mewujudkan semua itu hanyalah kemungkinan yang relatif. Bagi manusia, jangankan satu bulan, satu minggu, satu hari, bahkan pada rentang waktu satu jam kedepan, kemungkinan-kemungkinan dapat terjadi, baik yang sesuai dengan rencana atau bahkan yang tidak sama sekali. Dan itu hanya terjadi jika Allah menghendaki, insya Allah.

Dengan mengucapkan kata itu pada setiap apa yang direncanakan, kita seperti mengingatkan diri sendiri bahwa kita hanya berusaha dan berrencana sebaik mungkin, sambil menancapkan kesadaran akan kemutlakan kuasa Allah SWT. Wallahu a’lam.

Infak, Yuk!

23 October 2008 § 1 Comment


“Perumpamaan harta yang diinfakkan di jalan Allah adalah serupa sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, yang pada setiap bulirnya berisi seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” (QS Al-Baqarah [2]: 261)

Infak secara bahasa berarti mempergunakan harta untuk keperluan apapun. Namun yang bernilai ibadah adalah jika harta yang digunakan tersebut semata untuk mengharap ridha Allah SWT dan memiliki unsur maslahat, dalam hal ini untuk orang lain. Perintah berinfak Allah SWT tujukan kepada siapapun yang dalam genggamannya terdapat rezeki, sesuai dengan kadar rezeki yang dimilikinya.

Allah SWT berfirman, “Orang yang diberi kelapangan rezeki hendaklah memberi infak menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi infak dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS Aththalaq [65]: 7).

Mengapa Allah SWT begitu besar meliapatgandakan pahala infak? Sebab dalam infak ada unsur berbagi kenikmatan, kebahagiaan, dan perhatian terhadap kondisi orang lain. Inilah yang menjadikan infak begitu bernilai di sisi Allah SWT. Dalam kaidah fikih dikatakan bahwa ibadah sosial (ibadah muta’addiyah) lebih utama dari ibadah individual (ibadah qashirah). Karena dalam ibadah sosial terdapat unsur berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Itulah semangat dan nilai terbesar di dalam infak.

Karena semangat itulah Allah SWT melarang berbagi materi, namun disertai dengan menyakiti perasaan si penerima. Sebab, hal itu dapat merusak nilai ibadah tersebut di sisi Allah SWT.

Dengan jelas, Allah SWT menekankan hal tersebut, “Orang-orang yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah, dengan tidak menyebut-nyebut pemberiannya dan tidak pula menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka.” (QS Al-Baqarah [2]: 262).

Walaupun harta yang kita infakkan berkurang secara kuantitas, namun sesungguhnya pada saat itu, kita sedang meningkatkan kualitasnya. Sebab, nilai suatu harta bagi Allah SWT bukanlah kuantitas, tapi kualitas, yaitu saat hak serta kewajiban dalam harta tersebut dipenuhi, dan memberikan manfaat kepada yang lain.

Dan pengurangan kuantitas harta untuk infak tidak akan membuat kita kekurangan harta, sebab Allah SWT telah menjaminnya. “Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya. Dan Dialah Pemberi rezeki terbaik.” (QS Saba [34]: 39).

Puasa-Puasa Selain Ramadhan

14 October 2008 § Leave a comment


Berbicara tentang puasa, galibnya dikaitkan dengan bulan Ramadan. Ini wajar, karena pada bulan ini umat Islam berkewajiban menjalankan rukun Islam keempat, yaitu puasa sebulan penuh. Padahal, semestinya tidak selalu demikian. Sebab, Allah lewat Rasul Muhamamad sendiri menyariatkan banyak puasa selain puasa wajib Ramadan, sebagai tindak lanjut dari spirit yang dibangun dalam Ramadan.

Ini bisa dilihat dengan disyariatkannya puasa sunah enam hari di bulan syawal. Bahkan Nabi memberikan “iming-iming”, puasa Ramadan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari setelahnya, pahala yang diperoleh seperti puasa satu tahun. (HR Ad-Darimi). Lagi-lagi, “iming-iming” pahala “seperti puasa satu tahun” adalah semata simbol. Itu adalah idiom Allah, logika Allah yang disampaikan dengan logika manusiawi melalui kalkulasi matematis agar mudah dipahami oleh manusia. Sebab, “pahala” adalah abstrak, yang menungkinkan dipahami oleh nalar manusia dengan hal-hal yang kongkrit, contonya dengan kalkulasi matematis semacam itu. Intinya, wallahu’alam, orang yang berpuasa wajib Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, memiliki peluang investasi kebaikan yang tak terhingga banyaknya, untuk dirinya sendiri, sebagai bekal kehidupan abadi kelak.

Maka, “pahala satu tahun” tidak perlu lantas dirasionaliasikan; pahala puasa Ramadhan tiga puluh hari digandakan seperti pahala tiga ratus hari (pahala satu hari puasa digandakan sepuluh sepadannya, atas petunjuk man ja a bi al-khasanah falahu ‘asyru amtsaliha; siapa yang membawa amal kebaikan, maka ia berhak mendapatkan pahala sepuluh kali lipat). Jika pahala Ramadhan ditambah pahala enam hari puasa Syawal (pahalanya digandakan menjadi enam puluh kali lipat), atau tiga ratus ditambah eman puluh, maka total jendral sama dengan tiga ratus enam puluh, atau setara dengan jumlah hari dalam satu tahun. Pun, secara kalkulasi matematis mendekati tepat, tidak lantas dipahami hakikatnya semacam itu.

Kalkulasi pahala secara matematis atau disimbolkan dengan benda-benda duniawi tertentu (seperti pahala akan dibangunkan masjid di surga), sudah menjadi “kebiasan” Allah setiap kali menyariatkan amalan-amalan tertentu, sebagai testimoni, sebagaimana anak kecil yang mesti diberi hadiah untuk mau melaksanakan perintah orang tuanya, atau seperti para pedagang yang selalu mengharap untung dari barang dagangannya. Yang demikian tidaklah salah. Namun, seiring dengan perkembangan kedewasaan keberagamaan, sudah sepatutnya penghayatan keberagamaan tidak didasarkan pada logika kekanak-kanakan atau logika untung rugi ala pedagang. Tapi penghayatan yang muncul dari kesadaran sebagai mahluk atas segala kebijaksanaan dan kemurahan Sang Khalik yang tak terhingga dan terbatas.

Terkait soal puasa, Imam Ghazali memberikan tiga kategori laku puasa seorang muslim. Pertama, puasa awam (shaum al-‘umum), yaitu puasa yang dikerjakan sekedar menggugurkan kewajiban, hanya menahan lapar dan haus sepanjang siang serta menghindari hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Barangkali bisa disebut puasa model “fikih”.

Kedua, satu tingkat di atasnya adalah “puasa khusus” (shaum al-khusus). Imam Ghazali memperkenalkan nomenklatur ini untuk mendeskripsikan puasa yang memiliki jiwa sehingga mampu menjadi kontrol bagi pelakunya untuk menggerakan seluruh anggota badannya ke arah positif dan maslahat. Tidak ada yang meluncur dari mulut kecuali ucapan kebaikan. Tidak ada yang terdengar dari telinga kecuali suara kebaikan. Tidak ada yang terlihat dari mata kecuali pandangan kebaikan. Tidak ada langkah kecuali menuju kebaikan. Tidak ada gerakan tangan kecuali memberikan manfaat kepada sesama.

Ketiga, lebih tinggi dari semua itu adalah puasa hati, pikiran, dan tindakan. Artinya mengarahkan semua hal hanya untuk Allah dan memalingkannya dari kecenderungan-kecenderungan duniawai yang menunggangi dan melekat, sehingga tidak terjebak menjadi budak dunia. Kecenderungan ini bukan berarti mengajarkan kebencian terhadap duniawi yang belaka benda mati (oleh karenanya tak patut dibenci). Tapi mengatur jiwa justru agar menjadi tuan bagi dunianya untuk kemsalahatan bersama. Imam Ghazali menyebutnya dengan shaum khusus al-khusus.

Allah menyebut, puasa Ramadhan disyariatkan sebagai pengasah bagi umat agar memiliki ketakawaan. Bagi saya, ketakwaan adalah proses spiritual yang tak henti-henti sampai mati, yang pelaksanaannya tidak terikat oleh waktu-waktu tertentu, atau dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Diperlukan sikap istikamah, berkesinambungan. Di sinilah, menurut saya, hikmah disyariatkannya puasa-puasa sunnah, sebagai tindak lanjut spirit dan tujuan takwa yang hendak dicapai dalam Ramadhan. Meski Ramdhan datang berkala, namun spiritnya tetap bisa dibangun pada bulan-bulan selainnya, dengan puasa sunnah. Sehingga jalan ketakwaan lewat puasa tidak hanya ditempuh melulu pada Ramadhan, tapi di sepanjang tahun.

Allah lewat Rasul-Nya sendiri begitu banyak menyariatkan puasa-puasa sunnah. Di sepanjang tahun selalu ada puasa yang dikerjakan pada saat-saat tertentu. Di antaranya ada yang dikerjakan secara berkala setiap tahun, seperti puasa enam hari setelah Ramadan, puasa hari Arafah, hari tarwiyyah. Nabi juga memperbanyak puasa di bulan Sya’ban.

Dan puasa yang dikerjakan setiap bulan antara lain puasa tiga hari di pertengahan bulan (hijriah), yang disebut dengan puasa al-ayyam al-bidl (hari-hari putih). Adapun puasa yang kerjakan dalam kala mingguan adalah puasa hari senin dan kamis, atau muasani hari kelahiran kita sebagaimana Rasul berpuasa hari senin yang merupakan hari kelahirannya.

Dari puasa-puasa sunnah tersebut, yang paling utama adalah puasa yang menjadi amalan Nabi Daud, yaitu sehari puasa, sehari buka. Nabi bersabda, “Puasa yang paling utama adalah puasa yang dikerjakan saudaraku, Nabi Daud, yaitu sehari puasa, sehari berbuka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Tentang Lailatul Qadar

20 September 2008 § 5 Comments


Seorang “tamu” memberikan komentar pada artikel Lailatul Qadar & “Iming-Iming” di blog saya, berupa pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

Kalau diijinkan, saya hendak bertanya tentang lailatul qadar…

  1. Apakah semua orang yang sedang beribadah ketika para Malaikat turun, PASTI MENDAPAT LAILATUL QADAR…? Ataukah Lailatul Qadar berkunjung seperti tamu, jadi tidak semuanya dapat walaupun sdg beribadah…?
  2. Malaikat turun di negara mana…? Misal di Indonesia malam hari & ternyata terjadi lailatul qadar, apakah umat Islam di belahan bumi lain misalnya di Eropa yang sedang ibadah puasa (karena siang hari) PASTI MENDAPAT KEUTAMAAN LAILATUL QADAR, karena sedang beribadah ketika malaikat turun…?
  3. Bagaimana kalau para ulama sedunia membuat catatan kapan lailatul qadar terjadi di tahun-tahun sebelumnya… Misal pada tahun 1428H lailatul qadar terjadi pada malam 27, tahun 1427H pada malam 23 dan seterusnya…

Terima kasih saya haturkan…

Semoga Allah menyatukan & melembutkan hati semua umat Islam, amin…

Salam,
Achmad Faisol

Tapi, sayang, entah kenapa, pertanyaan menarik seperti itu justeru menjadi komentar “sampah” (spam), sehingga tidak bisa tampil di page. Meski demikian, saya berusaha menjawabnya dengan berbekal data-data teks terkait yang saya ketahui, kemudian coba menalarnya, tentu saja dengan subjektifitas pemahaman saya pribadi. Sebab, tidak ada yang tidak subjektif dari penalaran seseorang atas teks, kecuali teks itu sendiri. Maka, kebenaran produk subjektifitas akal atas penalaran terhadap teks selalu tidak absolut, kecuali teks itu sendiri.

Bukan Peristiwa Alam

Bagi saya, lailatul qadar adalah fenomena pengalaman sipiritual yang abstrak – dan bukan peristiwa alam yang nampak – yang melintas batas waktu, tempat, garis geografis dan bersifat metafisik imaterial.Meski teks-teks agama menyuratkannya sebagai “peristiwa alam” dan “peristiwa waktu”. Tengok saja ayat lailatul qadar yang terkenal itu, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam “qadar”. “Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr: 1 & 5).

Bahkan, meski masih kontroversi, teks hadis menunjuk lebih spesifik kapan “malam” itu terjadi. Rasul pernah menyatakan, “Aku pernah dipertemukan dengan lailatul qadar, hanya saja aku lupa, kapan pastinya itu terjadi. Tapi, cobalah kalian mencarinya pada sepuluh hari terkahir Ramadhan, terutama pada bilangan ganjil.”[1] (HR Bukhari dari Abu Sa’id).

Para sahabat pun pernah memiliki pengalaman yang sama, bahkan dengan waktu-waktu yang beragam. Sebagian mengaku pernah diperjumpakan dengan lailatul qadar pada tujuh hari terakhir Ramadhan, dan sebagian mengaku pada sepuluh hari terakhir. Berita ini akhirnya sampai kepada Rasul. Rasul kemudian menyimpulkan, seraya menganjurkan kepada orang-orang yang belum pernah merasa diperjumpakan dengan lailatul qadar, “Cobalah kalian berusaha mencarinya pada tujuh hari terakhir Ramadhan.”[2] (HR Bukhari dari Ibnu Umar).

Jika pada ranah teks saja sudah terjadi kontroversi, maka sangat wajar jika kontroversi yang lebih hebat kemudian terjadi di kalangan para pembaca teks itu. Dalam catatan Ibnu Hajar al-Asqalani, ada lebih dari empat puluh pendapat soal “tanggal main” lailatul qadar, dengan penganutnya masing-masing. Berikut saya sebutkan beberapa di antaranya;

  • Lailatul qadar dapat terjadi pada semua bulan, bukan hanya Ramadhan. Pendapat ini populer dalam Mazhab Hanafi.
  • Lailatul qadar dapat terjadi pada semua malam pada bulan Ramadhan. Ini pendapat Ibnu Umar.
  • Ada yang menyebut, lailatul qadar terjadi pada awal Ramadhan.
  • Lailatul qadar terjadi pada sepertiga kedua Ramadhan. Pendapat ini dianut oleh sebagian penganut Mazhab Syafi’i.
  • Lailatul qadar terjadi pada awal sepertiga Ramadhan. Ini menjadi kecenderungan pendapat Imam Syafi’i.
  • Lailatul qadar terjadi pada malam kedua puluh tujuh Ramadhan. Ini beredar di kalangan Mazhab Ahmad.
  • Lailatul qadar terjadi pada bilangan witir sepuluh hari terakhir Ramadhan, dengan dukungan hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Sa’id di atas.
  • Lailatul qadar terjadi pada kisaran tujuh hari terakhir Ramadhan, berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Umar di atas.

Terjadinya kontroversi pada tingkat teks syari’ soal “tanggal main” lailatul qadar, dilanjutkan dengan kontroversi yang lebih hebat di kalangan ulama dan mazhab, menyodorkan interpretasi, bahwa lailatul qadar pada dasarnya adalah pengalaman jiwa yang sangat pribadi, dan bukan peristiwa alam. Ia terjadi pada jiwa, dan bukan pada alam yang terikat waktu dan tempat tertentu. Sebagai pengalaman, maka akan berbeda satu orang dengan yang lainnya, berdasarkan pengalaman masing-masing (seperti perbedaan pengalaman antara Rasul dan sebagian sahabatnya). Dan jika kemudian Rasul menyimpulkan, lailatul qadar terjadi pada sepuluh atau tujuh hari terakhir Ramadhan, seperti dalam pernyataan hadisnya, itu adalah berdasarkan pengalaman pribadinya dan sebagian para sahabatnya yang secara kebetulan mendapatkan pengalaman lailatul qadar itu bertepatan pada kisaran waktu-waktu tersebut. (Sebagian orang tidak mau menggunakan kata “kebetulan”).

Bahkan, Ibnu al-Arabi (bukan “Arabi”) sampai pada kesimpulan, “al-shahih annaha la tu’lam”. Yang benar, katanya, lailatul qadar tidak dapat diketahui berdasarkan hitungan waktu tertentu. Sehingga, tak perlu menunggu waktu untuk meraih lailatul qadar, tapi persiapkanlah jiwamu kapan pun, di mana pun. Sebab, ia hadir di dalam jiwa, dan tidak terrikat oleh waktu dan tempat tertentu. Jadi, kapan pun dan di mana pun, dengan rahmat Tuhan, seseorang bisa meraih lailatul qadar.

Jika demikian, maka “lailah” pada lailah al-qadr tidak diartikan sebagai “malam”, waktu tertentu, tapi “hari” yang mencakup “siang” dan “malam”. Seperti disebutkan dalam Alquran: “Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh hari (arba’iina lailatan), lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahanmu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim.”[3] (Al-Baqarah: 51).

Atau, dalam bahasa Arab, jika dikatakan, “a’takifu lailataani”, maka artinya adalah “aku beri’tikaf selama dua hari”, (dua hari, dua malam). Bukan diartikan “dua malam” dalam arti beri’tikaf hanya pada malam hari selama dua hari berturut-turut, dan siangnya tidak.

Jika kita setuju dengan penjelasan di atas, maka pertanyaan nomor dua tersebut di atas, menjadi tidak relevan diajukan, maka apalagi dijawab. Pertanyaan itu tentang “waktu”, sementara konsep “waktu” dalam lailatul qadar pada penjelasan di atas tidak diterima.

Keagungan Tak Terjangkau Nalar

Lalu, apakah setiap orang yang beribadah akan “pasti” mendapatkan lailatul qadar?

Tidak ada kata pasti untuk sesuatu yang mungkin.

Lailatul qadar adalah rahasia Tuhan tingkat tinggi. Maka, jangankan memastikan, mengira kapan kira-kira kita akan memperolehnya saja adalah hal yang tidak mudah, jika enggan berkata mustahil. Allah dan Rasul memang memberikan informasi kebenaran lailatul qadar, dan kita percaya itu, tapi keduanya tidak memberikan kepastian kapan ia datang. Jika Allah dan Rasul-Nya saja tidak memastikan “waktu” lailatul qadar, maka sebuah kemustahilan bagi kita, memastikan telah memperolehnya. Inilah rahasia di balik diksi yang dipilih Allah dalam surat Al-Qadr untuk menjelaskan lailatul qadar: wa maa adraka maa lailatul qadr (Dan tahukah kamu apakah lailatul qadar itu?). Para pakar tafsir, sebut saja Imam al-Syaukani dalam karya tafsirnya Fath al-Qadir, menyebutkan, kata “maa adraka” adalah bentuk pertanyaan (istifham) yang digunakan untuk menunjukkan bahwa yang menjadi obyek pertanyaan adalah hal-hal yang sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh nalar manusia.

Senada dengan ayat lailatul qadar itu, sebut saja ayat lain yang menggunakan redaksi “maa adraka”, seperti dalam surat Al-Infithar ayat 17: wa maa adraaka maa yaumuddin? (Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu?), surat Al-Qari’ah ayat 3: wa maa adraaka maa al-qaari’ah? (Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?).

Dari informasi dua ayat di atas, kita jadi tahu akan kebenaran “hari pembalasan” dan “hari kiamat”. Namun hanya sebatas itu saja (tahu akan kebenarannya), sedangkan hakikat “hari pembalasan” dan “hari kiamat” hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Begitu juga dengan lailatul qadar. Tentang lailatul qadar, kita hanya sebatas tahu akan kebenarannya, sedangkan tentang hakikat dan siapa yang berhak memperolehnya, adalah rahasia Allah. Oleh karena itu, menurut saya, seseorang tidak berhak memastikan kehadiran lailatul qadar, apalagi memastikan memperolehnya, bahkan meski dengan melakukan ibadah sebanyak-banyaknya sekali pun. Jika seseorang tidak berhak memastikan memperoleh lailatul qadar, maka bagaimana pula ia akan mencatatkannya?! Bagaimana orang bisa mencatatkannya pada tanggal-tanggal tertentu, sedangkan Allah dan Rasul-Nya sendiri tidak memastikan kehadirannya?!

Lalu, bagaimana bisa seseorang (ulama) akan membuat catatan waktu lailatul qadar, sedangkan ia adalah “pengalaman jiwa”, terjadi pada jiwa – dan bukan “peristiwa alam” – yang tidak terikat dan terbelenggu oleh waktu dan tempat tertentu, seperti telah dijelaskan di atas?! Pertanyaan ketiga di atas, bagi saya, adalah ide konyol.

Pemaparan ini menjadi jawaban pertanyaan pertama sekaligus ketiga di atas.

Amma ba’du… Allah memberikan beberapa keistimewaan pada pengalaman lailatul qadar ini, antara lain ia lebih baik dari seribu bulan. Artinya, amal ibadah seorang hamba yang dikerjakan bertepatan dengan pengalaman lailatul qadar, dihitung lebih baik dari amal ibadah yang dikerjakan selama pengalaman hidup seribu bulan yang tanpa lailatul qadar. Namun, angka “seribu bulan” yang dimaksud bukanlah angka pasti, melainkan sebagai simbol untuk menjelaskan bahwa amal apapun yang dikerjakan tepat pada pengalaman lailatul qadar memiliki keistimewaan tak terhingga. Lagi pula, “malam seribu bulan” belum tentu pas kalau lailatul qadar dihitung melalui jumlah hari, jam, menit, dan detik dalam seribu bulan. Idiom Allah itu juga lebih bersifat kualitatif; kata “seribu” menggambarkan hampir tak terbatasnya peluang pemaknaan di balik idiom itu.

Keistimewaan lain adalah, seperti dijanjikan Rasul, “Siapa yang pernah memiliki pengalaman laitatul qadar karena iman dan mengaharapakan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Huraiah).

Penting di sampaikan di sini, setiap kali Allah dan Rasul menganjurkan manusia melaksanakan ibadah-ibadah tertentu, hampir selalu dibarengi dengan “iming-iming” bonus keuntungan ukhrawi, dengan harapan mereka terdorong melaksanakan anjuran tersebut. Begitu juga dengan lailatul qadar dengan berbagai keistimewaannya. Bagi saya, lailatul qadar adalah ibarat “bonus” dalam konteks penghambaan (beribadah) Allah. Sebagai bonus, tentu saja ia bukanlah prioritas dan target utama (untuk tak mengatakan kurang penting, jika dianggap tidak sopan), tapi yang menjadi prioritas utama adalah penghambaan dan penghayatan nilai-nilai ilahi itu sendiri.

Bukankah penghambaan tertinggi kepada Tuhan adalah yang didasari oleh kesadaran diri sebagai mahluk serta kesadaran akan kebijaksanaan Tuhan yang tak terhingga, dan bukan penghambaan yang didasari atas “bonus” pahala atau takut akan dosa, atau yang didasari oleh “iming-iming” surga atau takut akan neraka?! Wallahu a’lam.


 

[1]إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّأُنْسِيتُهَا –أَوْ نُسِّيتُهَا – فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوَتْر.

[2]عن ابن عمر رضي اللّه عنه، أن أناسا أروا ليلة الْقدر في السّبع الْأَواخر، وأنَّ أناسا أروا أنَها في العشر الأواخر، فقال النَّبيّ: الْتَمِسُوهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِر.

[3]وَإِذْ وَاعَدْنَا مُوسَى أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَنْتُمْ ظَالِمُونَ

Berhutang Puasa Ramadhan Sebelumnya. Hukumnya?

12 September 2008 § 2 Comments


Di antara kita barangkali pernah “berhutang” puasa Ramadhan karena berbagai alasan. Sebagai “hutang”, ia wajib dibayar lunas sesuai dengan jumlah hutang tersebut pada bulan-bulan selain Ramadhan. Namun, dengan berbagai alasan pula, barangkali sebagian kita tak sempat membayar lunas hutang tersebut, atau bahkan tak membayarkannya sama sekali, sampai Ramadhan selanjutnya datang. Belum pula lunas hutang puasa Ramadhan sebelumya, kewajiban puasa Ramadhan selanjutnya datang menyapa. Apa dan bagaimana hukumnya?

Tulisan ini adalah adaptasi dari monografi Takhrij Hadis “Man Adraka Ramadhan Wa ‘Alaihi Min Ramadhan Syaiun” (Uji Otentisitas Dan Kualitas Hadis; “Memasuki Ramadhan Dengan Berhutang Puasa Ramadhan Sebelumnya”) sebagai tugas akhir di Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah Ciputat tahun 2006, di bawah bimbingan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, Guru Besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Alquran (IIQ) dan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta.

Adaptasi ini telah disimplifikasikan dengan mengabaikan “tata krama” standar karya ilmiah, semacam referensi, daftar pustaka atau hal lainnya, tidak seperti bentuk asli monografinya.

Teks Hadis

Hadis tersebut adalah: “Orang yang memasuki bulan Ramadhan – sedangkan ia masih “berhutang” puasa Ramadhan sebelumnya – maka puasa yang bersangkutan tidak akan diterima.”[1]

Rawi & Sanad Hadis

Sumber otentik hadis di atas adalah Musnad al-Imam Ahmad karya Imam Ahmad (setidaknya yang ditemukan penulis). Sementara sanad hadis (rangkaian rawi)-nya adalah: Hasan bin Musa, dari Ibnu Lahi’ah, dari Abu al-Aswad, dari Abdullah bin Rafi, dari Abu Hurairah, dari Rasul. Jika di gambarkan dalam skema, maka seperti ini;

Nama berwarna merah menunjukkan rawi yang kontroversial

Untuk lebih menyederhanakan tulisan ini, rawi yang akan dibahas hanyalah yang masih diperdebatkan kredibilitasnya, dalam hal ini adalah Ibnu Lahi’ah (nama berwarna merah pada skema).

Kontroversi Kredibilitas Ibnu Lahi’ah

Di antara para rawi hadis di atas, hanya Ibnu Lahi’ah seorang yang diperdebatkan kredibilitasnya (dan selebihnya adalah para rawi yang dinilai ta’dil – dinilai positif). Ia dinilai jarh (dinilai negatif) oleh sebagian kritikus hadis, dan pada saat yang sama ta’dil (dinilai positif) oleh sebagian yang lain. Imam Nasa’i dan Ibnu Ma’in, misalnya, menilai Ibnu Lahi’ah dha’if (lemah), hadisnya tidak layak dijadikan argumen. Pendapat berbeda disampaikan Ibnu Hiban dan Imam Ahmad yang masing-masing menilai Ibnu Lahi’ah shalih dan tsiqah (kedua kalimat itu merupakan bagian dari redaksi ta’dil).

Penilaian saling kontradiktif terhadap satu rawi oleh para kritikus adalah hal yang maklum terjadi. Maka, para ahli hadis membuat semacam “kaidah” dalam rangka memberikan jalan keluar masalah semacam itu. “Kaidah” itu adalah, jika seorang rawi dinilai jarh oleh sebagian kritikus hadis, dan pada saat yang sama ta’dil oleh sebagian yang lain, maka ta’dil-lah penilaian yang dianggap sah, selama tidak ada alasan dan penjelasan soal penilaian jarh tersebut. Dalam arti, jika seorang kritikus hadis menilai jarh seorang rawi tanpa menjelaskan alasannya, maka penilaian tersebut dianggap tidak ada. Semacam “asas praduga tak bersalah”; pada dasarnya setiap rawi adalah kredibel dan berintegritas (ta’dil), sampai ada bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya (jarh). “Asas praduga tak bersalah” inilah yang juga menjadi alasan bahwa penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadap rawi, tetap dianggap sah meski tidak disertai alasan – berbeda dengan jarh yang justeru dianggap tidak ada jika tak disertai alasan dan penjelasan.

Dari “jalan keluar” tersebut, dapat dipahami hilir alur kontroversi kredibilitas Ibnu Lahi’ah. Ta’dil adalah penilaian yang dianggap lebih sah baginya ketimbang jarh. Sebab, penilaian jarh terhadapnya tidak disertai alasan atau penjelasan apa pun. Ia dinilai dha’if, namun tidak dijelaskan alasan ke-dha’if-annya.

Kualitas Hadis

Sebelumnya, perlu disampaikan, penulis tidak ikut cawe-cawe urusan kualitas ini. Paling banter ia hanya mengurai kualitas tersebut, serta mengumpulkan mozaik-mozaik terserak terkait hadis ini.

Di atas, kontroversi Ibnu Lahi’ah telah diurai dan disimpulkan. Kemudian, dengan kontroversi yang ada, tentu sedikit banyak mempengaruhi status kualitas hadis di mana ia menjadi bagian dari periwayatannya. Sepertinya memang demikian, dan itulah kenapa para pakar (di antaranya adalah Ali bin Abu Bakar al-Haitsami dan Abdurrauf al-Minawi) kemudian menilai hadis ini mentok pada kualitas hasan. Ali bin Abu Bakar al-Haitsami bahkan menunjuk Ibnu Lahi’ah sebagai titik persoalan kualitas hasan ini.

Hasan berada satu tingkat di bawah shahih. Jika pada shahih sang rawi mesti memenuhi dua hal secara sempurna, yaitu moralitas yang baik (‘adl) dan kapasitas intelektual yang mumpuni (dlabth), maka pada hasan, moralitas sang rawi terkenal baik, hanya saja kapasitas intelektualnya tidak sesempurna (khaffa dlabthuhu) sebagaiamana disyaratkan shahih.

Dan khaffa dlabthuhu yang dimaksud pada hadis di atas, tak lain menunjuk pada Ibnu Lahi’ah. Ini dipertegas dengan penilaian Ibnu Hiban yang menyatakan Ibnu Lahi’ah shalih (hadis yang diriwayatkannya layak dipakai hanya sebagai i’tibar – diambil pelajaran dari isinya). Dalam disiplin ilmu hadis, “shalih” adalah tingkatan redaksi ta’dil paling rendah yang mengisyaratkan rawi yang bersangkutan khaffa dlabthuhu, kapasitas intelektualnya tidak sesempurna sebagaimana disyaratkan shahih, sehingga hadis yang diriwayatkannya hanya berkualitas hasan.

Berhutang Puasa Ramadhan Sebelumnya. Hukumnya?

Di dalam Alquran disebutkan, “…Siapa di antara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka ia mesti berpuasa pada bulan itu…” (Al-Baqarah: 158). Ayat ini menunjuk umat Islam yang hadir pada suatu daerah dan bermukim, serta bertepatan dengan masuknya bulan Ramadhan, untuk melaksanakan kewajiban puasa. Tentu saja “siapa” pada ayat itu hanya menunjuk orang-orang yang dianggap telah memenuhi prasyarat wajib berpuasa atau dalam fikih disebut dengan “syarat wajib”, yaitu umat Islam yang telah dewasa (baligh), normal (‘aqil), dan sehat jasmani. Siapa pun yang telah memenuhi kriteria itu, maka suatu kewajiban untuk melaksanakan puasa. Kemudian, orang yang telah memenuhi “syarat wajib”, pelaksanaan puasanya dianggap sah jika telah memenuhi prasyarat sah puasa (dalam fikih disebut “syarat sah”), yaitu niat dan tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, berhubungan intim)

Jika kita melihat kemudian menyapakti konsepsi “syarat wajib” dan “syarat sah” tersebut, maka “berhutang puasa Ramadhan sebelumnya” bukanlah bagian dari konsepsi itu. Artinya, siapa pun yang (Ramadhan) saat ini memiliki hutang puasa Ramadhan tahun lalu yang belum terbayar, itu tidak menghalanginya terkena kewajiban puasa Ramadhan. Sebab, “berhutang puasa Ramdhan sebelumnya” bukan bagian dari “syarat wajib” puasa, bukan pula “syarat sah”nya yang harus dilunasi. Dan hutang puasa tersebut tetaplah sebuah hutang yang harus dibayar sebagai sebuah kewajiban.

Lalu, bagaimana memahami hadis di atas?

Jika kita mengalir pada alur logika di atas, maka hadis tersebut mesti diletakkan di luar konteks “syarat wajib” atau “syarat sah”, dipahami di luar koridor “fikih puasa”.

Penulis memahami, penekanan hadis di atas adalah pada “pelunasan hutang”. Hutang, apa pun bentuknya, harus sesegera mungkin dibayar, termasuk puasa. Jika kondisi menyodorkan kesempatan untuk membayar hutang, maka tidak ada toleransi untuk menundanya. Maka, “lam yutaqabbal minhu” adalah semacam “teguran keras” bagi siapa pun yang telah diberi kesempatan untuk membayar hutang puasa, namun tetap mblunat, mbalelo, enak-enakan, meremehkan kewajiban yang semestinya ditunaikan.

Teguran keras yang masuk akal. Lihat saja, sanksi terberat pelanggaran puasa Ramadhan adalah puasa dua bulan berturut-turut. Sekilas terkesana sangat berat, namun bandingkan dengan sebelas bulan, waktu yang sangat longgar yang disediakan untuk menjalani sanksi itu. Apalagi hutang puasa yang cuma satu hari, dua hari, tiga hari, seminggu, sepuluh hari dan seterusnya. Jika pada rentang sebelas bulan, waktu selonggar itu dan dengan kondisi dan kesempatan yang memadai, hutang atau sanksi puasa tetap saja tidak dijalankan sampai datang Ramadhan selanjutnya, maka di Tuhan hanya perlu “merasa perlu” menegur dengan keras saja. Tidak ada yang pantas mendapatkan teguran keras, kecuali orang yang mblunat, mbalelo. Wallahu a’lam.


[1] من أدرك رمضان وعليه من رمضان شيء لم يقضه لم يتقبل منه.

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with rasul at Warung Nalar.

%d bloggers like this: