Imam Salat Perempuan

30 March 2008 § Leave a comment


oleh Juman Rofarif

img_0412lguily89bjkl.jpg

Jumat, 18 Maret 2005, Aminah Wadud, seorang perempuan yang profesor bidang studi Islam di Virginia Commonwhealth University AS, menjadi imam sekaligus khatib untuk salat Jumat. Kontan dunia Islam dibikin geger. Kritikan deras mengalir. Ulama kondang dunia, Yusuf Qardlawi mengecam, dan menyatakan bahwa tindakan Aminah Wadud sebagai bid’ah yang munkar. Kritikan juga keluar dari Syaikh Al-Azhar, Sayyid Thanthawi. Reaksi bermunculan. Ada yang “suuzhan”, bahwa tindakan Wadud sebagai sensasi tanpa makna, ada sebuah sekenario yang melatarbelakanginya dari kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu. Adian Husaini, dalam situs hidayatullah.com, menyebut apa yang dilakukan Wadud adalah tindakan nyleneh bias dari ideologi gender equality ala Barat-sekuler. Dan ragam kecaman lainnya. Dan ada juga yang memberikan apresiasi positif atas keberanian Wadud ngoyag-ngoyag kebenaran yang seolah-olah telah mutlak.

Kritikan dan reaksi tersebut sangat wajar. Secara umum, memang banyak garis dan titik yang terlanggar dari salat Jumat versi Wadud tersebut, atau tindakannya tidak dikenal dalam Islam sebelumnya. Tindakannya merupakan akumulasi beberapa pelanggaran. Ini bisa dilihat dari ikhtilath antara jamaah laki-laki dan perempuan, berdiri sejajar tanpa terhalang satir. Pengumandang azan yang perempuan. Jamaah perempuan yang tanpa mukena, karenanya anggota tubuh perempuan yang sebenarnya menjadi aurat dalam salat tidak tertutup. Namun, hemat penulis, sampai pada titik keimaman perempuan (imamah al-nisa’) bagi jamaah laki-laki, tidak seorang pun berhak memvonis sebagai tindakan salah, nyleneh, apalagi bid’ah. Dan khusnuzzan penulis, statemen bi’dah Yusuf Qardlawi hanya pada akumulasi pelanggaran pada ritual jumaatan itu, dan bukan pada titik keimaman perempuan bagi jamaah laki-laki. Sebab, ternyata tidak semua ulama, dalam sejarah pemikiran Islam, melarang perempuan menjadi imam bagi jamaah laki-laki.

Niqasy Nalar Ulama

Berbicara tentang imam salat perempuan bagi makmum laki-laki, akan berputar-putar pada dua Hadis, yaitu pertama, satu Hadis yang diriwayatkan oleh dua rawi, yaitu Abu Daud dan al-Daruquthni dalam kitab Sunan masing-masing. Kedua, Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya.

Tercatat, ulama yang memperbolehkan seorang perempuan menjadi imam salat bagi jamaah laki-laki antara lain Abu Tsaur (w. 240 H), al-Muzani (w. 264 H), dan al-Thabari (w. 310 H). Abu Tsaur termasuk mujtahid besar, ahli fikih dan murid Imam al-Syafi’i. Begitu juga al-Muzani. Ia adalah murid Imam al-Syafi’i yang kemudian (juga) menjadi mujtahid. Kepada muridnya tersebut, Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Al-Muzani nashir mazhabi” (al-Muzani adalah pembela mazhabku). Al-Thabari, yang nama lengkapnya adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid al-Thabari Abu Ja’far, adalah al-muhaddis (ahli Hadis), al-faqih (ahli fikih), dan al-muarrikh (sejarawan), dan ahli tafsir penulis kitab tafsir kondang, Tafsir al-Thabari.

Pendapat mereka didasarkan dari Hadis shahih (valid) yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya.

Suatu ketika, Nabi beserta pasukannya akan berangkat perang Badar. Seorang shahabat perempuan bernama Ummu Waraqah binti Naufal al-Anshari(yah) meminta izin kepada Nabi untuk diikutsertakan dalam perang tersebut sebagai tenaga medis, dengan satu harapan, atas izin Allah, dapat memperoleh kesyahidan. Namun Nabi tidak mengizinkan, “Kamu tetap saja di rumah. Karena Allah akan memberikan kesyahidan itu kepadamu (tanpa harus mengikuti perang).” Ummu Waraqah setuju, namun ia meminta kepada Nabi untuk mengutus muazzin (pengumandang azan) ke rumahnya untuk mengumandangkan azan pada saat-saat salat. Nabi pun memenuhi permintaan Ummu Waraqah itu, dan mengutus kepadanya seorang laki-laki tua (syaikh kabir). Nabi menyuruh Ummu Waraqah menjadi imam untuk penghuni rumahnya. Saat itu, Ummu Waraqah, di rumahnya, memiliki pembantu laki-laki (ghulam) dan perempuan (jariyah). Keduanya mudabbar (budak yang bisa bebas jika tuannya telah mati).

Seperti di tulis oleh al-Shan’ani dalam Subul al-Salam kitab syarh (komentar) Bulugh al-Maram, Hadis di atas merupakan argumentasi kebolehan keimaman perempuan bagi keluarganya, meskipun dalam keluarga tersebut ada laki-laki. Dan walaupun pengumandang azannya adalah laki-laki (seperti riwayat Ummu Waraqah di atas). Dan Hadis tersebut jelas menunjukkan, pembantu laki-laki (ghulam) dan perempuan (jariyah) ikut salat bermakmum kepada Ummu Waraqah. Pendapat ini juga dinukil oleh Abu Thayyib Abadi dalam ‘Aun al-Ma’bud, kitab komentar Sunan Abi Daud.

Sementara itu, tidak ada Hadis shahih (valid) yang secara spesifik, jelas, dan pasti melarang seorang perempuan menjadi imam bagi jamaah laki-laki. Hadis riwayat Ibnu Majah yang melarang perempuan menjadi imam (ala la ta’ummanna imra’ah rajulan) tidak valid, dla’if. Sebab, salah seorang perawi Hadis tersebut, Abdullah bin Muhammad al-‘Adawi, tidak diakui integritasnya oleh para ulama. Imam Bukhari, dalam karyanya al-Tarikh al-Kabir, menganggapnya sebagai munkar al-hadis (hadisnya ditolak). Tentang Abdullah bin Muhammad al-‘Adawi, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dalam karyanya, Lisan al-Mizan, berkomentar: la yasih haditsuhu (hadisnya tidak sah). Ibnu Hibban, dalam kitabnya, al-Majruhin, memvonis la yahillu al-ihtijaj bi khabarihi (riwayat Hadisnya tidak boleh dijadikan argumen). Oleh karenya ia gugur sebagai dalil larangan keimaman perempuan bagi jamaah laki-laki.

Syaikh Khalil Ahmad al-Saharnafuri, penulis kitab Badzl al-Majhud, yang juga kitab komentar Sunan Abi Daud memberikan komentar yang berbeda dari Hadis Ummu Waraqah di atas. Dia meng-counter pendapat yang memperbolehkan keimaman perempuan dengan dalil Hadis Ummu Waraqah. Menurutnya, menjadikan Hadis di atas sebagai argumentasi kebolehan keimaman perempuan bagi jamaah laki-laki, tidak tepat (ghair shahih). Sebab, menurutnya, dalam salat yang diimami oleh Ummu Waraqah tersebut, tidak dapat dipastikan keikutsertaan dua pembantunya dan sang muazzin.

Permasalaannya adalah, alasan apakah yang yang membuat sang muazzin, yang mengumandangkan azan untuk menyampaikan ajakan salat, namun dia sendiri tidak mengikuti salat tersebut? Apakah karena larangan bermakmum kepada imam perempuan? Jika demikian, mengapa Nabi justru menyuruh Ummu Waraqah menjadi imam, padahal, pada saat yang sama, masih ada laki-laki, yaitu ghulam dan muazzin yang tua itu sendiri. Kalau memang imam perempuan dilarang, mengapa Nabi tidak menyuruh muazzin itu untuk (sekaligus) menjadi imam.

Memang, selain kasus Ummu Waraqah, praktik keimaman perempuan bagi jamaah laki-laki tidak populer. Seandainya, keimaman perempuan bagi jamaah laki-laki adalah sesuatu yang populer, maka Ibunda Aisyah, garwo kanjeng Nabi, adalah orang yang paling berhak di antara shahabat lain, untuk menjadi imam. Tapi ternyata, tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan demikian. Namun demikian, ketidakpopuleran perempuan menjadi imam saat itu (atau pada masa shahabat), bukan berarti fenomena itu menunjukkan mutlak larangan dan menjadi larangan mutlak, oleh karenanya, ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil pelarangan.

Namun, penting untuk dipahami, bahwa Hadis Ummu Waraqah tidak hanya diriwayatkan oleh Abu Daud saja, tapi (juga) oleh Imam al-Daruquthni di dalam kitab Sunan-nya. Jika satu Hadis diriwayatkan/ditulis oleh banyak ulama di dalam kitabnya masing-masing, maka harus dilakukan apa yang dalam ilmu Hadis disebut dengan jam’ al-riwayah, yaitu menyatukan berbagai riwayat itu, untuk mencapai maksud Hadis secara komprehensif. Jam’ al-riwayah itu penting dilakukan, karena Hadis-Hadis Nabi merupakan wihdah la tatajazza, unity intregity, satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, dan saling menafsirkan, sebagaimana al-Quran dalam ayat-ayatnya. Begitu juga untuk Hadis Ummu Waraqah. Dalam riwayat Abu Daud, memang, Hadis itu menunjukkan sifat umum dan memiliki banyak ihtimalat (kemungkinan-kemungkinan) dan salah satu kemungkinan itu adalah, bahwa Ummu Waraqah juga menjadi imam bagi makmum laki-laki, sebagaimana ditulis oleh al-Shan’ani. Tapi kemumuman makna Hadis yang didiriwayatkan oleh Abu Daud ditakshis oleh riwayat Imam al-Daruquthni. Di dalam Sunan-nya, Imam al-Daruquthni dengan jelas meriwayatkan bahwa Ummu Waraqah hanya diizinkan untuk menjadi imam bagi keluarganya yang perempuan, artinya laki-laki tidak diizinkan bermakmum kepadanya. Sehingga, Hadis Ummu Waraqah tidak dapat dijadikan sebagai dalil kebolehan imam perempuan dalam salat.

Oleh karenanya, menurut al-Saharnafuri, larangan keimaman perempuan bagi jamaah laki-laki adalah atas dasar ijma’ (kesepakatan ulama). Dan pendapat kebolehan keimaman perempuan mahjuj (dikalahkan) oleh ijma’ itu. Namun, pernyataan ijma’ ini pun masih memungkinkan untuk di bahas, sebab “pernyataan tentang ijma’ hanya dapat diterima dari mereka yang benar-benar memiliki kemampuan merangkum semua riwayat. Pemberitaan seorang tentang adanya ijma’ bisa jadi bersumber dari riwayat yang lemah, atau boleh jadi ia menukil dari siapa yang tidak wajar diterima pemberitaannya, atau disampaikan hanya berdasar sangka baik kepada yang bersangkutan, atau terjadi darinya kekeliruan.” Seperti ditulis oleh Prof. Dr Qurasiy Shihab dalam Jilbab-nya, menukil dari pakar tafsir Lembah Biqa’, Libanon, Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’ (1406-1480 M). Kemudian, al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul-nya menyatakan, “Jika ada salah seorang mujtahid yang berbeda pendapat dengan pendapat ijma’, menurut mayoritas ulama, maka ijma’ itu gugur dan tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi).” Jika pernyataan al-Syaukani ini diterima, maka ijma’ tentang larangan imam perempuan dalam salat, seperti di tulis al-Saharnafuri, gugur sebagai dalil, karena Abu Tsaur, al-Muzani, dan al-Thabari adalah termasuk yang memperbolehkan imam perempuan. Dengan kata lain, ijma’ itu tidak berlaku dan gugur oleh ketiga ulama tersebut.

Kesimpulan

Sampai pada titik ini, bisa dikatakan, bahwa tidak ada Hadis shahih yang jelas dan pasti, yang melarang atau memperbolehkan imam salat perempuan untuk makmum laki-laki. Hadis riwayat Ibnu Majah dengan jelas dan pasti melarang imam salat perempuan, namun ia dlaif (lemah) dan tidak bisa dipakai sebagai dalil. Hadis riwayat Abu Daud shahih, namun ia tidak menjelaskan dengan pasti, apakah Ummu Waraqah, selain menjadi imam bagi jamaah perempuan, juga menjadi imam bagi jamaah laki-laki. Bahkan riwayat itu ditakhshish oleh riwayat Imam al-Daruquthni, bahwa Ummu Waraqah hanya diperkenankan untuk menjadi imam bagi makmum perempuan saja. Sehingga Hadis ini tidak tepat untuk dalil pembolehan imam perempuan bagi makmum laki-laki. Artinya Hadis bersikap “netral” pada masalah imam perempuan bagi makmum laki-laki. Dalil ijma’ yang dinyatakan oleh al-Saharnafuri pun gugur, karena ada beberapa ulama yang berbeda pendapat, dan tidak termasuk dalam ijma’ itu.

Lalu, selama ini, apakah yang menjadi landasan larangan imam salat perempuan bagi jamaah laki-laki? Dalam catatan Muhammad Zakariya bin Yahya al-Kandahlawi, yang men-ta’liq kitab Badzl al-Majhud karya al-Saharnafuri, larangan itu adalah atas dasar qaul ‘amah al-fuqaha, pernyataan mayoritas ulama. Dan, qaul ‘amah al-fuqaha bukan termasuk dalam strata al-adillah al-syar’iyyah. Sehingga, pada gilirannya, larangan imam salat perempuan bagi jamaah laki-laki masih debatable.

* * *

Mengutip tulisan Prof. Dr Qurasiy Shihab, dalam buku yang sama, bahwa teks al-Quran – sebagaimana halnya semua teks, termasuk Hadis – bertemu dengan akal atau akal-akal manusia, dan akal itulah yang memberi makna kepadanya. Hakikat ini pada gilirannya mengantar kepada hakikat lain, yaitu bahwa pemahaman manusia terhadap suatu teks (nash), berbeda dengan teks itu sendiri; bisa kurang dari kandungan teks atau melebihinya. Teks al-Quran bahkan sebagian besar dari nash-nash yang mengandung ketentuan hukum juz’i dapat menampung lebih dari satu makna sehingga lahir aneka pandangan yang ketat atau longgar…sejak dari pandangan shahabat Nabi, seperti Abdullah bin Umar yang dinilai ketat sapai pada pandangan shahabat Nabi yang lain seperti Abdullah bin Abas yang dinilai penuh toleransi. Di sini dikenal apa yang dikemukakan oeh para pakar tentang perbedaan syari’at dengan fikih. Syari’at bersumber dari Allah, tidak boleh diubah dan tidak mengalami perkembangan, sedangkan fikih adalah pemahaman manusia atas syari’at, yang bisa benar, bisa juga salah, bisa kurang atau sempurna, bisa sementara, dan bisa juga bertahan sekian lama. Adanya imam dalam salat adalah syariat, namun soal imam perempuan bagi makmum laki-laki telah menjadi persoalan fikih.

Pendapat para ulama, mayoritas atau minoritas, dalam hal apa pun, termasuk keimaman perempuan, perlu diketengahkan dan diketahui secara deskripitif-obyektif. Tidak jarang, hanya mengetahui suatu pendapat, yang sebenarnya itu hanya salah satu dari ragam pendapat, dapat memunculkan sikap eksklusif, tidak arif atau bahkan emosional, ketika pendapat lain yang berbeda diketengahkan, kemudian dianggap sebagai “kenylenehan”.

Larangan perempuan menjadi imam bagi jamaah laki-laki, yang kita pegang selama ini adalah sebuah pendapat. Dan kebolehan perempuan menjadi imam bagi laki-laki, juga sebuah pendapat, yang tidak perlu dianggap sebagai “kenylenehan”. Masing-masing tidak berhak mengklaim bahwa pendapatnya adalah sebagai kebenaran seluruhnya dan seluruhnya adalah kebenaran. Wallahu a’lam.

Tagged: , , , , , ,

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Imam Salat Perempuan at Warung Nalar.

meta

%d bloggers like this: