Jenggot dalam Literatur Hadis, Literatur Tasawuf, dan Literatur Arab Klasik.

20 June 2022 § Leave a comment


Saya sendiri merasa saya lebih pantas jenggotan dengan kadar tertentu ketimbang piara kumis. Begitu perasaan saya tiap kali ngaca.

Tentu Anda, kaum pria, juga demikian. Anda yang jenggotan dan kumisan atau jenggotan tanpa kumisan atau kumisan tanpa jenggotan atau tanpa jenggot dan tanpa kumis … tentu punya pertimbangan soal kepantasan sehingga merasa pantas tampil kayak apa.

Ada guyonan.

Yang kumisan tanpa jenggotan, dia kucing.

Yang jenggotan tanpa kumisan, dia kambing.

Yang tanpa kumis tanpa jenggot, dia babi.

Yang jenggotan dan kumisan, dia lelaki sejati.

Tapi, gak usah diambil hati guyon kasar yang glorifikatif itu.

Sebab, tulisan ini tentang jenggot dalam literatur hadis, literatur tasawuf, dan literatur Arab klasik.

1. JENGGOT DALAM LITERATUR HADIS

Membahas jenggot dalam Islam, mau-tidak mau mesti dimulai dari hadis Nabi Muhammad. Sebab, dari hadis itulah pembahasan tentang jenggot bermula.

Dalam satu hadis, Nabi bersabda,

قُصُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَعْفُوا اللِّحَى

“Cukurlah kumis dan biarkan jenggot kalian tumbuh.”

Dalam hadis riwayat Imam Ahmad tersebut, perintah cukur kumis dan perintah piara jenggot tidak terkait dengan alasan apa pun. Jika ada alasan perintah cukur kumis dan piara jenggot maka itu karena Nabi mengatakan demikian.

Namun, dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi menyebutkan alasannya:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ: أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى

“Tampillah beda dari orang-orang musyrik: cara cukur kumis kalian dan lebatkan jenggot kalian.”

Jadi, alasan perintah cukur kumis dan piara jenggot adalah agar para pria kaum muslim kala itu tampil beda dari kaum musyrik.

• Pemahaman Hadis dari Sisi Tata Bahasa

Dari sisi tata bahasa, kalimat أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى (cukur kumis dan lebatkan jenggot kalian) merupakan badal dari kalimat خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ (Bersikaplah beda dari orang-orang musyrik).

Badal atau aposisi dalam bahasa Indonesia adalah kalimat atau kata yang berfungsi menjelaskan atau menafsirkan kalimat atau kata sebelumnya.

Dalam ilmu nahwu, ada beberapa jenis badal, salah satunya adalah yang disebut dengan badal ba’dh min kull (artinya: sebagian dari keseluruhan), yaitu kalimat badal atau kalimat penjelas tersebut merupakan salah satu penjelasan dari sekian penjelasan yang relevan.

Dan kalimat أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى adalah badal jenis tersebut. Badal ba’dh min kull.

Artinya, cukur kumis dan piara jenggot adalah salah satu cara dan bentuk ekspresi berpenampilan beda dari orang-orang musyrik. Karena cuma salah satu, berarti ada cara dan bentuk lain untuk tampil berbeda dari orang-orang musyrik.

Jika begitu maka yang substansi atau inti dari “hadis jenggot” adalah perintah untuk tampil beda dengan orang-orang musyrik, bukan soal cukur kumis dan piara jenggot. Cukur kumis dan piara jenggot hanya ekspresi.

Tampil beda dari orang-orang musyrik adalah substansi yang ekspresinya bisa bermacam-macam. Salah satunya—yang terjadi pada konteks zaman Nabi—adanya cukur kumis dan piara jenggot.

Yang substansi akan tetap sepanjang zaman dan yang ekspresi bisa berubah-ubah sesuai kondisi zaman.

Artinya, pada masa Nabi, ekspresi kaum muslim untuk menyatakan sikap berbeda dari orang-orang musyrik adalah dengan cukur kumis dan piara jenggot, sebab orang-orang musyrik kala itu tidak mencukur kumis dan tidak melebatkan jenggot.

Sementara, saat ini, perkara kumis atau jenggot tidak lagi jadi penanda seseorang itu musyrik atau bukan. Kondisi zaman telah berubah dan ekspresi kemusyrikan pun berubah. Alasan orang untuk jenggotan atau tidak jenggotan pun beragam.

Maka, hari ini, semangat yang masih relevan dari “hadis jenggot” di atas adalah “perintah untuk tampil beda dengan orang musyrik”, bukan “perintah cukur kumis dan piara jenggot”.

Itu jika Anda mau memahami “hadis jenggot” itu secara kontekstual.

• Pemahaman Hadis dari Sisi Konteks

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ: أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى

Hadis tersebut disabdakan Nabi pada masa-masa tegang antara kaum muslim dan kaum musyrik.

Pada masa itu, secara tampilan wajah, kaum musyrik piara kumis dan tidak melebatkan jenggot. Atas dasar itu, Nabi memerintahkan kaum (pasukan) muslim untuk tampil sebaliknya: cukur kumis dan piara jenggot agar jadi pembeda dari kaum (pasukan) musyrik, terutama saat perang.

Kaum muslim dan kaum musyrik masa itu tidak memiliki perbedaan signifikan terkait setelan baju perang mereka. Maka, Nabi berinisiatif membuat perbedaan antara mereka dari sisi wajah. Kumis dan jenggot.

Jadi, perintah untuk cukur kumis dan piara jenggot dalam “hadis jenggot”—dapat dikatakan—karena alasan “politik identitas”. Sebagai identitas pembeda pasukan muslim dan pasukan musyrik.

Bagaimana dengan konteks zaman sekarang?

Masih adakah peperangan antara kaum muslim dan kaum musyrik yang mengharuskan adanya perbedaan tampilan fisik di antara kedua kubu? Apakah perintah untuk tampil beda dari orang musyrik dengan cara cukur kumis dan piara jenggot itu masih relevan saat ini?

Maka, perintah cukur kumis dan piara jenggot sebenarnya bukanlah maksud yang dikehendaki oleh “ hadis jenggot”. Substansi hadis bukan soal itu.

Maka, kumis dan jenggot pada masa Nabi adalah persoalan tradisi. Bukan persoalan agama, bukan perkara ibadah.

Dan, jangan lupa, jenggot juga persoalan genetik.

Itu jika Anda mau memahami “hadis jenggot” secara kontekstual. Jika tidak mau, dan lebih memilih memahami hadis itu secara tekstual, tidak jadi soal.

Hadis jenggot ini sah untuk dipahami secara tekstual maupun secara kontekstual.

2. JENGGOT DALAM LITERATUR TASAWUF

Kita akan menyimak pemaparan Imam al-Ghazali tentang jenggot dalam “Ihya Ulumiddin”. Bahasan jenggot ini bagian dari tema taharah di jilid pertama “Ihya”.

Sudut pandang al-Ghazali ini mengasumsikan Anda, kaum pria, piara jenggot. Dan, Sang Hujjatul Islam sayang pada jenggot Anda.

Karena itu, Anda perlu memperhatikan sisi-sisi lahiriah dan batiniah dalam jenggot.

• Sisi Lahiriah Jenggot

Dari sisi lahiriah, misal, jenggot Anda mesti moderat secara ukuran. Estetika jenggot Anda mesti diperhatikan.

Panjang moderat untuk jenggot adalah seukuran … misal jika Anda genggam jenggot Anda maka yang tidak ikut dalam genggaman itu mesti dipotong. Jadi, ukuran moderat jenggot adalah satu genggam. Lebih dari itu, dianggap ukuran berlebihan. Mesti dihindari. Bisa buruk.

“Jenggot yang panjangnya berlebihan bisa merusak penampilan.” kata Imam al-Ghazali. “ Akan jadi omongan tukang gibah.”

Al-Ghazali mengutip al-Nakhai.

“Saya heran sama orang waras yang jenggotnya panjang,” kata al-Nakhai. “Kenapa tidak memotong jenggotnya? Sedang-sedang saja dalam segala hal itu baik.”

Kemudian, al-Ghazali mengutip ungkapan yang populer dalam perjenggotan,

كلما طالت اللحية تشمر العقل

“Saat jenggot panjang, otak jadi kurang.”

Itu sama kaya—konon—kutipan Imam al-Syafii (sebelum al-Ghazali),

كلّما طالت اللحية، تكوسج العقل

“Saat jenggot panjang, otak jadi pendek.”

Atau, sama kayak kutipan Ibnu al-Jauzi (setelah al-Ghazali),

الحمق سماد اللحية فمن طالت لحيته كثر حمقه

“Kedunguan adalah pupuk untuk jenggot. Orang yang jenggotnya panjang berarti dungunya banyak.”

Eksplisit ya.

Tapi, begitulah. Para ulama punya cara unik untuk mengingatkan estetika jenggot demi sebuah nilai.

Tentu saja, itu deskripsi di atas untuk orang yang berjenggot lebat. Gambaran yang mudah kita bayangkan terhadap orang-orang Arab dan sekitarnya. Imam al-Syafii, Imam al-Ghazali, atau Ibnu al-Jauzi tentu sedang membicarakan orang-orang jenggotan di wilayah mereka.

Tapi, penjelasan itu juga bisa untuk siapa pun yang secara genetik berwajah subur.

Saya dan mungkin juga Anda tidak termasuk. Ya, kan? Coba renungkan jenggot Anda. Jangankan jenggot lebat segenggam, untuk bisa panjang sekian senti saja butuh waktu lama. Kalaupun kemudian panjang, akhirnya jadi wagu, tidak estetis, karena tidak lebat. Jadi kayak barisan gigi sisir. Panjang, tapi lebatnya cuma sekian.

• Sisi Batiniah Jenggot

Adalah khas tasawuf jika ia menyoroti sisi batiniah.

Jika fikih membahas hal-hal yang bersifat lahir, tasawuf mengulas hal-hal yang bersifat batin. Jika, misal, dalam tema shalat atau puasa, fikih membahas syarat, rukun, tata cara, gerakan dan bacaan, dan aturan lain maka tasawuf mengulas ibadah-ibadah tersebut dari sisi kekhusyukan, ketulusan, kaitan ibadah dengan perilaku, dan lain-lain.

Fikih menjadikan ibadah Anda sah, tasawuf menjadikan ibadah Anda indah. Fikih menjadikan ibadah Anda benar sesuai aturan, tasawuf menjadikan ibadah Anda diterima Tuhan. Maka, fikih dan tasawuf tidak dapat dipisahkan.

Dalam syair yang dinisbahkan kepada Imam al-Syafii disebutkan,

فقيها وصوفيا فكن ليس واحد # فإني وحق الله إياك أنصح

فذلك قاس لم يذق قلبه تقى # وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح

“Jadilah ahli fikih sekaligus sufi. Saya benar-benar menasihati. Ahli fikih (saja) itu keras hati. Tidak dapat merasakan takwa di hati. Sufi (saja) itu bodoh sekali. Bagaimana bisa orang bodoh berguna sih?!”

Dalam ungkapan lain, fikih adalah syariat, tasawuf adalah hakikat. Syariat dan hakikat adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tidak ada yang lebih unggul satu sama lain. Keduanya berada di posisi sama. Saling mengikat, saling menguatkan.

Dalam ungkapan Imam al-Qusyairi,

كل شريعة غير مؤيدة بالحقيقة فأمرها غير مقبول

وكل حقيحة غير مقيدة بالشريعة فأمرها غير محصول

Dari sudut pandang ungkapan al-Qusyairi maka tidak tepat ungkapan “hukum syariat mengikuti hukum hakikat”. Kalau mau, begini: “hukum syariat mengikuti hukum hakikat, hukum hakikat mengikuti hukum syariat”. Saling ikut.

Syariat, hakikat. Di mana tarikat?

Tarikat adalah saat Anda menjalankan syariat.

Oke. Kembali ke jenggot.

Jadi, Imam al-Ghazali tidak ingin jenggot Anda jadi pemantik dosa. Hal-hal makruh dan bid’ah dalam jenggot mesti dihindari.

Al-Ghazali menyebut ada sepuluh hal makruh, bahkan haram, yang potensial dalam jenggot. Tidak akan saya paparkan semua.

Tapi, menurut saya, yang paling penting di antara sepuluh itu adalah ungkapan yang dikutip oleh al-Ghazali ini,

في اللحية شركان: تسريحها لأجل الناس وتركها متفتلة لإظهار الزهد

“Ada dua kesyirikan dalam jenggot: menguraikannya karena pengin pamer dan membiarkannya semrawut biar dibilang zuhud.”

Jadi, jenggot rapi maupun jenggot semrawut, sama-sama berpotensi menimbulkan penyakit hati.

Bahkan, sekadar membanggakan jenggot, tidak sampai pamer, itu juga buruk. Ujub. Bangga diri. Dan, bangga diri adalah pangkal kesombongan. Sombong adalah bangga diri yang dilanjutkan dengan merendahkan orang lain. Bangga diri itu buruk. Sombong itu buruk tingkat lanjut.

Bentuk kesombongan orang berjenggot adalah ketika dia merasa bangga telah menjalankan ajaran agama perkara jenggot, kemudian memandang orang tak berjenggot dengan tatapan rendah.

Tapi, bangga diri dan sombong tentu bukan sifat yang melekat pada jenggot. Bangga diri dan sombong adalah perilaku hati. Jenggot hanya pemantik.

Karena perilaku hati, selama punya hati, orang bisa terjangkiti bangga diri dan sombong, punya jenggot atau tidak orang itu.

Dan, kesombongan orang tak berjenggot adalah ketika ia memandang orang jenggotan dengan tatapan curiga.

Anda bisa membuka sendiri kitab “Ihya” jilid pertama, akhir-akhir bab taharah, untuk mendapatkan penjelasan lebih akurat dan pemaparan lebih lengkap terkait jenggot dalam sudut pandang tasawuf.

3. JENGGOT DALAM LITERATUR ARAB KLASIK

Ada artikel-jurnal menarik dan menggelitik tentang jenggot ditulis oleh seorang profesor Bahasa Arab asal Belanda, Geert Jan van Gelder, berjudul “Rebarbative Beards in Classical Arabic Literature” (2018). Seperti judulnya, artikel itu membahas tentang narasi tidak menarik dan tidak menyenangkan soal jenggot dalam literatur klasik Arab.

Cukup banyak literatur klasik yang dirujuk oleh van Gelder.

Dia antaranya “Uyun al-Akhbar” karya Ibn Qutaibah (276/889). Dalam kitab empat jilid itu tersempil bagian sangat pendek berjudul “al-liha” (jenggot-jenggot). Bagian itu berisi tujuh pernyataan dari penutur berbeda: dua pernyataan bernada positif tentang jenggot, empat pernyataan bernada negatif tentang jenggot.

Dua pernyataan bernada positif tentang jenggot itu adalah, yang pertama,

لا تصافينّ من لا شعر على عارضيه وإن كانت الدنيا خرابا إلّا منه

“Jangan berteman dekat orang yang tidak punya cambang di kedua pipinya, meski dunia hancur dan hanya dia yang tersisa.”

Pernyataan bernada positif kedua adalah ungkapan yang dinisbahkan kepada Sayyidah Aisyah—meski penisbahan ini dianggap problematik.

والّذي زيّن الرجال باللحى

“Demi Dia Yang menghiasi para lelaki dengan jenggot.”

Untuk empat epigram bernada negatif tentang jenggot, saya kutipkan dua di antaranya saja. Pertama,

يا لحية طالت على نُوكِها # كأنّها لحية جبريل

لو كان ما يقطُر من دُهْنها # كيلا لوفّى ألف قنديل

لو تراها وهي قد سُرِّحت # حسِبْتها بَنْدا على الفيل

Wahai jenggot yang panjang bersama kebodohannya. Seakan ia jenggot Jibril.

Andai minyaknya menetes setakaran saja, niscaya ia cukup untuk seribu lampu.

Andai kau melihat ia disisir, kau pasti berpikir itu spanduk lebar di seekor gajah.

لقد كانت مجالسنا فِساحا # فضيّقها بلحيته رباحُ

مُبْعَثِرة الأسافل والأعالي # لها في كل زاوية جَناحُ

Majelis kami luas. Tapi jadi sempit gara-gara jenggot si Rabah.

Bagian atas dan bawah jenggotnya terserak di mana-mana, di setiap sudut dan celah.

Karya klasik lain yang dirujuk van Gelder adalah kitab syair tiga jilid, “Diwan”—bisa diunduh juga, karya Ibnu Rumi (283/896), seorang “prolific lampoonist”. Penulis produktif untuk perkara ejekan. Van Gelder cukup banyak mengutip syair-jenggot Ibnu Rumi dalam artikelnya. Satu saja saya salinkan di sini:

إذا عَرَضَتْ للفتى لحية # وطالت وصارت إلى سرّته

فنقصان عقل الفتى عندنا # بمقدار ما زيد في لحيته

Jika jenggot seseorang lebat dan panjang hingga ke pusar,

menurut kami, otaknya berkurang seukuran panjang jenggotnya.

Yang juga dirujuk van Gelder adalah kitab favorit saya karya Ibnu al-Jauzi, “Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin”. Saya pernah menelaah kecil-kecilan kitab joke tersebut: menghitung kata “jenggot” (dalam bahasa Arab, tentu) di sana.

Hasilnya, ada 43 kata “jenggot” dengan beragam derivasi. Dan tentu saja, sebagai pengejawantahan dari judul Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin yang berarti “Kabar Orang-orang Dungu”, 43 kata jenggot tersebut hampir semuanya dikaitkan dengan orang-orang dungu dan kedunguan.

Nah, penisbahan jenggot dan kedunguan atau penekanan jenggot sebagai tanda kedunguan atau pun olok-olok tentang jenggot, semua itu tampak ganjil, aneh, jika kita menengok hadis-hadis yang secara tekstual begitu merekomendasikan jenggot—seperti yang sudah dijelaskan di bagian pertama.

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ: أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى

“Tampillah beda dari orang-orang musyrik: cukur kumis kalian dan lebatkan jenggot kalian.”

Keanehan yang ironis. Van Gelder sendiri, sebagai pengkaji sastra klasik, tampaknya tidak tahu pasti kenapa demikian banyak olok-olok untuk jenggot dan orang berjenggot dalam kitab klasik. Yang dipaparkan di atas hanya sebagian kecil dari yang dikutip van Gelder dalam artikelnya. Dan van Gelder tahu lebih banyak daripada yang dia telah kutipkan dalam artikelnya, sehingga dia perlu menyatakan, “There is no need to give more examples of this unsavory topic.”

Sedikit saya tambahkan kutipan olok-olok tentang jenggot untuk membuktikan topik ini memang tidak menyenangkan.

Van Gelder mengutip dari al-Qazwini (682/1283) tentang Ifranja, orang-orang Frank atau Eropa Barat.

Orang-orang Frank mencukur jenggot. Setelah itu, tumbuh tunggul yang mengerikan. Salah seorang dari mereka ditanya kenapa mencukur jenggot. Dia menjawab, “Jenggot itu ampas buangan. Kau mencukur rambut di kemaluanmu; jadi, kenapa kau membiarkannya di wajahmu?!”

Fair juga. Tapi, Anda tidak perlu serius menanggapinya.

Al-Jahiz (255/868-9) mengatakan bahwa al-Mausili (235/850) melihat banyak “lelaki kemayu” berwajah tampan yang mencabuti jenggot mereka. Al-Mausili menanyakan kenapa mereka melakukan itu. Padahal jenggot adalah tanda ketampanan seorang lelaki.

“Kau mau punya rambut di pantat?” jawab salah satu dari “lelaki kemayu”.

“Tidak. Demi Tuhan,” kata al-Mausili.

“Kau tidak adil,” kata si lelaki kemayu. “Kau tidak ingin punya rambut di pantat, tapi kau mengatakan agar aku membiarkan rambut di wajahku.”

Lagi, fair juga. Dan, lagi, juga, Anda tidak perlu menanggapi serius semua itu.

Jika van Gelder tidak dapat menjelaskan kenapa banyak olok-olok tentang jenggot dalam kitab klasik maka apalagi upaya untuk mendamaikan dua pernyataan yang bertentangan: narasi positif tentang jenggot dalam hadis Nabi dan narasi negatif tentang jenggot dalam literatur klasik.

Tapi, menurut van Gelder, tidak adanya pujian untuk jenggot dalam banyak kitab klasik tidak berarti, tentu saja, bahwa jenggot pada umumnya dijadikan hinaan.

“Secara puitis, lebih mudah dan lebih berguna untuk mendeskripsikan jenggot—terutama yang luar biasa lebat dan panjang—dalam gambaran yang mengejek dan konyol. Penyair selalu senang dengan paradoks: memuji apa yang biasanya dihina dan mengejek apa yang umumnya dianggap normal dan baik.”

Wallahu’ a’lam.

__________

Referensi:

• Diwan al-Imam al-Syafii

• Al-Risalah al-Qusyairiyyah fil Ilm al-Tasawwuf (Imam al-Qusyairi)

• Ihya Ulumiddin (Imam al-Ghazali)

• Al-Thuruq al-Shahihah fi Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah (Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub)

• Rebarbative Beards in Classical Arabic Literature (Geert Jan van Gelder)

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Jenggot dalam Literatur Hadis, Literatur Tasawuf, dan Literatur Arab Klasik. at Warung Nalar.

meta

%d bloggers like this: