Pendidikan & Lingkungan
2 September 2008 § Leave a comment
Pendidikan adalah hal yang mutlak dalam kehidupan. Ia menjadi urgen dalam rangka menciptakan kebudayaan yang maju dan berperadaban. Penilaian maju atau mundur suatu masyarakat (bangsa), tinggi atau rendah peradaban yang dimilikinya, diukur dari tingkat pendidikan yang dimiliki masyarakat tersebut.
Dalam Alquran disebutkan, pendidikan dan pengajaran merupakan bagian dari awal penciptaan manusia pertama, yaitu Nabi Adam. Oleh karenanya, Adamlah yang kemudian menjadi khalifah di bumi, meski sempat mendapat “protes” dari para malaikat. Malaikat merasa lebih pantas, karena merasa memiliki sipiritualitas yang lebih, selalu taat terhadap perintah Allah. Tapi, menurut Allah, untuk menjadi khalifah di bumi dibutuhkan mahluk terdidik, tidak hanya secara spiritual, tapi juga secara intelektual.
Oleh karenanya pula, Adam menjadi mahluk yang terhormat di antara mahluk-mahluk lain, meski menunai bantahan dari iblis, yang enggan sujud hormat kepadanya. (Albaqarah: 30-34). Iblis merasa lebih terhormat, karena diciptakan dari api, ketimbang Adam yang hanya dari tanah. (Shad: 76). Karenanya, ia menolak sujud hormat kepada Adam. Menurut iblis, kehormatan diukur dari bentuk lahiriah. Oleh karena itu, secara lahiriah, dialah yang merasa pantas disujud-hormatkan. Tapi bagi Allah, kehormatan lahir dari pendidikan dan pengetahuan.
Tujuan ideal pendidikan dan pengajaran adalah mengaktualisasikan potensi kecerdasan spiritual dan intelektual yang telah tertanam dalam diri setiap manusia, dan mengintegrasikan akal dan hati. Dalam agama Islam, tindakan apa pun tidak akan terlepas dari unsur ilahi.
Setidaknya ada empat unsur yang menjadi faktor keberhasilan pendidikan dan pengajaran, yaitu keluarga, lembaga pendidikan (sekolah), masyarakat, dan pemerintah.
Faktor-faktor tersebut harus selaras dan saling mendukung dalam proses pendidikan. Apa yang disampaikan oleh sekolah kepada perserta didik mesti mendapat dukungan dan tindak lanjut dari lingkungan keluarga. Setelah itu, ia jangan dibiarkan terseret arus pergaulan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran yang diperolehnya di keluarga dan sekolah. Sebab, lingkungan masyarakat sangat berperan dalam membentuk karakter spiritual dan intelektual seseorang.
Demikian pula dengan pemerintah, hendaknya tidak mengeluarkan kebijakan yang memasung kebebasan peserta didik untuk menjalankan ajaran dan didikan yang diperolah dari sekolah atau keluarga.
Ketimpangan dan tidak selarasnya faktor-faktor tersebut akan menyebabkan kegagalan dan tak tercapainya tujuan pendidikan yang ideal, juga akan menimbulkan kebingungan pada peserta didik, karena dihadapkan pada hal-hal yang bertentangan.
Pembacaan lebih jauh ini didasarkan pada hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah. Rasul bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan al-fithrah (Islam). Orang tuanyalah yang berperan menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi.”
Artinya, karakter dan perilaku spiritual seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia tinggal. Keluarga adalah lingkungan terdekat dan terkecil, selanjutnya adalah lingkungan sekolah, masyarakat, kemudian negara. Lingkungan-lingkungan itu tentu saja tidak hanya mempengaruhi perilaku spiritual, tapi juga intelektual.
Lailatul Qadar & “Iming-Iming”
1 September 2008 § 1 Comment
Lailatul Qadar menjadi waktu pilihan Allah untuk menurunkan Alquran. Ia menjadi malam istimewa hingga Rasul menganjurkan umatnya untuk mendapatkannya. Sabda Rasul, “Aku pernah diperjumpakan oleh Allah dengan Lailatul Qadar, tapi aku lupa kapan tepatnya peristiwa itu terjadi. Namun, hendaknya kalian mencarinya pada hitungan ganjil sepuluh malam terakhir Ramadhan.” (HR Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Sa’id Alkhudri).
Tentang Lailatul Qadar bisa dilihat dalam surat Al-Qadr. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada Lailatul Qadar. Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr: 1-5).
Dari surat tersebut kita dapat mengetahui beberapa hal. Di antaranya adalah bahwa Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan. Artinya, amal ibadah seorang hamba yang dikerjakan bertepatan dengan Lailatul Qadar dihitung lebih baik dari amal ibadah yang dikerjakan selama seribu bulan yang tanpa Lailatul Qadar. Namun, angka seribu bulan yang dimaksud bukanlah angka pasti, melainkan sebagai simbol untuk menjelaskan bahwa ibadah apapun yang dikerjakan tepat pada Lailatul Qadar akan diberi pahala berlipat ganda oleh Allah. Lagi pula, “malam seribu bulan” belum tentu pas kalau Lailatul Qadar dihitung melalui jumlah hari, jam, menit, dan detik dalam seribu bulan. Idiom Allah itu juga lebih bersifat kualitatif; kata “seribu” menggambarkan hampir tak terbatasnya peluang pemaknaan di balik idiom itu. Juga bersifat dinamis, bergantung pada pola pergerakan hubungan antara Tuhan dengan hamban-Nya.
Hal lain yang bisa sarikan dari surat Al-Qadr di atas adalah, para malaikat turun, masuk ke dalam relung-relung jiwa hamba Allah, menebar rahmat, kesejahteraan, dan kedamaian. Tidak semua hamba Allah akan mendapatkan kemulian seperti ini. Kemuliaan tersebut hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang anggap siap menerimanya, yaitu hamba-hamba Allah yang memiliki jiwa bersih, yang menjalin harmoni kepada sesama juga kepada Tuhan-nya. Tanda orang yang mendapatkan kemualian tersebut adalah kecenderungannya berbuat baik. Sebab, malaikat hanya membisik manusia untuk berbuat baik.
Rasul pernah bersabda, “Setan dan malaikat selalu memberikan bisikan kepada manusia. Jika seseorang terbesit dalam dirinya untuk melakukan kejahatan dan mengingkari kebenaran, maka itu adalah bisikan setan. Dan jika terbesit dalam dirinya untuk melakukan kebaikan, maka itu adalah bisikan malaikat. Jika seseorang merasakan dalam dirinya bisikan kebaikan, maka pujilah Allah. Jika merasakan bisikan kejahatan, mintalah perlindungan kepada Allah.” (HR Tirmdzi dari Abdullah bin Mas’ud)
Dan salah satu keistimewaan Lailataul Qadar selanjutnya adalah akan diampuni dosa orang menjumpainya, seperti dijanjikan oleh Rasul, “Siapa yang menjumpai Laitatul Qadar karena iman dan mengaharapakan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan siapa yang menjalankan puasa karena iman dan mengaharapakan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Huraiah).
Penting disampaikan di sini, setiap kali Allah dan Rasul menganjurkan manusia melaksanakan ibadah-ibadah tertentu hampir selalu dibarengi dengan “iming-iming” keuntungan ukhrawi dengan harapan mereka terdorong melaksanakan anjuran tersebut. Seperti “kebaikan seribu bulan” bagi yang diperjumpakan dengan Lailatul Qadar, atau terampuni dosa-dosa yang telah lalu bagi yang melaksanakan puasa atas dasar iman, yang telah disebutkan di atas.
Sah-sah saja, bila seseorang melaksanakan amal kebaikan karena mengharap “iming-iming” yang dijanjikan, sebagaimana seorang pedagang yang selalu mengharap untung atas barang niaganya. Atau, sah saja bila kita melaksanakan amal kebaikan sebab ketakutan akan “azab” yang akan ditimpakan jika tidak melaksanakannya, sebagaimana seorang budak yang takut kepada majikannya. Sah saja kita memiliki kecenderungan pedagang atau budak dalam membangun hubungan dengan Tuhan; beribadah kepada-Nya dengan mengharap surga, atau beribadah agar terhindar dari neraka. Apakah kita memiliki kecenderungan salah satunya, hanya “kedalaman rasa” kita sendiri yang dapat merasakan.
Namun, kecenderungan paling baik dalam membangun hubungan (beribadah) dengan Tuhan adalah “kesadaran”; kesadaran kita sebagai mahluk yang datang dari-Nya dan kelak kembali kepada-Nya, kesadaran kita akan anugerah dan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas. Orang yang memiliki kecenderungan semacam ini, ibadah yang dilakukannya bukan karena mengharap “iming-iming” surga atau terhindar dari neraka. Ibarat “bonus”, “iming-iming” tersebut sekedar sampingan dan bukan target atau tujuan utama melaksanakan ibadah.
Semoga kita termasuk orang yang memiliki kecenderungan paling baik itu. Amin.
Permohonan Hidup “Miskin” Nabi
26 July 2008 § 5 Comments
Dalam kitab Sunan-nya, Imam Tirmizi meriwayatkan hadis dari sahabat Anas yang berisi doa Nabi,
اللهم أحييني مسكينا وأمتني مسكينا واحشرني في زمرة المساكين
Ya Allah, hidup dan matikanlah Aku dalam keadaan miskin (miskinan). Dan masukanlah Aku dalam kelompok orang-orang miskin pada hari kiamat kelak.
Ada juga hadis lain,
الفقر بالمؤمن أحسن من العذار الحسن على خد الفرس
Bagi seorang mukmin, kefakiran (al-faqru) itu lebih baik daripada tali kendali kuda yang bagus.
Kedua hadis di atas menyuratkan seakan-akan hidup dalam keadaan miskin adalah harapan dan bagus. Namun, dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, Nabi pernah berdoa meminta kekayaan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ غِنَايَ وَغِنَى مَوْلَايَ
Ya, Allah, Aku memohon kepada-Mu kekayaan.
Ada juga hadis yang menyatakan bahwa Nabi berlindung dari kefakiran.
أنه تعوذ بالله من الفقر
Seolah-olah ada pertentangan makna di antara hadis-hadis di atas.
Namun, tidak demikian menurut Ibnu Qutaibah.
Menurut Ibnu Qutaibah, kata “miskinan” (مسكينا) di hadis pertama berarti tawadlu’ dan ikhbat atau “merendahkan diri di hadapan Allah”, bukan miskin dalam arti tidak memiliki harta benda. Dalam contoh تمسكن الرجل (tamaskana al-rajul), kata “tamaskana” di sini berarti لان (lana atau lemah lembut), تواضع (tawadla’a atau tawaduk), خشع (khasya’a atau khusuk), خضع (khadla’a atau rendah hati). Dalam sabda Nabi untuk orang-orang yang mengerjakan shalat disebutkan,
الصَّلَاةُ مَثْنَى مَثْنَى أَنْ تَشَهَّدَ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَأَنْ تَبَاءَسَ وَتَمَسْكَنَ وَتُقْنِعَ بِيَدَيْكَ
Shalat itu dua rakaat-dua rakaat. Bertasyahud (duduk tahiyat) pada setiap dua rakaat. Tampakkanlah “penderitaan” (kefakiran) di hadapan-Nya, rendahkanlah dirimu (tamaskana) di hadapan-Nya, dan angkatlah kedua tangan ketika berdoa (sesudah shalat).
“Tamaskana” di sini berarti “takhasysya’a” (menampakkan kekhusyukan) dan “tawadla’a” (tawaduk) di kehadirat Allah.
Begitu juga dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Haitsami dalam kitabnya, Majma’ al-Zawaid. Suatu ketika Nabi menyapa perempuan bernama Qailah,
يا مسكينة
Ya “Miskinah”
Nabi menyebut sahabat Qailah dengan “Miskinah” bukan berarti Qailah orang miskin (fakir), tapi untuk menyebut “al-dla’fu” (renta).
Dari keterangan-keterangan di atas, Ibnu Qutaibah hendak menjelaskan, dalam bahasa Arab, istilah yang digunakan untuk mengungkapkan arti “tidak berpunya” atau “miskin” adalah kata الفقر atau “al-faqr”. الفقير atau “faqir” berarti orang yang tidak berpunya. Sehingga, menurutnya, “maskanah” yang diminta Nabi dalam hadis di atas (hidup dan matikanlah Aku dalam keadaan miskin) bukan dalam arti “al-faqru” (kefakiran), tapi “maskanah” dalam arti “tawadla’a” (rendah hati), sebagai lawan kata “takabbur” (sombong).
Sehingga, makna doa Nabi di atas adalah: “Ya Allah, hidup dan matikanlah Aku dalam keadaan rendah hati dan tawaduk di hadapan-Mu, tidak sombong di hadapan-Mu. Dan masukanlah Aku dalam golongan orang-orang yang rendah hati dan tidak sombong di hari kiamat kelak.”
Demikian pendapat Ibnu Qutaibah dalam mengomentari hadis pertama.
Selanjutnya, Ibnu Qutaibah mengomentari hadis kedua (Bagi orang mukmin, fakir itu lebih baik dari tali kendali kuda yang bagus). Hadis ini mengibaratkan balasan yang akan diterima oleh orang fakir (miskin dalam arti “tidak berpunya”) jika mampu menyikapi kefakirannya dengan benar. Hadis tersebut tidak bermaksud mendukung hidup dalam kefakiran, bukan pula menghendaki seorang mukmin hidup dalam kefakiran.
Kefakiran merupakan varian ujian dalam dinamika kehidupan dunia. Sikap orang-orang yang ditimpa dengan ujian ini pun bervariasi. Tidak semua orang mau menerima dan sabar menghadapi hidup dalam belitan kemiskinan. Namun, banyak juga yang mampu menanggung ujian itu dan mampu menyikapinya dengan sabar. Sikap terakhir inilah yang dikehendaki oleh hadis tersebut.
Sehingga hadis di atas itu memiliki arti, “Bagi orang mukmin, kemiskinan yang disikapi dengan sabar itu lebih baik daripada tali kendali kuda yang bagus”. (Tali kendali pada masa Nabi adalah simbol prestise). Sebab, tidak semua orang mampu bersabar hidup dalam kemiskinan. Hanya orang fakir yang sabar dan ikhlas saja yang akan mendapatkan balasan yang layak di akhirat kelak.
Sehingga, kunci dari semua itu adalah sabar dan ikhlas. Orang fakir yang sabar dan ikhlas lebih baik (di hadapan Allah) ketimbang orang fakir yang tidak sabar dengan kefakirannya. Namun, yang ideal adalah orang kaya yang bersyukur dan ikhlas.
Ibnu Qutaibah menukil perkataan Mutharrif, “Aku diberi kesehatan kemudian bersyukur lebih aku sukai ketimbang aku harus diuji dengan musibah kemudian bersabar.”
Wallahu a’lam.
(Disarikan dari kitab Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits karya Ibnu Qutaibah)
Makan Dalam Posisi Berdiri
26 July 2008 § Leave a comment
Di dalam kitab Sunan-nya, Imam Tirmizi meriwayatkan hadis yang melarang minum dengan posisi berdiri,
Dari shahabat Anas, Nabi shallallu’alihi wasallam melarang seseorang minum dalam posisi berdiri (qaiman). Kemudian ditanyakan kepadanya: “Bagaimana dengan makan?” Nabi menjawab, “Lebih-lebih makan.”
Literal hadis ini dengan gamblang melarang minum dengan posisi berdiri. Namun dalam hadis lain, yang juga diriwayatkan oleh Imam al-Tirmizi, disebutkan,
Dari Ibnu Umar, “Rasulullah shallallu’alihi wasallam pernah minum dalam posisi berdiri.”
Jelas sekali, dalam hadis pertama, Rasul melarang minum dengan posisi berdiri, namun Nabi sendiri justeru pernah melakukannya, seperti tersurat pada hadis kedua. Apakah dua hadis itu kontradiktif?
Tidak demikian pendapat Ibnu Qutaibah. Menurutnya kedua tersebut tidak bertentangan.
Kata qama (dan berbagai macam derifasinya; yaqumu, qaim, qum) dalam bahasa Arab sering digunakan untuk arti “melaksanakan”, tidak hanya berarti “berdiri”. Contohnya, qum fi hajatina. Kata qum di sini bukan hanya berarti “berdirilah”, tapi berdiri, berjalan, dan laksanakanlah/usahakanlah. Qum fi hajatina berarti “usahakanlah kebutuhan kami”. Contoh lain dalam ayat al-Quran surat Alu Imran ayat 57,
Dan di antara mereka ada yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya (qaiman).
Kata qaiman (secara kebahasaan berari “orang yang berdiri”) dalam ayat di atas tidak (hanya) artikan “berdiri”, tapi adalah al-muthalabah dan al-iqtidla (menagih). Tentu, ketika menagih, tidak cukup hanya dilakukan dengan berdiri, tapi berdiri, berjalan, datangi orang yang dituju, dan laksanakan kegiatan menagih tersebut.
Begitu juga dengan kata “qaiman” dalam hadis Nabi yang pertama tadi. Arti “qaiman” di situ bukan berarti “berdiri”, tidak hanya makan dan minum sambil berdiri, tapi makan dan minum sambil berjalan atau berlari (karena tergesa-gesa). Itulah yang dilarang oleh Nabi, yaitu makan dan minum sambil berjalan, apalagi berlari, karena akan menyebabkan ketidaknyamanan. Sehingga larangan makan atau minum sambil berdiri lebih sebagai tindak preventif dari berbagai resiko yang mungkin terjadi. Seperti itulah kata “qaim” dalam hadis pertama di atas, yang pahami oleh Ibnu Qutaibah.
Oleh karena itu, menurut Ibnu Qutaibah, makan atau minum sambil berdiri (dalam arti yang sebenarnya) diperbolehkan (la ba’sa bi zalik) selama dalam kondisi tidak berresiko. Dengan demikian, makan atau minum dalam posisi berdiri dan tenang sama halnya seperti dalam posisi duduk. Seperti inilah pemahaman Ibnu Qutaibah ketika membaca hadis Nabi yang kedua. Yaitu berdiri dengan tenang, dan tidak sambil jalan.
Namun bagi saya, jika makan sambil jalan pun tidak ada resiko, tidak ada masalah dan boleh-boleh saja.
Waktu Dhuha
23 March 2008 § Leave a comment
“Kolom Hikmah” Republika, 12 Januari 2008
“Demi waktu dhuha. Dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tidak akan meninggalkan kamu dan tidak pula membencimu. Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberimu karunia-Nya, lalu hati kamu menjadi puas.” (QS Addhuha [93]: 1-5).
Waktu dhuha adalah salah satu waktu yang Allah SWT sebut di dalam Alquran dan bersumpah dengannya. Ia tidak disebut dan tidak pula dijadikan sumpah kecuali memiliki hikmah yang tersirat di baliknya.
Dhuha memiliki arti permulaan siang atau awal terbitnya matahari. Ia juga bisa diartikan sebagai waktu siang, lawan kata malam.
Di dalam Alquran, Allah SWT menjelaskan bagaimana waktu siang semestinya digunakan untuk mengerjakan aktivitas yang produktif, sebagaimana firman-Nya, ”Dan Kami jadikan waktu siang untuk mencari penghidupan.” (QS Annaba [78]: 11).
Nabi Muhammad SAW pernah mendoakan orang-orang seperti ini, ”Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada umatku di waktu pagi mereka.” (HR Attirmidzi). Kenapa waktu pagi? Karena ia menjadi awal di mana aktivitas sepanjang siang siap dimulai.
Di siang hari, Nabi Muhamamd SAW mengingatkan mereka agar tidak terlena dalam aktivitas kerja mereka, menyempatkan waktu untuk mengerjakan shalat dhuha. Sahabat Abu Hurairah berkata, ”Rasul SAW pernah memberikan wasiat tiga hal kepadaku, yaitu puasa tiga hari di tengah bulan (Hijriah), shalat dhuha, dan shalat witir sebelum tidur.” (HR Bukhari dari Abu Hurairah).
Allah SWT juga menjelaskan bagaimana waktu malam seharusnya digunakan untuk beristirahat. Allah SWT berfirman, ”Dia menyingsingkan waktu pagi dan menjadikan waktu malam untuk beristirahat.” (QS Al-An’am [6]: 96).
Begitulah Allah SWT mengarahkan manusia untuk memanfaatkan putaran waktu dengan baik dan tepat. Di sisi lain, Dia mengingatkan manusia agar tidak terlena dalam aktivitas kerja mereka di sepanjang siang, dan terlarut dalam istirahat mereka di sepanjang malam.
Saat di malam hari, Allah SWT membangunkan mereka agar tidak larut dalam istirahat mereka. Dia mengingatkan, ”Dan pada sebagian waktu malam, kerjakanlah shalat tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.” (QS Al-Isra [17]: 79).
Dari keterangan di atas, Allah dan Rasulnya seolah hendak mengingatkan bahwa aktivitas apa pun yang dikerjakan manusia, di sepanjang siang dan malam, seharusnya tidak membuyarkan kesadaran mereka akan Allah SWT. Dan sebaliknya, ibadah kepada Allah seharusnya tidak menghalangi mereka untuk bekerja.
Ikhsan
23 March 2008 § Leave a comment
Oleh Juman Rofarif
“Kolom Hikmah” Republika, 08 Januari 2008
Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW mendapat pelajaran penting tentang makna iman, Islam, dan ikhsan dari Malaikat Jibril yang mendatangi beliau dengan menjelma menjadi manusia biasa.
Secara berurutan, Nabi menjawab pertanyaan ujian Malaikat Jibril. Apa yang disebut iman? Nabi menjawab, ”Iman adalah engkau percaya kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, percaya akan adanya perjumpaan dengan Allah, percaya kepada para rasul, dan percaya adanya hari kebangkitan.” Apa yang disebut Islam? Nabi menjawab, ”Islam adalah engkau menghamba kepada Allah dan tidak menyekutukannya, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, dan puasa di bulan Ramadhan.”
Apa arti ikhsan? ”Engkau beribadah kepada Allah dengan kondisi seolah-olah engkau melihatnya dengan mata. Jika tidak, yakinilah bahwa Allah sedang melihatmu,” demikian jawab Nabi. (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Iman, Islam, dan ikhsan adalah satu kesatuan komponen agama Islam yang tak terpisahkan. Ketiga komponen tersebut seharusnya terintegrasi secara berimbang dalam keberislaman seorang Muslim. Dan pengurutan seperti itu bukanlah kebetulan. Iman didahulukan karena ia adalah pokok dari Islam.
Selanjutnya, iman di dalam hati menjadi tidak bermakna jika tidak dimanifestasikan dalam tindakan nyata, yang diimplementasikan dalam Islam. Agama Islam pada diri seorang Muslim harus dibenarkan dengan hati (iman) dan dipraktikkan dengan perbuatan (Islam). Dan ikhsan adalah penyatuan dari iman dan Islam. Artinya, seseorang tidak akan bisa melihat Allah SWT, jika tidak percaya akan Mahawujud-Nya, serta tidak mengamalkan apa yang menjadi perintah dan larangan-Nya. Ikhsan bisa diraih jika iman dan Islam telah menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dalam diri seorang Muslim. Sebab, iman tidak bermakna tanpa Islam. Dan Islam tanpa iman akan rapuh.
Namun, ada sebagian ulama yang mendahulukan Islam, kemudian iman, dan ikhsan. Alasannya adalah karena Islam adalah amalan lahir yang rasional, sedangkan iman adalah amalan batin yang suprarasional. Dan ikhsan adalah puncak pencapaian dari keduanya dan melampaui keduanya. Kenapa ikhsan diakhirkan? Hal itu menjadi isyarat bahwa ia adalah hal yang sulit dilakukan. Jika Islam terbatas pada lahiriah, iman terbatas pada batiniah, maka ikhsan tidak terbatas pada keduanya, karena berusaha memfokuskan kesadaran kita akan Allah SWT setiap saat.
Disiplin Waktu
23 March 2008 § Leave a comment
Oleh Juman Rofarif
“Kolom Hikmah” Republika, 27 Januari 2007
Sebagai makhluk yang selalu beraktivitas dan berusaha memenuhi kebutuhan hidup, manusia dituntut berdisiplin dalam usahanya. Sebab, waktu akan terus bergulir dengan alurnya sendiri, dan manusia hanya bisa mengikuti alur itu, tidak bisa memperlambat, mempercepat, atau menghentikannya. Jika tidak mampu bertindak tepat dan bekerja disiplin, ia akan terlindas oleh waktu. Kedisiplinan menjadi penting dan menjadi kunci kesuksesan.
Nabi Muhammad SAW pernah berdoa agar Allah memberi berkah kepada umatnya yang berdisiplin dan bekerja tepat waktu. Nabi pernah memohon kepada Allah SWT, ”Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada umatku di waktu pagi mereka.” (HR At-Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Shahr Al-Ghamidi).
Shahr Al-Ghamidi adalah salah seorang sahabat Nabi yang berprofesi sebagai pedagang. Keyakinannya akan doa Nabi tersebut, membuatnya rajin, ulet, dan disiplin dengan profesinya. Ia selalu memulai aktivitasnya di pagi hari. Mendistribusikan barang dagangannya di saat sinar matahari belum tampak betul. Berkat kedisiplinannya itu, ia menunai berkahnya. Ia menjadi salah satu saudagar kaya saat itu.
Baik atau buruk, untung atau rugi hasil suatu pekerjaan, tergantung dari usaha pelakunya. Surat Al-Ashr (103) jelas-jelas menyatakan hal ini. Allah berfirman, ”Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati supaya bersikap sabar.” (ayat 1-3).
Dalam surat tersebut, paling tidak ada beberapa hal yang saling berkaitan, hubungannya dengan disiplin kerja, yaitu waktu, amal (usaha), kerugian (hasil usaha). Seolah-olah surat Alquran tersebut ingin menegaskan bahwa waktu yang Allah luangkan, harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Apabila tidak, yang bersangkutan sendiri yang akan rugi. Pendek kata, surat tersebut mengajarkan kita berdisiplin kerja dan berdisiplin waktu.
Banyak hadis Nabi yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu sebaik mungkin. Antara lain sabda Nabi, ”Dua nikmat yang sering disia-siakan oleh banyak orang, yaitu kesehatan dan kenikmatan.” (HR Bukhari dari Ibnu Abas).
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, ”Rezeki yang tidak diperoleh hari ini, masih bisa diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok. Tetapi, waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok.” Wallahu a’lam bish-shawab.